Senin, 29 Januari 2018, malam lalu pelataran Bentara Budaya Yogyakarta disesaki pengunjung, sementara hujan kadang-kadang mengguyur di sela-sela acara. Acara perayaan ulang tahun kedelapan Jazz Mben Senen -- pentas jazz yang digelar tiap Senin malam -- itu memang meriah, tapi tetap saja tampil dalam suasana yang hangat, akrab dan bersahaja.
Sebagai pentas musik mingguan yang sudah rutin digelar sejak Desember 2009, Jazz Mben Senen hingga kini sudah digelar lebih dari 400 kali, dan bisa dikatakan hampir tak pernah absen. Konsistensi semacam ini tentu butuh energi yang konstan, dan ternyata energi itu terbukti dimiliki oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. (Baca juga "Jazz Mben Senen: dari Improvisasi sampai Intimasi Tanpa Basa-basi")
Perayaan kali ini dimeriahkan oleh berbagai penampilan dari sejumlah grup/project dari Komunitas Jazz Jogja, juga komunitas jazz dari Semarang serta Echa Soemantri (drummer) dan kawan-kawan dari Jakarta. Sebelum acara pemotongan tumpeng sebagai penanda perayaan, tampil di panggung tiga sosok yang dikenal sebagai inisiator Jazz Mben Senen, yakni Djaduk Ferianto (seniman, punggawa kelompok musik Kua Etnika dan Sinten Remen), Sindhunata (budayawan yang mewakili pihak Bentara Budaya Yogyakarta) dan Aji Wartono (media online Wartajazz).
Dalam sambutannya Djaduk mengemukakan, Jazz Mben Senen bukanlah tempat untuk mencari popularitas. "Di sini (adalah tempat) untuk berproses, berkesenian, untuk menemukan identitas diri," ujarnya sembari menambahkan bahwa apa yang dilakukan di setiap Senin malam itu merupakan investasi kultural, yang tentunya menjadi bekal penting di kemudian hari bagi orang-orang yang terlibat.
Jam session yang kerap dilakukan bak kawah candradimuka untuk menempa kemampuan bermusik secara berkelompok dan spontan, tapi tetap mampu menjaga harmoni sebuah komposisi. Terjadinya kesalahan-kesalahan kecil dalam bermain kadang-kadang tak terhindarkan, tapi malah seringkali terkamuflase dengan improvisasi yang dimainkan, dan tetap enak dinikmati.
Selain menjadi tempat belajar, dari ajang kumpul mingguan ini juga muncul kelompok-kelompok musik. Barangkali lantaran sering bertemu dan bermain bersama, sejumlah pemain merasa menemukan mitra yang cocok untuk nge-grup. Ada sejumlah grup, bahkan perorangan, yang telah menelurkan album; ada yang dalam bentuk CD, ada pula dalam format digital yang bisa dibeli via iTunes. Komunitas sendiri sudah menelurkan sejumlah CD album kompilasi yang terbit membarengi Ngayogjazz - event jazz tahunan di Yogyakarta.
Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) tentulah punya peran yang tidak kecil atas pentas jazz rutin dan gratis ini. Sebelumnya pentas jazz diadakan di kafe-kafe, bahkan di pinggir jalan atau di tempat-tempat terbuka seperti di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada. Makanya saat itu (sebelum tahun 2009) muncul istilah "Jazz Saba nDalan" (jazz di jalanan). Namun, pemunculannya tidak rutin; kadang ada, kadang tiada.
Bayangkan kalau pertunjukan itu diadakan di sebuah kafe, misalnya, pastilah kondisinya tak seleluasa itu. Orang harus memarkir kendaraan, masuk ke kafe, "terpaksa" beli minuman atau makanan, baru bisa menikmati jazz, padahal sebenarnya dia hanya ingin tahu seperti apa "makhluk" jazz itu.
Di samping itu, regenerasi pemain-pemainnya juga turut tumbuh subur. Dari yang saya amati selama delapan tahun ini, kini banyak muncul pemain baru, dan dari segi usia pun lebih muda. Tentunya ini menggembirakan bagi perkembangan Jazz Mben Senen dan Komunitas Jazz Jogja ke depannya.
Romo Sindhu, sapaan akrab Sindhunata, dalam pidato sambutannya berharap Jazz Mben Senen di BBY bisa menjadi ajang bagi kaum muda untuk saling berkenalan, berkreasi dan membangun kerukunan. "Semoga ini bisa mempersatukan kita," tuturnya sebelum pemotongan tumpeng yang dilakukan oleh Djaduk dan diserahkan kepada Romo Sindhu, yang kemudian menyerahkan potongan tumpeng itu pada wakil pemusik muda dari komunitas.