Siapa yang tidak mengenal Nusron Wahid? Sosok politisi ini begitu akrab di telinga kelas menengah di Indonesia karena pernyataan yang sering ia lemparkan melalui media dalam perhelatan Pilkada Jakarta 2017, awal tahun ini. Pilkada Jawa Barat Tahun 2018 mendatang pun nampaknya tidak luput dari perhatiannya.Â
Untuk langkah awal, ia melempar nama Menteri Susi Pudjiastuti. Katanya, Jika Menteri Susi ikut Pilkada Jabar, seluruh konstelasi politik akan porak-poranda.Â
Ketidakmungkinan keikutsertaan Menteri "nyentrik" itu dalam Pilkada Jawa Barat ia bantah seketika dengan menggunakan qiyas atau analogi. Lihat saja Pilkada Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono juga tidak pernah masuk survei. Tetapi toh, akhirnya mencalonkan diri. Begitu kata Nusron dalam satu kesempatan.Â
Belakangan, isu Menteri Susi akan maju di Pilkada Jabar ini dibantah sendiri oleh yang bersangkutan, dengan santai, Menteri Susi mengatakan itu HOAX. Gagal sudah, Nusron menarik pelaku politik baru dalam kontestasi lima tahunan orang Jawa Barat ini.Â
Gerilya Nusron nampaknya belum berhenti, Meski arus kuat Partai Golkar di Jawa Barat sudah satu suara untuk mengusung Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi bakal Calon Gubernur, Nusron memilih untuk melawan arus bawah ini, ia malah menyebut Ketua DPD Golkar Kabupaten Bekasi sekaligus Bupati Kabupaten Bekasi, Neneng Nurhasanah Yasin dan Anggota DPR RI asal Kabupaten Indramayu Daniel Muttaqien Syafiudin sebagai nama yang akan diusung oleh Partai Golkar.Â
Tebak, dengan siapakah nama ini akan disandingkan? Katanya, kedua nama terakhir itu memiliki potensi untuk disandingkan dengan bakal calon Gubernur Jawa Barat dari Partai Nasdem, Ridwan Kamil. Sebagai Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Partai Golkar wilayah Indonesia I, meliputi wilayah Sumatera dan Jawa, manuver Nusron Wahid menurut hemat saya, sangat kontraproduktif.Â
Pola komunikasi dia sebagai elit partai dengan arus bawah sungguh sangat buruk. Alih-alih bertanya baik-baik kepada kader partai, ia lebih menyukai melempar nama per nama.Â
Mungkin saja maksudnya untuk mengetes kedalaman konstelasi di internal Golkar Jawa Barat. Tetapi ia sungguh keliru dalam menghitung konstelasi politik yang berkembang di tanah Pasundan ini. Golkar Jabar sejatinya sudah tidak bisa diotak-atik, solid mendukung Dedi Mulyadi yang namanya terus didegradasi seolah tiada oleh Nusron Wahid.Â
Sebagai orang yang pernah mendapat didikan para Ulama Pesantren, Nusron telah gagal membaca suasana kebatinan para kader yang ada di arus bawah. Perjuangan Dedi Mulyadi menjadikan Partai Golkar di Jawa Barat memiliki elektabilitas tertinggi sangat diapresiasi oleh para kader Golkar.Â
Kondisi ini tentu saja berbanding terbalik dengan Partai Golkar di DKI Jakarta yang menurut kabar survei tengah berada di titik nadir. Hemat saya, ini merupakan salah satu efek domino dari pola komunikasi Nusron Wahid selama berada dalam Tim Pemenangan Ahok -- Djarot. Statement-nya di media nyaris tidak pernah terkontrol, jauh dari kesan ramah dan terlalu berapi-api, tidak pernah mempertimbangkan kondisi psikologi calon pemilih.Â
Ada baiknya, jika memang Nusron Wahid tidak berada dalam posisi mendukung Dedi Mulyadi di Pilkada Jawa Barat tahun depan. Paling tidak, Nusron tidak menjadi beban politik tim pemenangan kelak, karena statement-nya yang sering dikeluarkan tanpa tedeng aling-aling dan tanpa memperhatikan perasaan orang.Â
Selain gagal membaca situasi kebatinan para kader Golkar, anehnya, mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor ini juga gagal membaca kondisi psikologi masyarakat Jawa Barat dalam konteks harapan mereka terhadap pemimpin baru yang mampu melahirkan solusi-solusi atas permasalahan yang digeluti sehari-hari.Â
Dalam beberapa hasil survei yang pernah dirilis, muncul beberapa kriteria yang diharapkan oleh masyarakat Jawa Barat untuk menjadi pemimpin mereka. Diantaranya adalah dekat dengan masyarakat, berwibawa dan berintegritas juga solutif terhadap persoalan yang tengah berkembang.Â
Berdasarkan kriteria ini, dan berdasarkan pada posisi politik Nusron Wahid di internal Partai Golkar seharusnya ia jeli melihat pola yang tengah dikembangkan oleh DPD Golkar Jawa Barat sejak kepemimpinan Dedi Mulyadi.Â
Pola komunikasi langsung dengan masyarakat terus dijalin, narasi-narasi yang disampaikan kepada masyarakat pun penuh dengan nash politik kesejahteraan, juga solusi yang dihadirkan untuk warga yang didatangi itu kontan dipenuhi saat itu juga.Â
Sebagai seorang intelektual, nampaknya intelektualisme yang Nusron miliki tengah di-hijab oleh keinginan-keinginan politik sektoral dalam dirinya. Kondisi ini mengakibatkan, profesionalisme dirinya sebagai pengurus DPP Partai Golkar agak terganggu dalam memberikan nilai objektif atas keputusan politik yang seharusnya memperhatikan hal-hal yang sudah saya sampaikan diatas. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H