Akan tetapi akan mampu menghiasi relung jiwa kebangsaan sebab seluruh produk penyelenggara negara didasarkan pada ruh ilahiyah yang tercermin di dalam ruh kebangsaan Indonesia yang plural.
Implikasinya, adopsi terhadap falsafah yang tidak dikenal oleh bangsa ini menjadi terminimalisir dengan sendirinya. Sebab bangsa ini memiliki kultur dan cara berpikir sendiri dalam menetapkan hukum. Tinggal, ruh dari cara berpikir tersebut sangat perlu untuk dihembuskan. Tidak ada ruh yang mulia selain ruh ilahiyah.
Cermin dari ruh ilahiyah itu terdapat dalam akhlak mulia dalam kehidupan. Sayangnya, warga bangsa dan para penyelenggara kehidupan berbangsa tidak akan mampu mengecap akhlak mulia itu tanpa bimbingan Talqin dan Amaliyah Dzikir sebagaimana yang dimiliki oleh Jenderal Sudirman.
Ruh Rabbaniyyah Pembangkit Pikiran Baik
Terminologi lain bagi ruh ilahiyah adalah ruh rabb atau ruh rabbaniyah. Ruh ini berisi sifat baik dan mulia dengan hati sebagai rumahnya. Karena itu, sepintar-pintarnya penyelenggara negara tidak akan mampu bersikap baik dan mulia dalam arti yang sesungguhnya jika tidak dikendalikan oleh Ruh Rabbaniyah. Kebaikan dan kemuliaan yang hari ini tersaji menjadi tontonan boleh jadi kebaikan dan kemuliaan yang bersifat semu.
Baiknya pura-pura baik karena berkepentingan dalam rangka menaikan basis elektoral pemilih. Mulianya pun mulia yang semu karena hanya menjadi semangat retorik dalam kalimat saat berpidato dan menyampaian visi dan misi jika terpilih. Lalu kemudian, perlahan terlupa akibat terlalu lama tidur di ruang sidang paripurna.
Originalitas Ruh Rabbaniyah akan terlihat dari konsistensi seorang penyelenggara negara dalam menjalankan biduk bahtera bernegara. Ruh itu mampu membangkitkan pikiran yang positif yang tergambar dalam langkah-langkah strategis menjalankan pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif bahkan yudikatif sekalipun.
Kaum sufi yang sudah 'wushul' (sampai) kepada Allah swt akan mampu menjadi pengoleksi sifat Allah swt yang juga merupakan sifat Ruh Rabbaniyah. Di antara sifat-sifat itu adalah al-Haakim atau Maha Bijaksana.Â
Bayangkan jika salah satu sifat ini hadir dalam diri penyelenggara negara. Mereka akan bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Sesuai dengan sifat Allah swt, sesuai dengan ruh Pancasila, sesuai pula dengan ruh kebangsaan.
Sifat Bijak itu kemudian melahirkan sikap bijak karena sudah menghiasi pikirannya menjadi bijak pula. Sehingga, produk perbuatan (af'al) pun menjadi cermin dari kebijaksanaan yang sudah muncul dari dalam dirinya. Sayangnya, kepemilikan terhadap sifat ini hanya mampu diperoleh dari Pemilik Sifatnya yakni Allah swt.
Siapapun yang berada dekat dengan api, pastilah merasakan panas yang merupakan sifat api. Maka siapapun yang berada dekat dengan Allah swt akan mampu merasakan berbagai jenis sifat Allah swt tersebut. Bijaksana hanya salah satu di antaranya saja.