Pollster dengan segala argumentasi intelektual-rasionalnya seringkali melakukan tindakan off side. Mereka menempatkan diri sebagai play maker untuk kandidat dan atau partai pengusungnya. Peran itu mereka ambil, bahkan dalam kondisi berada dalam ruang hampa ideologi.
Padahal, partai politik merupakan lembaga yang shahih untuk mewarnai kehidupan kebangsaan baik dalam tatanan ideologi maupun praktiknya. Berbanding terbalik dengan pollster yang datang belakangan sebagai bid'ah. Bahkan bid'ah dhalalah yang sesat-menyesatkan saat berperan dalam pemenangan seorang demagog.
Instrumen partai politik memiliki originalitas yang kuat. Berbagai jenjang partai harus dilalui seorang kader dan pengurus terlebih dahulu sebelum naik menuju pucuk kepemimpinan. Di atas pucuk inilah, dia menjadi pembeda sebagai anak bangsa.
Gagasan demi gagasan ideologis meluncur darinya sebagai solusi atas permasalahan kebangsaan. Karena ideologis, maka seorang pemimpin partai memiliki epistemologi yang kuat sebagai refleksi masalah bangsanya. Terjemah dari itu semua adalah berbagai rencana aksi yang siap menjadi ruh kebijakannya kelak saat tertakdir menjadi pemimpin.
Karena itu, ekosistem politik Indonesia harus bersih dari pollster jika penguatan ini ingin kita lakukan. Partai politik bertugas menyerap suara yang terdengar dan tidak terdengar sekalipun tentang kebutuhan bangsa. Mulai dari kriteria kepemimpinan, langkah demi langkah dalam proses bernegara sampai suksesi untuk mewujudkan itu semua. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI