Setelah mendapatkan penghargaan dan dukungan dari orang sekitar, Dea menjadi semakin percaya diri. Buktinya, ketika masyarakat mengadakan kerja bakti, Dea dengan senang hati menawarkan diri untuk membuat mading yang akan dipajang di dekat pos ronda. Dibantu anak-anak seusianya, Dea menghias mading yang belum diganti selama berbulan-bulan. Mereka pun sesekali bercanda untuk mencairkan suasana.
Ketika mading selesai dibuat, Dea dan teman-temannya yang lain memandangi mading tersebut dengan rasa puas dan bangga. Meski sedikit lelah, semua kerja keras mereka mengumpulkan alat, bahan, dan materi mading terbayar lunas saat beberapa warga yang baru selesai melakukan kerja bakti itu menghampiri mading karena penasaran. Hal itu tentunya menjadi pertanda bahwa warga tertarik dengan mading buatan mereka.
Namun, mendadak seorang bapak-bapak menyeletuk, “Mading murahan kenapa dipajang di sini?”
Mendengar itu, Dea sedikit merasa tersinggung. Orang tersebut seakan sudah meremehkan hasil karya mereka, termasuk artikel, cerpen, dan puisi yang Dea buat. Gadis itu tak mau melawan, sebab takut dianggap tak sopan. Dea lebih memilih memendam rasa sakit hatinya ketika bapak itu malah melengos pergi begitu saja, seakan menganggap mading tersebut sebagai sesuatu yang dapat merusak mata. Apakah begini cara yang benar untuk menghargai karya orang lain?
Di tengah ketegangan itu, salah satu tokoh masyarakat di sana menghampiri Dea dan teman-temannya. Beliau berkata, “Jangan diambil hati ya? Mading yang kalian buat sudah bagus kok. Hanya saja, mungkin suasana hati Pak Romli sedang buruk, jadi beliau berkata demikian. Apapun yang terjadi, kalian harus terus berpikir positif.”
Dea beserta teman-temannya pun menanggapinya dengan anggukan pelan. Meski begitu, Dea termasuk orang yang tak gampang melupakan ucapan buruk dari orang lain. Ia akan berpura-pura tak acuh. Namun, ucapan buruk itu akan terus mengendap di pikirannya, entah sampai kapan. Sesuatu yang bisa Dea lakukan untuk membalas ucapan tersebut adalah dengan menjadi anak yang berprestasi dan bisa mencapai kesuksesan di kemudian hari. Dea sangat yakin akan hal itu.
Untuk membayar segala kegagalan dan ucapan buruk orang-orang di masa lalu, Dea melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan memilih jurusan yang sesuai minat dan bakatnya, yaitu sastra Indonesia. Walaupun beberapa orang mencemoohnya dengan berkata, “Bakal jadi apa kamu kalau masuk jurusan sastra Indonesia?” Dea tetap yakin akan keputusannya. Apalagi ada kedua orang tua yang selalu mendukungnya. Jika saja Dea mengambil jurusan yang tak ia sukai, hal itu sama saja dengan bunuh diri. Dea akan terombang-ambing dalam gelombang kebingungan, dan merasa bahwa setiap hari adalah beban yang tak akan pernah berakhir. Maka dari itu, Dea tegaskan kepada semua orang bahwa memilih jurusan yang sesuai minat dan bakat akan mengantarkannya kepada kesuksesan.
Masa depan yang cerah telah bersambut. Dea sudah berhasil mencetak tiga buku karyanya sendiri selama mengenyam pendidikan di universitas. Setelah lulus, Dea sibuk melamar kerja di beberapa perusahaan yang sekiranya membutuhkan pekerja lulusan sastra Indonesia. Awalnya sulit memang. Namun, pada akhirnya, ia berlabuh di sebuah perusahaan penerbitan kecil di pojok kota. Sama sekali Dea tak merasa keberatan, karena niatnya bekerja hanya untuk mencari pengalaman dan belajar banyak hal dari sana. Rencananya, selepas Dea berhenti bekerja, ia akan membuka perusahaan penerbitan sendiri seperti yang ia impikan selama ini.
Semuanya terasa begitu mudah ketika impian itu tak hanya bersarang di pikiran, melainkan disertai dengan niat dan usaha yang besar untuk mewujudkannya. Beberapa tahun setelah itu, Dea berhasil mendirikan perusahaan penerbitan dan sudah merekrut beberapa pegawai yang akan bekerja bersamanya. Dea bergerak sedikit demi sedikit, tetapi tujuannya sudah pasti. Oleh karena itu, rencana dan impiannya bisa terwujud satu per satu.
Perusahaan yang didirikan Dea berkembang menjadi lebih besar dan sukses. Tak hanya menerbitkan karya milik orang lain, Dea juga aktif mencetak bukunya sendiri. Bukunya laris terjual hingga ke kota-kota kecil, berhasil memberikan pengaruh yang baik kepada masyarakat yang membacanya. Mulai dari novel romansa, novel genre lainnya, bahkan buku yang berisi motivasi pun sudah pernah Dea cicipi. Semua karya yang telah ia buat itu berhasil membuat namanya menjadi semakin besar.
Terkadang Dea melamun, mengingat nilai-nilainya yang tak sesuai harapan, meski sudah diperjuangkan setengah mati. Begitu pula dengan ucapan buruk orang-orang yang bisa memacu Dea menjadi sebesar sekarang. Mengingat itu semua agaknya membuat Dea bersyukur bisa mendapatkan pendidikan di rumah yang bisa membentuk karakternya, pendidikan formal yang ia tempuh untuk menemukan bakat sekaligus mengasahnya, serta pendidikan di masyarakat yang mengajarkan norma-norma yang berkembang di dalamnya.