Publik umumnya mengetahui adanya konflik di Rempang berdasarkan berita media massa, dimana terjadi bentrokan antara masyarakat (atas nama 16 Kampung Tua) di Pulau Rempang dengan aparatur Pemerintah (Polri, TNI dan BP Batam) 7 September 2023. Bentrokan dipicu atas penolakan masyarakat terhadap upaya paksa pengukuran lahan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City (REC) yang akan menggunakan lahan wilayah pulau seluas sekitar 16.500 hektar. Pembangunan REC akan mengakibatkan penggusuran atau pemindahan paksa sekitar 7.500 orang masyarakat adat Pulau Rempang yang berasal dari 16 kampung adat Melayu Tua yang telah menempati kawasan tersebut sejak tahun 1800-an.
Pemerintah berniat melakukan pengembangan proyek Pulau Rempang menjadi REC yang diminati oleh produsen kaca asal China yakni Xinyi Glass Holdings Ltd. Komitmen investasi siap dikucurkan oleh Xinyi Glass Holding dalam proyek Rempang Eco-City tersebut, dan telah disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Indonesia dan China yang telah ditandatangani pada 18 Juli 2023. Industri ini diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sekitar 35.000 orang dengan nilai investasi sebesar 381 triliun Rupiah pada 2080. Kasus Rempang tersebut kemudian menjadi perhatian nasional, dan timbul pro dan kontra dari masyarakat terkait pengembangan proyek Pulau Rempang menjadi REC.
Banyak tulisan dari berbagai pakar, akademisi atau bahkan masyarakat umum yang menyampaikan opini dan fakta mulai dari akar masalah hingga solusi-solusi yang coba ditawarkan. Dalam kesempatan ini, Penulis mencoba menganalisis Kasus Rempang dari sudut pandang berbeda yaitu aspek pertahanan dan keamanan nasional, khususnya kaitannya dengan kedaulatan NKRI sesuai dengan amanat Deklarasi Djuanda dan carut-marut konflik kedaulatan di Laut China Selatan.
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Wawasan Nusantara
Konsep dan gagasan Indonesia sebagai suatu negara kesatuan secara eksplisit sebetulnya telah muncul sebelum pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 secara nyata telah mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah suatu negara kesatuan melalui tiga keputusan kongres; yang mana merupakan suatu pengakuan sebagai satu bangsa dan satu tanah air, serta penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Konsep negara kesatuan ini kemudian dikukuhkan pula dalam UUD 1945 Pasal 1: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Konsep Indonesia sebagai negara kesatuan tidak terlepas dari fakta bahwa secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dimana segala variasi sosial dan budaya di dalamnya harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Konsep ini pula yang kemudian tampaknya melahirkan konsep Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah NKRI yang meliputi darat, laut, dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Wawasan Nusantara adalah sudut pandang geopolitik Indonesia secara mendasar. Secara harfiah, wawasan nusantara berarti konsep kepulauan; secara kontekstual istilah ini mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘visi kepulauan Indonesia’. Wawasan Nusantara sendiri memiliki fungsi sebagai konsepsi ketahanan nasional, konsepsi pembangunan, konsepsi pertahanan dan keamanan serta konsepsi kewilayahan.
Deklarasi Djuanda dan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
Konsep Wawasan Nusantara berupaya untuk menjawab tantangan geografis yang melekat pada diri Indonesia — sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau serta ribuan latar belakang sosial budaya penduduknya. Dalam hal ini, maka perairan yang terdapat di antara pulau-pulau itu harus dianggap sebagai elemen penghubung dan bukanlah sebagai faktor pemisah. Tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Indonesia saat ini merupakan ‘warisan’ dari wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada periode awal kemerdekaan, wilayah batas teritorial laut Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut; dan Indonesia dapat dikatakan belum memiliki kedaulatan atas wilayah laut yang memisahkan pulau-pulaunya. Dengan kata lain, batas teritorial laut tersebut belum mendukung konsep Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki visi Wawasan Nusantara.
Pada medio 1950-an, para pemimpin Indonesia mempertimbangkan perlu adanya aturan mengenai sistem laut di Indonesia, karena ketentuan Ordonansi 1939 juga dapat dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pada 13 Desember 1957 dilakukan suatu deklarasi oleh PM Indonesia, Djuanda Kartawidjaja, sehingga deklarasi tersebut lebih dikenal dengan nama ‘Deklarasi Djuanda’; yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2.5 kali lipat dari 2,027,087 km² menjadi 5,193,250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional. Kemudian, pada 17 Februari 1969 pemerintah Indonesia menerbitkan pengumuman tentang ‘Landas Kontinen Indonesia’.
