"Kalau kandidat menang, kemenangan itu milik kita. Kalau kandidat kalah, kita cari kambing hitam," Mang Udin berseru dari pojok ruangan. Dia asyik mengkalkulasi nilai proposal yang akan diajukan kepada seorang kandidat yang sebentar lagi bertarung dalam kontestasi politik.
Jumlahnya besar, bahkan lebih besar dari value pekerjaan yang akan dilakoninya jika proposal itu disetujui. Wajah innocent Mang Udin ditambah diksi-diksi intelektual-rasionalnya sanggup menjadikan siapapun tidak mampu menolak tawaran.
Jalannya diyakini kian mulus, karena ambisi berkuasa dari seorang kandidat tengah menyala bak obor Asian Games 2018. Play to win (bermain untuk menang) sudah mengalahkan asas play to educate (bermain untuk mendidik).
Era direct democracy (demokrasi langsung) meniscayakan kearifan sebuah ekosistem politik dalam menentukan pilihan. Pencerahan untuk sebuah bangsa dapat menemukan titik awalnya saat pilihan itu jatuh kepada seorang negarawan.
Sebaliknya, masa kegelapan siap menemukan ruang dalam kehidupan sebuah bangsa, saat demagog memegang tampuk kekuasaan. Kita tidak akan bisa berharap pemenuhan kepentingan bangsa pada seorang demagog. Karena niat, ucapan dan tindakannya hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri.
Racun jaminan kemenangan dalam kontestasi politik secara rutin disuntikan pollster kepada bayi-bayi demagog. Setelahnya, mereka dimasukan ke dalam inkubator leadership agar belajar berperilaku sesuai dengan kriteria leadership dalam hasil survei. Anehnya, kriteria leadership itu selalu mengalami perubahan, sesuai dengan periodisasi survei.
Dari proposal ajuan Mang Udin itu, pollster membangun artificial-leader dengan segala kriteria yang serba artifisial juga. Sebuah khazanah politik ambigu karena ekosistem politik dipaksa untuk hidup dalam tafsir kelenturan wacana yang disuguhkan. Tidak ke kanan, tidak pula ke kiri. Bahkan, kita tidak akan mampu menemukan eksistensinya di tengah-tengah.
Keliaran tafsir sengaja dibiarkan demi meraih insentif elektoral dari seluruh ceruk ekosistem politik yang ada. Maka tidak perlu heran, saat kita tidak menemukan oase ideologi di tengah kerontang padang pasir yang diciptakan duet pollster-demagog. Akibatnya, ekosistem politik terpapar polusi penyesatan wacana dan opini.
Penguatan Kultur dan Struktur Partai Politik
Seharusnya, lembaran proposal Mang Udin itu sudah lama menjadi sampah manakala ada penguatan partai politik secara kultur maupun struktur. Partai politik memiliki segalanya dan tidak patut disaingi pollster bahkan dalam menentukan kriteria pemimpin bangsa.
Sebagai agen rekrutment pemimpin, partai politik memiliki ideologi, kultur, struktur berikut  jejaring eksternal. Sehingga dalam melakukan ikhtiar pemenangan kandidat usungan partai, fardhu 'ain hukumnya mengabaikan bisikan pollster.
Pollster dengan segala argumentasi intelektual-rasionalnya seringkali melakukan tindakan off side. Mereka menempatkan diri sebagai play maker untuk kandidat dan atau partai pengusungnya. Peran itu mereka ambil, bahkan dalam kondisi berada dalam ruang hampa ideologi.
Padahal, partai politik merupakan lembaga yang shahih untuk mewarnai kehidupan kebangsaan baik dalam tatanan ideologi maupun praktiknya. Berbanding terbalik dengan pollster yang datang belakangan sebagai bid'ah. Bahkan bid'ah dhalalah yang sesat-menyesatkan saat berperan dalam pemenangan seorang demagog.
Instrumen partai politik memiliki originalitas yang kuat. Berbagai jenjang partai harus dilalui seorang kader dan pengurus terlebih dahulu sebelum naik menuju pucuk kepemimpinan. Di atas pucuk inilah, dia menjadi pembeda sebagai anak bangsa.
Gagasan demi gagasan ideologis meluncur darinya sebagai solusi atas permasalahan kebangsaan. Karena ideologis, maka seorang pemimpin partai memiliki epistemologi yang kuat sebagai refleksi masalah bangsanya. Terjemah dari itu semua adalah berbagai rencana aksi yang siap menjadi ruh kebijakannya kelak saat tertakdir menjadi pemimpin.
Karena itu, ekosistem politik Indonesia harus bersih dari pollster jika penguatan ini ingin kita lakukan. Partai politik bertugas menyerap suara yang terdengar dan tidak terdengar sekalipun tentang kebutuhan bangsa. Mulai dari kriteria kepemimpinan, langkah demi langkah dalam proses bernegara sampai suksesi untuk mewujudkan itu semua. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H