Disclaimer: tulisan ini tidak membicarakan kontroversi film Joker, kecuali sedikit. Tidak pula mengandung spoiler film Joker, kecuali sedikit.
Belakangan ini media sosial diramaikan oleh cuitan warganet tentang film Joker. Mulai dari peringatan bagi orang tua agar tidak membawa anak-anak untuk menontonnya, sampai dengan pro kontra di balik asumsi bahwa film ini akan mengakibatkan stres yang mendalam dan memicu pergeseran pola pikir masyarakat
Keramaian tidak berhenti di situ, yang terbaru adalah munculnya narasi "orang jahat adalah orang baik yang tersakiti" yang, tentu saja, juga muncul pasca menonton film Joker, di mana tokoh utama film tersebut diceritakan sebagai orang dari kasta terendah dalam strata sosial sebuah kota, yang telah terlalu banyak menelan kepahitan dunia, yang pada akhirnya menjadi justifikasi atas apa yang terjadi berikutnya.
Namun, tulisan ini tidak ingin mendiskusikan perilah kontroversi film Joker dalam konteks penonton Indonesia (yang bisa jadi juga merupakan tema yang menarik jika dibahas).Â
Alih-alih, sebagai penikmat film, saya lebih tertarik untuk membuat ulasan perbandingan antara dua versi tokoh Joker dari dua film DC yang paling banyak dibicarakan dalam kurun satu dekade ke belakang.Â
Mereka adalah: Joker dari film The Dark Knight (2008) yang diperankan oleh Heath Ledger, dan Joker dari film standalone-nya berjudul Joker (2019) yang diperankan oleh Joaquin Phoenix.
Sebenarnya masih ada satu tokoh Joker lagi, yakni yang diperankan oleh Jared Leto yang muncul di film DC berjudul Suicide Squad pada tahun 2016 lalu. Tapi, jika Anda juga adalah penggemar film DC, Anda mungkin akan setuju bahwa Joker dalam versi tersebut bukan saingan dari kedua versi Joker yang akan kita diskusikan.Â
Berikutnya, untuk memudahkan dalam pembahasan, penyebutan kedua versi Joker tersebut akan kita bedakan dengan menyematkan tahun rilis dari film yang ia muncul di dalamnya.
Joker (2008) muncul sebagai villain, lawan dari tokoh utama yakni Batman. Joker (2019) muncul sebagai tokoh utama, yang terkesan ingin dijadikan sebagai anti-hero, atau necessary evil, mengingat plot cerita yang hampir keseluruhannya memihak pada justifikasi-justifikasi atas tindakan Joker di sepertiga akhir film.Â
Jika berangkat dari sana, mungkin tidak adil membandingkan kedua tokoh ini berdasarkan konteks kemunculannya atau fungsinya dalam menggerakkan cerita.Â
Namun, jika kita beralih kepada sudut pandang citra Joker yang  berusaha dibangun oleh sutradara sebagai tokoh yang identik dengan representasi keresahan publik, anarki dan kekacauan, maka kita akan mampu terlihat kekurangan dan kelebihan dari keduanya.