Mohon tunggu...
Andi FaridBaharuddin
Andi FaridBaharuddin Mohon Tunggu... Buruh - Penulis, Penari Profesional, dan Aktifis

Mahasiswa Pascasarjana Unhas Prodi Sastra Inggris telah menulis dua buah buku berjudul: 1. Luka Wajah dan Perlawanan (kumpulan Sajak) 2. Tombak Merah Sehimpun Tulisan Bernada Gelora (Kumpulan Essay)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasihat Ibu pada Guru Honorer

8 November 2019   00:40 Diperbarui: 8 November 2019   00:45 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"tapi pak, saya kan..." belum usai udin menjawab, hubungan teleponpun terputus. "justru harusnya anda yang mesti giat mengajar karena anda itu ASN yang diberi makan dari hasil keringat orang-orang yang bekerja. Dasar guru bermental feodal!" pekik udin dalam hati.

"Dari siapa din? Kok wajahmu merah bgitu?" tepuk ibu udin dari belakang.

Melihat air muka udin yang tampak merah, udinpun mencium tangan ibunya memohon ampun dari sikap udin yang dilanda amarah, "mohon ampun ibu. Ampun. Aku hanya kesal. Bagaimana tidak, beberapa teman kerja udin di sekolah pada ogah untuk mengajar. Mereka ASN ibu. ASN! Bahkan beberapa dari mereka udah disertifikasi oleh Negara bu. Negara dengan system penghisapannya bagi orang-orang kecil seperti kita.

Aku bu, aku ini hanya guru honorer. Tapi aku malah dituntut mengajar beberapa kelas dari pagi hingga sore. Sementara bayaranku sama kerdilnya dengan para petani yang tak bertanah" dengan sedikit kesal Udin melanjutkan curhatanya, "sudah berulang kali kami guru honorer diginiin bu, dihisap oleh manusia-manusia berhati culas" ucap sambil membungkuk dan memohon ampun padan ibunya.

Mendengar curhatan udin yang tengah menyalami dan mencium tangan ibunya, membuat si ibu bangga hati dan tersenyum, "ingat nak, mental seorang pekerja tidak boleh cengeng seperti engkau. Bekerja adalah proses dalam membangun karakter diri. Justru kamu harus berbangga dengan proses kerja yang tengah kau lakukan. Dan kalau dia betul manusia, mestinya diapun turut malu karena tak bekerja. Tak usah pikir jabatan atau pangkat ANS".

"yang betul ASN, ibu. Aparatus Sipil Negara" meralat ibunya yang salah pengucapan

"pokoknya itulah. Gak penting namanya. Yang pokok adalah  Kau selalu baik saat bekerja. Justru mereka yang seharusnya hina karena tak ubah dari pengemis. Paham kau nak? Ingat pepatah bugis yang selalu aku dengungkan ke telingamu nak, Reso temmangingi namalomo naletei pammase dewata (Kerja keras dengan penuh keikhlasan dan tak lupa berdoa agar tujuan kita dapat tercapai). Pahamkan? ". kata ibu dibarengi dengan usapan tangan halusnya di badan udin yang kekar.

"Tak paham ibu. Bagi masyarkat kita, guru yang berstatus asn selalu dihargai karena kepangkatan mereka (baca: Golongan). Tak peduli, mereka korup, culas, dan malas. Mereka selalu subur pujian di mata masyarakat umum. Mata orang-orang justru tertutup kepada mereka yang bekerja untuk penghidupan sosial. Makasih atas supportnya bu, saya janji akan bekerja professional untuk mengganti jam kerja guru lainnya".

"Nah itu mental pekerja yang ibu kenal. Cuman kau anak satu-satu yang ibu punya. Beruntung saat ini kau punya pekerjaan yang jelas. Tak peduli upahnya secuil, tapi setidaknya kita masih bisa memanjangkan nafas kehidupan buat beribadah kepada gusti Allah. Tidakkah kau lupa pada ceramahmu pada si Putu tetangga sebelah, yang bekerja sebagai Buru sepatu. Kau dongengi ia dengan cerita Multatuli[1]. Tentang pengisapan tenaga kerja di zaman belanda. Kau dulukan yang bilang bahwa era saat ini tak ubah dengan era masa lalu. Kesamaannya, karena kita masih dalam kondisi terjajah dan perbedaannya hanya model penjajahannya."

 Dengan suara yang bernada lembut Ibu melanjutkan nasihatnya, " Ingat nak, hidup kita akan selalu begini. Terhisap oleh system penghisapan. Tapi panjatkan syukurlah kepada Allah sang pemberi rezeki. Karena kau kini seorang guru. Kau bisa ceritakan anak didikmu tentang arti kemiskinan dan penyebab kemisikan. Tentang arti hidup yang sesungguhnya. Tentang keberpihakan pada orang yang lemah dan melawan bentuk kezaliman. Pengajaran ini penting anak, agar kelak, ketika para muridmu telah menjadi "pemimpin" ia mampu menentukan sikap kesatria dan bukan malah menjadi penindas di masa depan."

 "ibuku sayang. Begitu mulia dirimu. Aku selalu manjatkan syukur kepada ilahi karena bisa menjadi seorang Guru. Tentu itu semua karena doamu. Tapi bagaimana siswaku mengerti penjelasan itu? Tak mungkin aku uraikan teori-teori sosial. Meski merea semua sudah SMA tapi pikirannya masih bau kencur. Hanya tau soal asmara. Tontonannya saja hanya Dilan, hehehe.. cengeng betul" Canda Udin pada ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun