Petang menjelang,Â
Si pria itu, tengah duduk beralaskan tanah.
Perawakannya kurus, bajuhnya lusuh namun berjiwa baja sekalipun terror menghadannya.Â
Dengan mata yang tajam, ia memandang sang istri yang dilanda ketakutan.Â
Wajah yang dulu ceria mengerut lantaran isak tangis membasahi pipinya.Â
Tak selang berapa lama, ia memeluk manja sang anak untuk mereda tangisnya yang menggema di gubuk kecil itu.
Dalam kakelalutan, ia melontarkan kata seraya "tenanglah istriku, aku hanya pergi sebentar. Negeri ini laksana rumah yg dihantui dengan moncong senjata. Diam kita mati, melawanpun akan dilenyapkan. Namun, ketahuilah dik, sebaik-baiknya hembusan nafas terakhir adalah saat berlawan. Aku berangkat!"
***
Saat di medan aksi, jalanan dipenuhi dengan gemuruh massa yang bermandikan darah.Â
suara suara itu bergelegar di aspal yang tengah dihantam terik panas matahari. Nyanyian timah panas bergenuruh di tengah lautan manusia.Â
Para Demonstran sadar, jika mereka hanyalah buruh dan petani yang  lapar, berlumpur dan kurus  lantaran gubuk kecil mereka tengah tergusur demi kepentingan pemodal asing.Â
Namun, dengan detakan jantung yg tak seirama, ia mengangkat dan mengepalkan tangan kirinya. Seraya berkata, "... hanya ada satu kata, Lawan!!!"
Makassar, 1 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H