Mohon tunggu...
Farid Muzaki
Farid Muzaki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana

Mahasiswa Pascasarjana yang tertarik dengan konservasi, sejarah dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Rempang dan Kedaulatan NKRI

30 Oktober 2023   11:15 Diperbarui: 30 Oktober 2023   11:29 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengesahan UNCLOS 1982 tidak serta merta membuat Indonesia ‘berkuasa penuh’ atas wilayah yang di-klaim-nya baik itu batas zona teritorial, zona tambahan dan zona ekonomi ekslusif (ZEE). Salah satu tantangan terbesar Indonesia saat ini dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI adalah terkait dengan klaim Nine Dash Line (NDL) oleh China di Laut China Selatan. Klaim NDL tersebut bersinggungan atau tumpang tindih dengan wilayah ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Sengketa ini tidak hanya melibatkan Indonesia namun juga negara-negara Asia Timur dan ASEAN. Pada prinsipnya, substansi sengketa LCS adalah perebutan wilayah perairan dan kepulauan di laut tersebut yang melibatkan enam negara yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan China. Keenam negara merasa berhak berdasarkan interpretasi terhadap hukum internasional yaitu UNCLOS 1982 untuk mengklaim sebagian dan atau seluruh wilayah LCS sebagai wilayah teritorialnya. Perebutan wilayah menjadikan isu ini kompleks karena terkait dengan konsep geopolitik itu sendiri.

Konflik kepentingan perebutan wilayah tersebut semakin memanas ketika China semakin mengukuhkan klaimnya pada dekade 1970-an. Latar belakang sejarah dan penemuan-penemuan kuno seringkali dijadikan sebagai alasan bagi China untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan LCS melalui klaim NDL. Hal ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan show of force, yang cenderung menunjukkan powernya melalui aksi provokatif terhadap negara-negara claimant lainnya. Seperti terlihat dalam kebijakannya sejak awal era 1970-an hingga sekarang China secara intensif telah menunjukkan simbol-simbol kedaulatannya bahkan tidak jarang terlihat agresif dengan melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal asing yang melintasi perairan LCS guna mempertahankan sumber-sumber potensial barunya yang dapat mendukung kepentingan nasionalnya. Selain karena faktor ekonomi, klaim atas LCS juga dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan keamanan nasional. Dari aspek politik, klaim tersebut tampaknya berkaitan dengan strategi politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Keterlibatan Beijing dalam persengketaan tersebut sepertinya adalah untuk menegaskan kembali perannya sebagai negara besar dalam percaturan regional.

Pertarungan kepentingan geopolitik antar negara pada dasarnya melibatkan semua pihak yang mempunyai kepentingan dengan LCS, baik negara pengklaim (claimant) maupun bukan (non-claimant). Bahkan, pada konteks saat ini, sulit dihindari kesan bahwa sengketa LCS bukan saja menghadapkan negara-negara Asia Tenggara yang memiliki klaim di perairan tersebut versus China; tetapi mencakup pula Amerika Serikat dan Barat (setidaknya mencakup Inggris, Jerman, Australia) serta India, Korea Selatan dan Jepang versus China. LCS juga memiliki nilai strategis dari aspek politik dan keamanan. Dalam konteks ini, kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa LCS menjadi ajang pertarungan kepentingan politik dan keamanan antara Amerika Serikat dan Barat dengan Cina. Amerika Serikat dan Barat mengedepankan isu kebebasan bernavigasi (freedom of navigation) di LCS, termasuk kebebasan bagi kapal perangnya dalam rangka proyeksi kekuatan ke kawasan Samudera Hindia maupun Pasifik. China (dan Taiwan) mengganggap LCS sebagai suatu kesatuan geopolitik dan pertahanan keamanan. China mengklaim LCS guna menciptakan zona penolakan (denial) laut dan udara sehingga kemampuan kekuatan lawan dapat ditangkal dalam periode waktu tertentu di sekitar wilayah daratan China. Hal ini sesuai strategi pertahanan yang diterapkannya yaitu Offshore Defense yang mempunyai dua zona pertahanan yaitu two island chains. Adapun Amerika Serikat, Barat dan negara-negara lainnya yang tidak terlibat langsung dalam perebutan sebagian dan atau seluruh wilayah mendasarkan kepentingannya di perairan itu pada kebebasan bernavigasi, baik untuk kepentingan militer maupun ekonomi. Adanya sengketa dan/atau upaya pihak-pihak yang memiliki klaim terhadap sebagian dan atau seluruh wilayah perairan LCS akan dianggap menghalangi kebebasan bernavigasi; dan dinilai sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika Serikat maupun negara-negara lain tersebut.

