Mohon tunggu...
Farid
Farid Mohon Tunggu... -

A Financial Enthusiast, A law student, A Rookie Python Programmer, A Former Engineer

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Quo Vadis Modal Ventura Lokal

10 Januari 2018   18:10 Diperbarui: 11 Januari 2018   22:13 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Booming Modal Ventura di tahun 90-an telah memunculkan apa yang kita kenal sekarang sebagai silicon valey. Mereka memberikan gelontoran dana kepada para perusahaan rintisan (start up) dari mulai tahap seeding sampai dengan tahap late stage capital. Kehadirannya  ibarat peternak sapi gelonggongan. Membuat sapi menjadi cepat besar dan gemuk untuk selanjutnya melepas dan menjual ke pasaran. Bedanya, tujuan utama mereka adalah divestasi, menjualnya melalui mekanisme penawaran umum (IPO).

Memang secara naluriah, Modal ventura berperan tidak hanya sebagai sumber pembiayaan selayaknya bank. Mereka masuk ke dalam ekuitas investee company-nya melalui skema equity participation ataupun convertible bond serta memberikan masukan-masukan yang sifatnya stratejik.

Beberapa nama mulai terdengan masuk ke Indonesia dan menyuntikan dananya meskipun dalam jumlah yang tidak ter-disclosed. Sebut saja  East Ventures, CyberAgent Ventures, atau NSI Ventures.

Sebagai negara berkembang, kita memang pasar yang menjanjikan sekaligus sexy bagi para venture capitalist. Meskipun secara global Amerika mendominasi dengan hampir 50% investasi modal ventura. Namun, Indonesia adalah negara dengan kenaikan fantastis dalam hal investasi yang dilakukan oleh modal ventura yakni $44 juta pada 2012 menjadi $3 Miliar di akhir tahun 2016 atau meningkat hampir 70 kali lipat dalam kurun waktu 4 tahun.  

Menurut penelitian A.T Kearney, dua market terbesar investor untuk Indonesia saat ini adalah bidang fintech (67%) dan healthcare (25%).  Besarnya minat pada bidang Fintech ini terutama didorong oleh  peningkatan minat masyarakat kita pada E-Commerce dan platform transportasi berbasis teknologi (baik untuk commuter dan leisure).

Krisis Identitas 

Di tengah berita mengenai gelontoran dolar pada start up-star up lokal, ada hal yang menarik jika dilihat dari statistik modal ventura yang terdaftar di OJK. Pada posisi bulan November 2017, jumlah asset modal ventura adalah sebesar Rp10,9 Triliun atau malah menurun 3,42%  dari posisi Desember 2016 yang sempat mencapai Rp11,3 Triliun.

Lebih jauh,bisnis yang  dijalankan justru kontraproduktif dengan konsep modal ventura yang dikenal luas oleh dunia. Dari total pembiayaan sebesar Rp6,7 Triliun, 73% diantaranya atau sekitar 4,9 T  disalurkan melalui pembiayaan bagi hasil selayaknya bank. Pembiayaan melalui skema Equity Participation atau penyertaan saham sebagai "ruh" dari modal ventura hanya sebesar Rp1,2 T atau kurang dari 18% dari total pembiayaan yang diberikan.

Hal yang menarik lainnya adalah, pendanaan/pinjaman dari Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank sangat dominan yakni Rp1,86 Triliun atau 65% dari total pinjaman jangka panjang . Fenomena ini sangat aneh. Mengingat konsep awal modal ventura dibuat justru untuk mendapatkan dana alternatif yakni dari private equity fund. Pasar modal dan Bank dinilai terlalu berisiko bagi perusahaan-perusahaan rintisan.

Implikasi dari hal tersebut adalah akan munculnya risiko miss match antara  business model investee company dan pendanaan yang diterima. Sederhananya, Pembayaran pinjaman harus dibayarkan kepada Bank kreditur secara periodik. Namun disisi lain,sebuah perusahaan start-up atau investee company harus melewati fase-fase dimana cash-out akan besar baik untuk promosi maupun operasional, sebelum break evenpoint tercapai.

Dalam start up financing cycle Masa-masa berdarah ini yang dinamakan valley of death, dimana secara statistik hanya 1 dari 2 perusahaan yang menjadiperusahaan "unicorn" akan tetap hidup.

Lantas sebenarnya model bisnis modal ventura kita ini dimana? Untuk lingkup Lembaga Keuangan Mikro, size-nya terlalu besar. Untuk perusahaan Multifinance, business modelnya berbeda. Apalagi menjadi Bank, kriterianya jauh sekali.

Ini bisa dimengerti karenakan dari business strategy sebagian besar modal ventura kita yang hanya sebatas menjaring debitur-debitur yang belum bankable untuk kemudian memberikan pinjaman dengan tingkat risiko tinggi. Imbasnya, bunga yang diberikan juga jauh lebih tinggi. Menggigit, bukan menolong.

Tamu di Rumah Sendiri

Jika kita rajin membaca dan mengikuti berita ekonomi, tersurat  fakta bahwa kebanyakan dari modal ventura tersebut berasal dari luar negeri. Lalu kemanakah modal ventura lokal? Padahal,dalam hal potensi, pemerintah memiliki target yang tidak main-main : menjadi Hub bagi industri Fintech di ASEAN.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja diperlukan dana yang begitu besar. Karena modal ventura akan diperlukan oleh start-up fintech agar tumbuh dengan cepat.

Namun demikian, isu nasionalisme tetaplah harus menjadi prioritas. Alih-alih berharap modal ventura lokal kita yang muncul, justru dominasi asing yang datang. Jika itu terjadi, masihkah berharap kedaulatan ekonomi (Economic Sovereignty) dapat kita jaga? 

Terlalu dini memang untuk membicarakan hal tersebut. Konstitusi negara kita juga tidak mengarah pada legalisasi kebijakan-kebijakan yang sifatnya chauvinism. Semisal anti globalisasi dan proteksi ekonomi yang digembar-gemborkan oleh trump. 

Berdiam diri juga bukan pilihan. Ekonomi digital kita akan mencapai Rp1700 Triliun di tahun 2020. Pola suntikan modal dari perbankan dan institusi keuangan traditional lainnya secara empiris memang bukan pilihan utama dari para usaha rintisan yang kebanyakan berbasis teknologi.

Solusinya adalah modal ventura lokal kita harus mulai berbenah, berani lebih memahami trend dan segmentasi yang seharusnya mereka garap. Sumber daya manusia akan menjadi kunci terutama Invesment analyst. Ibarat talent scout pada industri sepak bola modern, mereka menyaring sekaligus memilih investee company yang memiliki nilai jual di kemudian hari.

Di sisi pemerintah, pola private fund  atau modal perorangan untuk masuk ke dalam modal ventura sudah diakomodir melalui konsep dana ventura. Namun perlu dipikirkan bagaimana pemberian insentif pajak bagi para investornya. Mengingat, singapura telah lebih dahulu melakukannya dan terbukti berhasil menarik para investor kelas kakap.

Mari sama-sama berpikir, atau menunggu negara kita menjadi tujuan capital dumping?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun