Mendengar candaan si Udin, sang ibupun tersenyum lebar hingga gigi putihnya terlihat. Ia memangku tangan kanannya yang sedang memetik manik-manik tasbih seakan menghitung, cukup tidak. Dengan nada rileks,  "hush! Gak boleh gitu. Gak boleh anggap enteng orang nak. Dosa kau nanti. Kaupun juga sama cengengnya waktu SMA. Tontonanmu malah lebih cengeng. Masa anak ibu nontonnya Cinta Fitri. Kadang malah rebutan remot sama ibu hanya karena mau nonton Take Me Out."Â
 "ah, ibu bisa aja. Itukan waktu masih SMA"
 "iya tak apalah. Wajar kalau murid SMA seperti itu, nak. Ingat, kau ini sarjana sastra. Kau pasti tahu bagaimana menyederhanakan itu semua. Mulailah dengan kisah. Karena melalui kisahlah manusia memulai perjalanannya."
 "Baiklah ibu,.saya akan berupaya agar bisa mendidik siswa saya agar mengerti arti kehidupan sesungguhnya. Kedepan, udin yakin kalau mereka bakal menjadi seorang pemimpin untuk bangsa ini. Tantangannya akan lebih mengerikan. Dengan mendidik arti daripada keberpihakan, udin yakin mereka akan termotivasi untuk belajar dan menolong orang yang terhisap oleh system penghisapan manusia ini, bu" belum usai ia menyelesaikan bicaranya, teleponpun kembali bordering,
 Kring..kring..kring....
 "ya halo"
 "eh din, ini udah jam berapa? Kamu jadikan gantiin saya ngajar bahasa inggris?" teriak pak Suparjo dibalik telepon.
 "iya pak jadi kok. Selepas saya mandi, saya langsung berangkat ke sekolah"
 "oke, Makasih ya." Bip. Tanda telepon telah tertutup.
 "Yaudah bu, mandi dulu. Terus Siap-siap untuk bekerja"
 "iya nak. Mandi sana. Jangan lupa untuk sarapan ya. Ibu sudah buatin telur rebus dan kerupuk rengginang.