Helatan tahunan ini sudah digelar sepuluh kali, dan sembilan di antaranya saya hadiri. Celakanya, saya tak penah kapok untuk menghadirinya. Bagi saya, Ngayogjazz tak sekadar pertunjukan musik, terutama jazz, melainkan juga menjadi ajang bertemu kawan, bersilaturahmi, bersanda gurau, nongkrong, berbagi kegembiraan, dan menikmati atmosfer pedesaan.
Ya, Ngayogjazz memang diselenggarakan di desa-desa yang ada di wilayah Yogyakarta, dan lokasi penyelenggaraan selalu berpindah setiap tahunnya. Tahun ini, Ngayogjazz digelar Sabtu lalu, 19 November 2016, di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Perlu diketahui, sebagian besar warga Kwagon adalah pembuat genteng sehingga padukuhan ini terkenal sebagai sentra industri genteng.
Tujuh panggung disediakan bagi para penampil, termasuk sebuah panggung untuk seni karawitan Kwagon. Ada pula Pasar Jazz, tempat jualan makanan dan minuman yang dijajakan oleh masyarakat Kwagon, merchandise resmi Ngayogjazz 2016 dan lain-lain.
Tanpa Guyuran Hujan
Pertunjukan dimulai sekitar pukul 10 pagi dan berakhir sekitar pukul 10 malam. Semuanya bisa ditonton secara gratis. Ada lebih dari 30 penampil yang tersebar di panggung-panggung tersebut, seperti Fariz RM Anthology Kuartet, Tohpati & Friends, Harvey Malaiholo, Monita Tahalea, Emerald-BEX, Nikita Dompas Trio, Komunitas Jazz Jogja, Palembang Jazz Community, Gubuk Jazz Pekanbaru, Arupadhatu Jazz, dan masih banyak lagi.
Saya merasa Ngayogjazz 2016 ini yang paling seru dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ngayogjazz memang selalu dijubeli pengunjung, dan Sabtu lalu mungkin jumlahnya sampai puluhan ribu; ini hanya perkiraan menurut “perasaan” saya saja, yang sangat mungkin bisa salah.
Menariknya lagi, hujan – yang biasanya kerap mengguyur sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya – tak hadir di sepanjang perhelatan di Kwagon. Maklumlah, Ngayogjazz selalu diadakan di saat musim hujan, dan tak jarang saya dan ribuan penonton lainnya tetap menikmati pertunjukan di tengah guyuran hujan; tentu dengan mengenakan jas hujan atau payung. Namun, di Kwagon, jas hujan yang saya bawa tetap tersimpan rapi di dalam tas.
Menyebar Kebahagiaan
Lantaran cuaca yang bersahabat itu, saya lihat orang-orang terus berdatangan ketika malam mulai merambat. Sekitar pukul 19, ketika saya bergerak ke sebuah panggung tempat Tohpati & Friends akan berpentas pada sekitar pukul 21, orang-orang sudah berjubel di depan panggung tersebut; bahkan saya sendiri sudah kesulitan untuk melihat panggunggnya saja. Luar biasa! Begitu pula di dua panggung lainnya yang sempat saya tengok di mana Fariz RM Anthology Kuartet dan Emerald-BEX akan berpentas.
Ya sudahlah… itu tak soal bagi saya. Akhirnya, mlipir-lah saya ke penjual kopi untuk ngupi dan ngudud, sembari ngobrol gayeng bersama teman-teman yang sempat saya temui. Seperti sudah saya bilang, datang ke Ngayogjazz itu bukan sekadar nonton pertunjukan, tapi juga bersilaturahmi dan menikmati suasana kegembiraan di desa.
Dibanding Ngayogjazz sebelumnya, tema yang diusung kali ini menarik meskipun agak sulit dilafalkan, yakni “Hamemangun Karyenak Jazzing Sasama.” Menurut rekan-rekan panitia, kata-kata itu terinspirasi dari Pupuh Sinom Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang menyebutkan “Amemangun Karyenak Tyasing Sasama ” – artinya, berbuat untuk menyenangkan hati sesama manusia.
Nah, “Hamemangun Karyenak Jazzing Sasama” bisa diartikan membangun karya jazz yang indah untuk membahagiakan sesama manusia. Harapannya, ini bisa menyebarkan semangat berbuat baik dan kebahagiaan kepada semua orang. Tentunya ini menjadi sesuatu yang pas untuk dimunculkan, ketika tanah air belakangan ini disesaki oleh sebaran berita keburukan dan kebencian.
Swing Ora Jazzmu
Saya memang tidak dapat menonton secara langsung sebagian besar karya yang disuguhkan di panggung-panggung Ngayogjazz 2016, tapi saya tetap gembira dan bahagia. Apalagi saya telah mendapatkan karya-karya indah yang terkumpul dalam format CD, yang ditajuki “Swing Ora Jazzmu.” Tentu saja ini plesetan dari judul sebuah tembang Jawa “Suwe Ora Jamu.”
CD tersebut merupakan album kompilasi yang diproduksi oleh Komunitas Jazz Jogja, yang berisi sembilan komposisi karya rekan-rekan yang tergabung dalam komunitas. Peluncuran album ini dilakukan oleh Djaduk Ferianto beserta sejumlah punggawa Ngayogjazz 2016 di salah satu panggung pertunjukan, dan disaksikan oleh para penonton yang hadir.
Dari judul album setidaknya sudah bisa diperkirakan bahwa jazz yang ditawarkan beraroma swing. Dengan daya kreasi masing-masing kelompok, rasa ritmis yang mereka tawarkan sungguh nyaman untuk dinikmati.
Ketika ditanya seperti apa swing itu, pastilah saya tak bisa memberi jawaban tepat. Paling-paling saya hanya bisa mengingatkan pada tokoh-tokohnya, seperti Benny Goodman, Earl Hines, Benny Carter, Charlie Bennet dan sebagainya. Atau, setidaknya merujuk pada komposisi “It Don’t Mean a Thing (If It Ain’t Got That Swing)" karya Duke Ellington. Begitulah kira-kira gaya swing.
Sejak Ngayogjazz digelar pada 2007, saya telah mendapatkan enam album kompilasi. Sebenarnya sudah dibuat tujuh album, tapi karena sesuatu dan lain hal, satu album tak jadi terbit. “Swing Ora Jazzmu” paling tidak telah menghapus dahaga saya akibat ketakhadiran album kompilasi di Ngayogjazz 2014 dan 2015.
Lengkap sudah kegembiraan saya di Ngayogjazz 2016. Sampai jumpa di Ngayogjazz 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H