Generasi milenial pastilah tak banyak yang mengenal sosok Leo Kristi. Mereka yang mengenal mungkin informasinya diperoleh dari ayah atau ibunya yang menjadi penggemar, yang tentunya mengoleksi kaset/CD album sang artis.
Lelaki bernama asli Leo Imam Soekarno itu meramaikan dunia musik tanah air sejak dasawarsa 1970-an. Namanya semakin melambung ketika merilis album pada tahun 1975. Musiknya tergolong unik, khas, tak dimiliki oleh artis lain di Indonesia di zaman itu, bahkan hingga era sekarang. Leo dikenal sebagai penyanyi balada, juga sebagai trubadur.
Melalui lagu-lagunya, Leo banyak berbicara tentang kehidupan sehari-hari, perubahan negerinya, spiritualitas hingga cinta yang tentunya tidak merengek. Yang sangat dikenal kala itu adalah konsernya yang selalu digelar pada 17 Agustus, yakni Konser Rakyat Leo Kristi.
Album-albumnya yang pernah dirilis antara lain Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1977), Nyanyian Tanah Merdeka (1978), Nyanyian Cinta (1979), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1983), Lintasan Biru Emas (1985 -- tidak beredar), Di Deretan Rel-rel dan Salam dari Desa (1985), Diapenta Anak Merdeka (1990), Catur Paramita (1993), Tembang Lestari (1995), Warm, Fresh and Healthy (2010), dan Hitam Putih Orche (2014). Album terakhir tersebut melibatkan Dewa Budjana, gitaris jazz sekaligus gitaris utama kelompok Gigi, dan sejumlah musisi lain.
Sebagai pemusik, penyair dan pelantun lagu, tak perlu lagi diragukan ketenaran pria kelahiran Surabaya 8 Agustus 1949 itu. Sebagai pelukis, mungkin ada yang sudah tahu, tapi barangkali juga banyak yang belum tahu. Ya, Leo adalah pelukis, selain pemusik.
Ada 19 lukisan yang dipajang dalam pameran, yang kesemuanya hampir tanpa judul (hanya ada tiga yang diketahui judulnya); malahan sama sekali tak ada keterangan waktu pembuatannya. "Semua lukisan ini dititipkan pada seorang teman Leo Kristi di Bandung," ujar Kris Budiman, seorang doktor yang mengajar di Program Pascasarjana UGM Yogyakarta, sekaligus inisiator pameran. Sebenarnya masih ada lukisan-lukisan lainnya di Surabaya, tapi tidak disertakan karena alasan teknis dan sebagainya.
Menurut Kris, Leo yang wafat pada 21 Mei 2017 mulai melukis sekitar 1980-an. Bahkan ia pernah melukis di Madura bersama seorang maestro lukis Indonesia, Affandi (1907-1990). "Ini salah satu hasil lukisannya," tutur Kris sembari menunjuk ke salah satu lukisan yang menyerupai gambar perahu. Tak tahu kapan tepatnya lukisan itu dibuat. Dari semua lukisan yang terpajang, setidaknya kita dapat melihat evolusi dalam sapuan kuas Leo.
Hitam, merah, putih menjadi "trisuci" yang selalu hadir dalam lagu-lagu Leo. Begitulah Kris Budiman menyebut dalam tulisannya untuk pameran tersebut. Tentu saja masih banyak warna lain yang tertuang dalam larik-larik syair lagunya, seperti hijau, kuning, jingga, emas, biru, keperakan dan lainnya.
Aneka warna itu memang muncul dalam kanvas-kanvasnya. Secara sederhana dapat dikatakan, warna-warni di kanvas seolah menjadi format visual dari diksi warna dalam lagu-lagu Leo.