Indonesia secara resmi telah menyatakan sebagai negara ‘non-claimant’ atau negara yang tidak turut memiliki klaim teritorial terkait sengketa NDL berdasarkan fakta bahwa tidak ada wilayah kedaulatan (sovereignty) yang dilanggar. Pernyataan ini secara resmi melalui nota diplomatik No. 480/POL-703/VII/10. Meskipun demikian, Indonesia juga menyatakan adanya tumpang-tindih antara NDL dengan ZEE Indonesia, sesuai nota diplomatik No. 126/POL-703/V/20. Pemerintah China secara resmi juga menyatakan hal yang sama, juga melalui nota diplomatik yang diserahkan kepada PBB (No. CML/46/2020). Dalam pandangan pribadi penulis, Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang dapat dikatakan ‘lunak’ terkait konflik di LCS, khusunya terhadap China. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor khusunya ekonomi, dimana China merupakan investor terbesar di Indonesia untuk saat ini. Indonesia tampaknya belum siap bila harus berhadapan frontal dan bersikap keras terhadap China karena China menjadi mitra dagang terbesar. Sebaliknya, China sendiri tampaknya lebih bersikap hati-hati dalam hubungannya dengan potensi konflik dengan Indonesia; tampak dari pernyataan-pernyataan resmi Pemerintah China terkait tumpang-tindih klaim di ZEE Laut Natuna Utara. Perilaku ini tampaknya juga karena motif ekonomi dimana Indonesia adalah pasar yang sangat potensial untuk produk-produk China, selain tentunya sebagai sumber bahan mentah.

Rempang dan Sengketa LCS

Selain menelaah mengenai akar masalah konflik, diskusi mengenai konflik Rempang dan kedaulatan Indonesia tentunya harus memperhatikan aspek geopopolitik kawasan, khususnya Pulau Rempang itu sendiri. Telah sangat banyak artikel maupun naskah akademik yang menyebutkan dan menjelaskan nilai penting Pulau Rempang secara geopolitik dan geostrategi bagi Indonesia. Pulau Rempang berada di wilayah Kepulauan Riau yang menjadi sentral perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka yang mana merupakan salah satu alur pelayaran tersibuk di dunia, termasuk terutama untuk minyak mentah dan produk-produk energi. Selain itu, karena posisinya yang erletak di jantung Selat Malaka dan gerbang masuk LCS, wilayah ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada hubungan dengan negara-negara tetangga dan stabilitas regional, khusunya dengan Malaysia dan Singapura. Kepulauan Riau juga memiliki potensi ekonomi yang signifikan, terutama dalam sektor pertambangan mineral, pariwisata dan perikanan.


Pengusahaan kawasan Batam-Rempang-Galang (Barelang) untuk penguatan ekonomi guna mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia sebetulnya bukan hal yang salah atau keliru. Pengusahaan pembangunan Rembang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) semestinya juga hal yang patut diapresiasi dan didukung. Akan tetapi, apakah proses-proses yang dilakukan oleh Pemerintah (juga investor) telah sesuai dengan sistem perundang-undangan yang berlaku? Nilai investasi yang besar dan pertumbuhan cepat bukan satu-satunya ukuran keberhasilan yang bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap iklim investasi suatu negara; namun harus diperhitungkan pula dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi, lingkungan, dan masyarakat. 

Terlepas dari selain nilai strategis bidang ekonomi dan sumberdaya alam, dalam pandangan Penulis, Pulau Rempang dan pulau-pulau lain disekitarnya (termasuk Batam dan Galang) juga memiliki nilai strategis secara geopolitik dan geostrategi, khususnya dalam kaitannya dengan klaim NDL oleh China yang bersinggungan dengan pertahanan dan keamanan Indonesia. Sesuai dengan UNCLOS 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah perairannya termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber kekayaan yang terkandung di bawahnya. Ini berarti bahwa jika Indonesia dapat secara penuh menguasai teritori di seluruh Kepulauan Riau, maka Indonesia dapat mengawasi lalu lintas kapal di selat Malaka yang berdampak besar pada ekonomi global. Dengan demikian, Indonesia juga dapat memiliki daya tawar (bargaining force) terhadap klaim China dengan NDL-nya di LCS.

Sebagaimana diketahui, salah satu investor besar program REC adalah Xinyi Glass Holdings Ltd dari China. Dalam hal ini, perlu dipertanyakan apakah masuknya perusahaan China dalam skala yang besar ke Rempang tidak akan secara pelan-pelan memberikan pijakan jalan bagi China untuk ‘menguasai’ perekonomian di Selat Malaka. Investasi China juga harus dievaluasi dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Ketika Xinyi Glass Holdings Ltd membangun industri besar di Rempang, pastinya akan dibangun suatu pelabuhan khusus bagi perusahaan. Selain digunakan oleh perusahaan, pelabuhan ini secara lambat laun dan terselubung namun sistematis juga dapat menjadi pangkalan aju bagi militer China; dengan dalih untuk menjaga mengamankan aset negaranya (Xinyi Glass Holdings Ltd).

Sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa penjajahan pada awalnya dapat dimulai dari ekonomi dan perdagangan, kemudian muncul keinginan untuk menguasai dan memonopoli. Sebagai contoh, VOC awalnya datang untuk berdagang. Setelah memiliki pangkalan aju (atau loji) di Batavia, kegiatan perdagangan berubah menjadi monopoli yang akhirnya menjadi penjajahan selama ratusan tahun di Nusantara. Contoh lain yang sedikit berbeda adalah keterlibatan Amerika Serikat (AS) saat masa awal pemberontakan PRRI di Sumatera. Dikisahkan bahwa militer AS telah bersiap masuk ke Sumatera bila pecah perang, dengan dalih mengamankan aset negaranya yaitu kilang minyak milik Caltex di Dumai, Riau. Dalam kasus ini, meskipun bukan merupakan suatu bentuk penjajahan, namun potensi intervensi asing tetaplah ada, dengan dalih apapun.

Asumsi bahwa Pulau Rempang dapat saja menjadi pangkalan aju bagi militer China didasarkan pada fakta bahwa Pulau Rempang secara geografis berdekatan dengan wilayah yang diklaim China di LCS. Wilayah Rempang dan sekitarnya juga berada disekitar Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang merupakan alur pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna - Selat Karimata – Laut Jawa - Selat Sunda. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. Pembentukan ALKI menjadi jalan untuk memudahkan negara lain yang memiliki kepentingan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban untuk melintas di wilayah Indonesia. Pelaksanaan hak ALKI membuat keamanan maritim di wilayah Indonesia menjadi prioritas bagi negara-negara di dunia karena terganggunya jalur ALKI dapat mengancam perekonomian dunia sesuai implementasi ketentuan UNCLOS 1982. Adanya ALKI sebagai jalur internasional yang membuat Indonesia menjadi negara terbuka memang tidak selalu menimbulkan masalah dan kerugian negara. Akan tetapi, bagaimanapun juga terdapat potensi-potensi pelanggaran yang kemudian berdampak negatif terhadap keamanan nasional. Bila eskalasi politik di LCS semakin memanas dan berkembang menjadi konflik bersenjata, tidaklah mustahil bahwa militer China akan dengan bebas keluar dan masuk wilayah teritorial Indonesia karena ada aset negaranya. Negara-negara yang saling berkonflik juga sangat mungkin akan bebas berlalu-lalang di wilayah ALKI I, dan tidak menutup kemungkinan akan adanya bertrokan bersenjata di alur tersebut. Bila hal ini terjadi, tentu berdampak bagi pertahanan dan keamanan Indonesia; dan mau tidak mau, Indonesia pastinya akan terseret untuk terlibat dalam konflik tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun