Mohon tunggu...
farid wong
farid wong Mohon Tunggu... -

hanya lelaki yang kebetulan lewat, sama sekali tak hebat, tapi suka bersahabat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Catatan Kecil dari Penikmat Perayaan Sewindu Jazz Mben Senen

2 Februari 2018   18:32 Diperbarui: 3 Februari 2018   09:46 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Echa Soemantri (drummer) dan kawan-kawan saat tampil di perayaan sewindu Jazz Mben Senen di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta, Senin (29/1/2018). [Foto: Farid Wong]

Senin, 29 Januari 2018, malam lalu pelataran Bentara Budaya Yogyakarta disesaki pengunjung, sementara hujan kadang-kadang mengguyur di sela-sela acara. Acara perayaan ulang tahun kedelapan Jazz Mben Senen -- pentas jazz yang digelar tiap Senin malam -- itu memang meriah, tapi tetap saja tampil dalam suasana yang hangat, akrab dan bersahaja.

Sebagai pentas musik mingguan yang sudah rutin digelar sejak Desember 2009, Jazz Mben Senen hingga kini sudah digelar lebih dari 400 kali, dan bisa dikatakan hampir tak pernah absen. Konsistensi semacam ini tentu butuh energi yang konstan, dan ternyata energi itu terbukti dimiliki oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. (Baca juga "Jazz Mben Senen: dari Improvisasi sampai Intimasi Tanpa Basa-basi")

Perayaan kali ini dimeriahkan oleh berbagai penampilan dari sejumlah grup/project dari Komunitas Jazz Jogja, juga komunitas jazz dari Semarang serta Echa Soemantri (drummer) dan kawan-kawan dari Jakarta. Sebelum acara pemotongan tumpeng sebagai penanda perayaan, tampil di panggung tiga sosok yang dikenal sebagai inisiator Jazz Mben Senen, yakni Djaduk Ferianto (seniman, punggawa kelompok musik Kua Etnika dan Sinten Remen), Sindhunata (budayawan yang mewakili pihak Bentara Budaya Yogyakarta) dan Aji Wartono (media online Wartajazz).

Dalam sambutannya Djaduk mengemukakan, Jazz Mben Senen bukanlah tempat untuk mencari popularitas. "Di sini (adalah tempat) untuk berproses, berkesenian, untuk menemukan identitas diri," ujarnya sembari menambahkan bahwa apa yang dilakukan di setiap Senin malam itu merupakan investasi kultural, yang tentunya menjadi bekal penting di kemudian hari bagi orang-orang yang terlibat.

Djaduk Ferianto (kiri) memberi sambutan dalam perayaan sewindu Jazz Mben Senen, didampingi Romo Sindhu (berbaju putih) dan Ajie Wartono (bertopi). [Foto: Farid Wong]
Djaduk Ferianto (kiri) memberi sambutan dalam perayaan sewindu Jazz Mben Senen, didampingi Romo Sindhu (berbaju putih) dan Ajie Wartono (bertopi). [Foto: Farid Wong]
Apa yang dikatakan Djaduk itu setidaknya telah sejalan dengan orang-orang muda yang tergabung dalam Komunitas Jazz Jogja, sebagai pelaksana pentas mingguan tersebut. Sepengetahuan saya sebagai penikmat, mereka telah menjadikan Jazz Mben Senen sebagai tempat belajar sekaligus ajang untuk manajamkan kapabilitas individual pemain. Mereka bisa saling mengamati bagaimana skill dan teknikalitas dikembangkan.

Jam session yang kerap dilakukan bak kawah candradimuka untuk menempa kemampuan bermusik secara berkelompok dan spontan, tapi tetap mampu menjaga harmoni sebuah komposisi. Terjadinya kesalahan-kesalahan kecil dalam bermain kadang-kadang tak terhindarkan, tapi malah seringkali terkamuflase dengan improvisasi yang dimainkan, dan tetap enak dinikmati.

Selain menjadi tempat belajar, dari ajang kumpul mingguan ini juga muncul kelompok-kelompok musik. Barangkali lantaran sering bertemu dan bermain bersama, sejumlah pemain merasa menemukan mitra yang cocok untuk nge-grup. Ada sejumlah grup, bahkan perorangan, yang telah menelurkan album; ada yang dalam bentuk CD, ada pula dalam format digital yang bisa dibeli via iTunes. Komunitas sendiri sudah menelurkan sejumlah CD album kompilasi yang terbit membarengi Ngayogjazz - event jazz tahunan di Yogyakarta.

Sejumlah CD album kompilasi yang dihasilkan oleh orang-orang muda yang kerap tampil di Jazz Mben Senen. [Foto: Farid Wong]
Sejumlah CD album kompilasi yang dihasilkan oleh orang-orang muda yang kerap tampil di Jazz Mben Senen. [Foto: Farid Wong]
Jazz Mben Senen memang bukan pencetak pemain-pemain top, tapi setidaknya ia telah menjadi ruang bagi mereka untuk berkumpul, berdialog, bergotong-royong dan berkreasi. Ruang seperti ini tampaknya jarang, atau bahkan sulit, ditemui di kota-kota lain.

Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tentulah punya peran yang tidak kecil atas pentas jazz rutin dan gratis ini. Sebelumnya pentas jazz diadakan di kafe-kafe, bahkan di pinggir jalan atau di tempat-tempat terbuka seperti di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada. Makanya saat itu (sebelum tahun 2009) muncul istilah "Jazz Saba nDalan" (jazz di jalanan). Namun, pemunculannya tidak rutin; kadang ada, kadang tiada.

Foto: Farid Wong
Foto: Farid Wong
Keberadaannya yang rutin di BBY paling tidak telah membantu kian mendekatkan jazz pada publik, apalagi digelar dalam format yang sederhana dan terbuka. Orang-orang yang kebetulan lewat pun, entah yang berjalan kaki, bersepeda motor atau bermobil, kadang-kadang menghentikan kendaraannya dan menonton; bahkan ada beberapa yang menonton dengan duduk di atas jok sepeda motornya.

Bayangkan kalau pertunjukan itu diadakan di sebuah kafe, misalnya, pastilah kondisinya tak seleluasa itu. Orang harus memarkir kendaraan, masuk ke kafe, "terpaksa" beli minuman atau makanan, baru bisa menikmati jazz, padahal sebenarnya dia hanya ingin tahu seperti apa "makhluk" jazz itu.

Foto: Farid Wong
Foto: Farid Wong
BBY yang selama ini menjadi tempat pameran, pentas dan diskusi seni-budaya telah memberi ruang yang sehat bagi pertumbuhan jazz, khususnya di Yogyakarta. Ini bisa saya lihat dan rasakan bagaimana semangat jazz lebih menyala sekarang dibanding sebelum ada Jazz Mben Senen, terutama di kalangan orang-orang muda.

Di samping itu, regenerasi pemain-pemainnya juga turut tumbuh subur. Dari yang saya amati selama delapan tahun ini, kini banyak muncul pemain baru, dan dari segi usia pun lebih muda. Tentunya ini menggembirakan bagi perkembangan Jazz Mben Senen dan Komunitas Jazz Jogja ke depannya.

Romo Sindhu, sapaan akrab Sindhunata, dalam pidato sambutannya berharap Jazz Mben Senen di BBY bisa menjadi ajang bagi kaum muda untuk saling berkenalan, berkreasi dan membangun kerukunan. "Semoga ini bisa mempersatukan kita," tuturnya sebelum pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh Djaduk dan diserahkan kepada Romo Sindhu, yang kemudian menyerahkan potongan tumpeng itu pada wakil pemusik muda dari komunitas.

Penampilan sejumlah grup dan suasana penonton di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta pada Senin (29/1/2018) lalu. [Foto-foto: Farid Wong]
Penampilan sejumlah grup dan suasana penonton di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta pada Senin (29/1/2018) lalu. [Foto-foto: Farid Wong]
Jazz yang punya sifat egaliter dan demokratis tampaknya klop dengan bumi Jogja yang heterogen, guyub dan harmonis. Di Jazz Mben Senen, atmosfer itu sungguh terasa.

Dirgahayu Jazz Mben Senen!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun