Premis-premis yang sederhana menjadi senjata utamanya dalam menyemai asumsi untuk akhirnya menuai persepsi yang tepat dari penonton tentang social commentary yang berusaha kita kemukakan. Dan, sejauh pengamatan saya, usaha itu berhasil membuat kita, penontonnya, berpikir kembali tentang realitas.
Teknik yang dipilih oleh Phillips itu pula, saya pikir, yang menjadikan film ini begitu mudah dicerna dan mengakibatkan stres di benak para penontonnya (berdasarkan banyak pengakuan warganet di media sosial). Tidak hanya bagi orang dewasa, tapi film ini juga dirasa terlalu mudah untuk dicerna oleh anak-anak.
Mengatakan bahwa film ini terlalu mudah untuk dicerna secara cerita, tentu saya tidak sedang mendiskusikan tentang adegan kekerasan, melainkan tentang gagasan yang disampaikan. Semakin sederhana sebuah logika, semakin mudah dia untuk dicerna.Â
Dari sini saya bisa memaklumi kekhawatiran banyak pihak tentang film ini. Memang dibutuhkan kedewasaan untuk menangkap pesannya; mengingat film, sejak awal kemunculannya, tidak pernah ditujukan hanya untuk menyuguhkan hiburan, melainkan media penyampai pesan.
Selamat menonton dan selamat menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H