Pada awalnya, Deklarasi Djuanda menuai protes dari negara lain; namun selama bertahun-tahun delegasi Indonesia secara konsisten menyuarakan konsep tersebut pada forum-forum resmi PBB hingga kemudian terlaksana kongres United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III pada 30 April 1982 yang penanda-tanganan dilakukan pada 10 Desember 1982 di Jamaica. Konvensi hukum laut internasional tersebut memuat pengakuan atas apa yang sudah dideklarasikan di dalam Deklarasi Djuanda. Indonesia sendiri kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Mengacu kepada UNCLOS 1982, sangat jelas dinyatakan bahwa negara kepulauan memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah perairannya termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber kekayaan yang terkandung di bawahnya.
Sengketa Laut China Selatan (LCS)
Pengesahan UNCLOS 1982 tidak serta merta membuat Indonesia ‘berkuasa penuh’ atas wilayah yang di-klaim-nya baik itu batas zona teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi ekslusif (ZEE). Salah satu tantangan terbesar Indonesia saat ini dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI adalah terkait dengan klaim Nine Dash Line (NDL) oleh China di Laut China Selatan. Klaim NDL tersebut bersinggungan atau tumpang tindih dengan wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Sengketa ini tidak hanya melibatkan Indonesia namun juga negara-negara Asia Timur dan ASEAN. Pada prinsipnya, substansi sengketa LCS adalah perebutan wilayah perairan dan kepulauan di laut tersebut yang melibatkan enam negara yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan China. Keenam negara merasa berhak berdasarkan interpretasi terhadap hukum internasional yaitu UNCLOS 1982 untuk mengklaim sebagian dan atau seluruh wilayah LCS sebagai wilayah teritorialnya. Perebutan wilayah menjadikan isu ini kompleks karena terkait dengan konsep geopolitik itu sendiri.
Konflik kepentingan perebutan wilayah tersebut semakin memanas ketika China semakin mengukuhkan klaimnya pada dekade 1970-an. Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi China untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan LCS melalui klaim NDL. Hal ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan powernya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara claimant lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak awal era 1970-an hingga sekarang China secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan LCS guna mempertahankan sumber-sumber potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya. Selain karena faktor ekonomi, klaim atas LCS juga dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan keamanan nasional. Dari aspek politik, klaim tersebut tampaknya berkaitan dengan strategi politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Keterlibatan Beijing dalam persengketaan tersebut sepertinya adalah untuk menegaskan kembali perannya sebagai negara besar dalam percaturan regional.
Pertarungan kepentingan geopolitik antar negara pada dasarnya melibatkan semua pihak yang mempunyai kepentingan dengan LCS, baik negara pengklaim (claimant) maupun bukan (non-claimant). Bahkan, pada konteks saat ini, sulit dihindari kesan bahwa sengketa LCS bukan saja menghadapkan negara-negara Asia Tenggara yang memiliki klaim di perairan tersebut versus China; tetapi mencakup pula Amerika Serikat dan Barat (setidaknya mencakup Inggris, Jerman, Australia) serta India, Korea Selatan dan Jepang versus China. LCS juga memiliki nilai strategis dari aspek politik dan keamanan. Dalam konteks ini, kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa LCS menjadi ajang pertarungan kepentingan politik dan keamanan antara Amerika Serikat dan Barat dengan Cina. Amerika Serikat dan Barat mengedepankan isu kebebasan bernavigasi (freedom of navigation) di LCS, termasuk kebebasan bagi kapal perangnya dalam rangka proyeksi kekuatan ke kawasan Samudera Hindia maupun Pasifik. China (dan Taiwan) mengganggap LCS sebagai suatu kesatuan geopolitik dan pertahanan keamanan. China mengklaim LCS guna menciptakan zona penolakan (denial) laut dan udara sehingga kemampuan kekuatan lawan dapat ditangkal dalam periode waktu tertentu di sekitar wilayah daratan China. Hal ini sesuai strategi pertahanan yang diterapkannya yaitu Offshore Defense yang mempunyai dua zona pertahanan yaitu two island chains. Adapun Amerika Serikat, Barat dan negara-negara lainnya yang tidak terlibat langsung dalam perebutan sebagian dan atau seluruh wilayah mendasarkan kepentingannya di perairan itu pada kebebasan bernavigasi, baik untuk kepentingan militer maupun ekonomi. Adanya sengketa dan/atau upaya pihak-pihak yang memiliki klaim terhadap sebagian dan atau seluruh wilayah perairan LCS akan dianggap menghalangi kebebasan bernavigasi; dan dinilai sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat maupun negara-negara lain tersebut.
