Koentjaraningrat Memorial Lecture XV/2018. Itulah yang saya ikuti di Bentara Budaya Yogyakarta pada Rabu (31/10/2018) malam lalu.Â
Gedung yang biasanya digunakan untuk pameran seni itu seolah menjadi ruang kuliah, dengan dosen Prof Dr Heddy Shri Ahimsa-Putra dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Integrasi Nasional dan Ancaman Yang Dihadapi" menjadi bahasan utama dalam kuliah yang dihadiri lebih dari 100 peserta itu, yang bertujuan untuk mengenang pemikiran Koentjaraningrat berkait integrasi nasional. Sebagai antropolog, Koentjaraningrat telah menuangkan pemikirannya mengenai integrasi nasional dalam sejumlah buku yang terbit dalam kurun tiga dekade sejak 1970an.
Dalam "perkuliahan" yang berlangsung sekitar satu jam itu, tak termasuk sesi tanya-jawab, Profesor Heddy menjabarkan panjang-lebar tentang buah pikiran Koentjaraningrat.Â
Selama 30 tahun hingga dekade 1990an Pak Koen, sapaan akrab Koentjaraningkat, secara konsisten menaruh perhatian serius pada integrasi nasional.
Mengingat telah terjadinya banyak perubahan dalam masyarakat Indonesia, permasalahan integrasi nasional di masa kini sudah berbeda dari masa empat dekade lalu. Makanya, Heddy pun mengemukakan cara pandangnya berkait masalah tersebut.
Seperti Bandul Jam
Di antara beberapa pandangannya, yang menarik bagi saya adalah ketika guru besar antropologi UGM itu menghubungkan dan membandingkan integrasi dan disintegrasi.
"Dalam konteks Indonesia, integrasi nasional dapat kita definisikan sebagai situasi di mana segenap anak bangsa dan kolektivitas yang mereka bentuk tetap sepakat berada dalam sebuah negara kesatuan, NKRI, sedang disintegrasi nasional adalah situasi di mana sebagian anak bangsa dan kolektivitas yang mereka bentuk tidak lagi sepakat untuk tetap berada dalam satu negara kesatuan NKRI, dan mereka yang tidak sepakat tersebut ingin mendirikan sebuah negara baru, yang terpisah dari NKRI," papar Heddy dalam memberi batasan atas integrasi dan disintegrasi nasional.
Kondisi integrasi dan disintegrasi tidaklah statis di negeri kita; keduanya berlangsung dinamis. Heddy menggambarkannya seperti bandul jam (pendulum), yang mengayun ke kanan dan ke kiri, ke integrasi dan ke disintegrasi.
Pada suatu saat integrasi menguat, tapi di saat lain ia melemah sehingga muncullah ancaman disintegrasi. Dinamika ini bisa kita lihat sejak kemerdekaan sampai hari-hari ini.
Bagaimana dengan situasi sekarang ini, apakah disintegrasi tetap mengancam Indonesia? Heddy tidak menyebut secara langsung adanya ancaman disintegrasi, tapi menyebutnya ada faktor-faktor pelemah integrasi nasional. "Kita tidak boleh lengah (pada faktor-faktor itu)," tandasnya.
Yang Melemahkan
Perkembangan terakhir seperti munculnya isu ideologi alternatif, sistem politik alternatif, yang notabene non-pancasila, non-republik, non-demokratik dan sejenisnya dapat menjadi salah satu faktor yang melemahkan integrasi secara signifikan.
Begitu pula dengan faktor intoleransi. "Intoleransi ini bisa datang dari golongan mayoritas maupun minoritas, ketika mereka merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang paling besar atau minimal lebih besar daripada golongan yang lain," lanjut pria kelahiran Yogyakarta itu.
Berita bohong, ujaran kebencian dan fitnah menjadi faktor pelemah lainnya. Kenapa? Karena di tengah situasi yang penuh kebohongan, kebencian dan fitnah, orang menjadi mudah diadu-domba. Akibatnya, hubungan antargolongan, antarkelompok, menjadi rusak yang pada akhirnya mengancam integrasi sosial dan selanjutnya integrasi nasional.
Lebih lanjut Heddy mengatakan bahwa pembodohan sosial juga menjadi bagian dari faktor pelemah integrasi. "Pembodohan ini umumnya terjadi dalam ceramah-ceramah yang tampaknya sengaja dibuat tidak interaktif, agar proses 'indoktrinasi' (baca: pembodohan) dapat berjalan dengan lancar, tanpa gangguan," tuturnya.
Sementara itu, ketimpangan sosial-ekonomi dan korupsi juga menjadi faktor yang dapat melemahkan integrasi.
Nilai 8 untuk Integrasi Nasional
Meskipun ada sejumlah faktor pelemah integrasi, Heddy tetap optimistik mengenai integrasi nasional. Setelah melihat dinamika yang terjadi selama ini, ia memberi nilai 8 (skala 0 sampai 10) untuk situasi integrasi nasional Indonesia sekarang ini.
"Belum sampai 9 atau 'sangat baik' memang, tetapi sudah bagus," kata guru besar yang telah menerbitkan sejumlah buku dan ratusan tulisan untuk jurnal ilmiah, majalah, seminar, konferensi, lokakarya dan pelatihan ini.
Apa dasar penilaian tersebut? Heddy menyodorkan beberapa indikator yang menunjukkan menguatnya integrasi nasional, antara lain surutnya gerakan separatis seperti yang dulu terjadi di Aceh dan Papua, meningkatnya sarana transportasi dan hubungan antarpulau, antaretnis; meningkatnya pendidikan, komunikasi dan penggunaan bahasa Indonesia, meluasnya ruang ekspresi bagi budaya etnis/lokal; dijadikannya unsur budaya lokal sebagai warisan budaya nasional; pemberian gelar pahlawan nasional; semakin kuatnya polisi dan tentara yang kehadirannya kian jelas, tidak menakutkan seperti di masa lampau; dan sebagainya.
Heddy mengemukakan, Koentjaraningrat pernah menyatakan bahwa persoalan integrasi nasional ini keluar dari sebagian besar pemimpin, ahli politik, kaum intelektual, dan masyarakat pers. Oleh karena itu, mereka diharapkan tetap bersatu untuk menjaga kesatuan Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat itu "sangat relevan dengan kondisi saat ini," ujar Heddy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H