Indonesia secara resmi telah menyatakan sebagai negara ‘non-claimant’ atau negara yang tidak turut memiliki klaim teritorial terkait sengketa NDL berdasarkan fakta bahwa tidak ada wilayah kedaulatan (sovereignty) yang dilanggar. Pernyataan ini secara resmi melalui nota diplomatik No. 480/POL-703/VII/10. Meskipun demikian, Indonesia juga menyatakan adanya tumpang-tindih antara NDL dengan ZEE Indonesia, sesuai nota diplomatik No. 126/POL-703/V/20. Pemerintah China secara resmi juga menyatakan hal yang sama, juga melalui nota diplomatik yang diserahkan kepada PBB (No. CML/46/2020). Dalam pandangan pribadi penulis, Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang dapat dikatakan ‘lunak’ terkait konflik di LCS, khusunya terhadap China. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor khusunya ekonomi, dimana China merupakan investor terbesar di Indonesia untuk saat ini. Indonesia tampaknya belum siap bila harus berhadapan frontal dan bersikap keras terhadap China karena China menjadi mitra dagang terbesar. Sebaliknya, China sendiri tampaknya lebih bersikap hati-hati dalam hubungannya dengan potensi konflik dengan Indonesia; tampak dari pernyataan-pernyataan resmi Pemerintah China terkait tumpang-tindih klaim di ZEE Laut Natuna Utara. Perilaku ini tampaknya juga karena motif ekonomi dimana Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk produk-produk China, selain tentunya sebagai sumber bahan mentah.
Rempang dan Sengketa LCS
Selain menelaah mengenai akar masalah konflik, diskusi mengenai konflik Rempang dan kedaulatan Indonesia tentunya harus memperhatikan aspek geopopolitik kawasan, khususnya Pulau Rempang itu sendiri. Telah sangat banyak artikel maupun naskah akademik yang menyebutkan dan menjelaskan nilai penting Pulau Rempang secara geopolitik dan geostrategi bagi Indonesia. Pulau Rempang berada di wilayah Kepulauan Riau yang menjadi sentral perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka yang mana merupakan salah satu alur pelayaran tersibuk di dunia, termasuk terutama untuk minyak mentah dan produk-produk energi. Selain itu, karena posisinya yang erletak di jantung Selat Malaka dan gerbang masuk LCS, wilayah ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada hubungan dengan negara-negara tetangga dan stabilitas regional, khusunya dengan Malaysia dan Singapura. Kepulauan Riau juga memiliki potensi ekonomi yang signifikan, terutama dalam sektor pertambangan mineral, pariwisata dan perikanan.
Pengusahaan kawasan Batam-Rempang-Galang (Barelang) untuk penguatan ekonomi guna mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia sebetulnya bukan hal yang salah atau keliru. Pengusahaan pembangunan Rembang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) semestinya juga hal yang patut diapresiasi dan didukung. Akan tetapi, apakah proses-proses yang dilakukan oleh Pemerintah (juga investor) telah sesuai dengan sistem perundang-undangan yang berlaku? Nilai investasi yang besar dan pertumbuhan cepat bukan satu-satunya ukuran keberhasilan yang bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap iklim investasi suatu negara; namun harus diperhitungkan pula dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi, lingkungan, dan masyarakat.
Terlepas dari selain nilai strategis bidang ekonomi dan sumberdaya alam, dalam pandangan Penulis, Pulau Rempang dan pulau-pulau lain disekitarnya (termasuk Batam dan Galang) juga memiliki nilai strategis secara geopolitik dan geostrategi, khususnya dalam kaitannya dengan klaim NDL oleh China yang bersinggungan dengan pertahanan dan keamanan Indonesia. Sesuai dengan UNCLOS 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah perairannya termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber kekayaan yang terkandung di bawahnya. Ini berarti bahwa jika Indonesia dapat secara penuh menguasai teritori di seluruh Kepulauan Riau, maka Indonesia dapat mengawasi lalu lintas kapal di selat Malaka yang berdampak besar pada ekonomi global. Dengan demikian, Indonesia juga dapat memiliki daya tawar (bargaining force) terhadap klaim China dengan NDL-nya di LCS.
Sebagaimana diketahui, salah satu investor besar program REC adalah Xinyi Glass Holdings Ltd dari China. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan apakah masuknya perusahaan China dalam skala yang besar ke Rempang tidak akan secara pelan-pelan memberikan pijakan jalan bagi China untuk ‘menguasai’ perekonomian di Selat Malaka. Investasi China juga harus dievaluasi dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Ketika Xinyi Glass Holdings Ltd membangun industri besar di Rempang, pastinya akan dibangun suatu pelabuhan khusus bagi perusahaan. Selain digunakan oleh perusahaan, pelabuhan ini secara lambat laun dan terselubung namun sistematis juga dapat menjadi pangkalan aju bagi militer China; dengan dalih untuk menjaga mengamankan aset negaranya (Xinyi Glass Holdings Ltd).
Sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa penjajahan pada awalnya dapat dimulai dari ekonomi dan perdagangan, kemudian muncul keinginan untuk menguasai dan memonopoli. Sebagai contoh, VOC awalnya datang untuk berdagang. Setelah memiliki pangkalan aju (atau loji) di Batavia, kegiatan perdagangan berubah menjadi monopoli yang akhirnya menjadi penjajahan selama ratusan tahun di Nusantara. Contoh lain yang sedikit berbeda adalah keterlibatan Amerika Serikat (AS) saat masa awal pemberontakan PRRI di Sumatera. Dikisahkan bahwa militer AS telah bersiap masuk ke Sumatera bila pecah perang, dengan dalih mengamankan aset negaranya yaitu kilang minyak milik Caltex di Dumai, Riau. Dalam kasus ini, meskipun bukan merupakan suatu bentuk penjajahan, namun potensi intervensi asing tetaplah ada, dengan dalih apapun.
Asumsi bahwa Pulau Rempang dapat saja menjadi pangkalan aju bagi militer China didasarkan pada fakta bahwa Pulau Rempang secara geografis berdekatan dengan wilayah yang diklaim China di LCS. Wilayah Rempang dan sekitarnya juga berada disekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang merupakan alur pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna - Selat Karimata – Laut Jawa - Selat Sunda. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. Pembentukan ALKI menjadi jalan untuk memudahkan negara lain yang memiliki kepentingan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban untuk melintas di wilayah Indonesia. Pelaksanaan hak ALKI membuat keamanan maritim di wilayah Indonesia menjadi prioritas bagi negara-negara di dunia karena terganggunya jalur ALKI dapat mengancam perekonomian dunia sesuai implementasi ketentuan UNCLOS 1982. Adanya ALKI sebagai jalur internasional yang membuat Indonesia menjadi negara terbuka memang tidak selalu menimbulkan masalah dan kerugian negara. Akan tetapi, bagaimanapun juga terdapat potensi-potensi pelanggaran yang kemudian berdampak negatif terhadap keamanan nasional. Bila eskalasi politik di LCS semakin memanas dan berkembang menjadi konflik bersenjata, tidaklah mustahil bahwa militer China akan dengan bebas keluar dan masuk wilayah teritorial Indonesia karena ada aset negaranya. Negara-negara yang saling berkonflik juga sangat mungkin akan bebas berlalu-lalang di wilayah ALKI I, dan tidak menutup kemungkinan akan adanya bertrokan bersenjata di alur tersebut. Bila hal ini terjadi, tentu berdampak bagi pertahanan dan keamanan Indonesia; dan mau tidak mau, Indonesia pastinya akan terseret untuk terlibat dalam konflik tersebut.
Mengutip dari berbagai sumber dan dengan berdasar pada analisis masalah diatas, konflik klaim NDL antara China dan negara-negara lain tampaknya belum akan menemukan titik terang dalam waktu dekat. Dalam kaitannya dengan kasus Rempang, Indonesia harus meningkatan kekuatan laut (sea power) yang tidak terbatas pada kekuatan militer saja namun juga pengendalian atas perdagangan dan perekonomian nasional melalui jalur laut (khusunya ALKI I) serta pengendalian dan kontrol terhadap seluruh sumber daya kelautan di Kepulauan Riau dan sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H