Mohon tunggu...
Andi FaridBaharuddin
Andi FaridBaharuddin Mohon Tunggu... Buruh - Penulis, Penari Profesional, dan Aktifis

Mahasiswa Pascasarjana Unhas Prodi Sastra Inggris telah menulis dua buah buku berjudul: 1. Luka Wajah dan Perlawanan (kumpulan Sajak) 2. Tombak Merah Sehimpun Tulisan Bernada Gelora (Kumpulan Essay)

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Menyaksikan Joker, Menyaksikan Rupa Rakyat Indonesia

20 Oktober 2019   13:27 Diperbarui: 20 Oktober 2019   13:41 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangis Joker akan realitas yang diskriminatif. Sumber foto: www.pinterest.com/jenny eagan

Meski tak dijelaskan secara ekplisit terkait system ekonomi dan politik yang ada pada film Joker, namun penulis dapat menyimpulkan jika system yang terbangun pada film tersebut adalah Kapitalisme. Kesimpulan ini berangkat dari dua alasan, pertama film ini dirilis di negera adi kuasa, Amerika Serikat yang menurut pandangan Kristeva dalam bukunya Kapitalisme, Negara, dan Masyarakat (2015), Amerika Serikat menganut paham Kapilisme.

Alasan kedua, dalam film tersebut, Thomas Wayne selaku pengusaha kaya (terintegrasi dalam klas elit) berkeinginan untuk menjadi politisi dan Walikota Gotham City. Tentu sebagai pebisnis, Wayne memiliki capital (modal) yang besar untuk bertarung dalam merebut kursi Walikota. Diketahui, dalam sistem demokrasi yang bercorak kapitalistik maka hanya pemodal/kapitalislah yang dapat mewarnai kekuasaan politik (Lukman, Alternatif, 2013). Olehnya itu, kedua alasan inilah yang membuat penulis menyimpulkan jika system pada film joker tersebut, menganut system Kapitalisme.

Kembali pada film Joker, nyatanya pencalonan Wayne menimbulkan reaksi dan penolakan dari massa rakyat (terintegrasi dalam non-elit) yang begitu bergejolak. Dari sudut pandang penulis, penolakan rakyat Gotham terhadap pencalonan Wayne lantaran profesinya sebagai entrepreneur tidak mewakili kepentingan masyarakat Gotham yang ingin keluar dari cengkraman penindasan system kapitalisme. Pencalonan Wayne, menurut penulis, tidak menjadi jawaban bagi warga gotham dalam mengakses kebutuhan hidup seperti pekerjaan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak.

Profesi Joker sebagai badut dan komedian amatir adalah kenyataan pahit atas sulitnya mengakses pekerjaan yang layak. Dimata masyarakat umum profesi ini tidak mendapatkan kedudukan sosial yang terhormat, malah Joker kerap mendapatkan tindasan fisik (pemukulan) dan mental (hinaan). Selain itu, sulitnya mengakses pemenuhan hak atas kesehatan juga tampak di Film ini.

Saat joker melakukan konsultasi kesehatan mental dengan dinas sosial, Joker hendak meminta obat yang dulu  kerap ia konsumsi. Sayang, permintaan joker tersebut tidak dapat dipenuhi oleh dinas sosial lantaran obat tersebut telah dikenakan biaya. Kondisi inilah yang membuat penyakit mental Joker bertambah parah.   

Bagi penulis, substansi yang ingin disiarkan film Joker ini adalah ketidak hadiran Negara dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) masyarakat Gotham. Diperah lagi karena Wayne, sebagai calon walikota hanya sibuk memainkan drama pencitraan tanpa mempertarungkan gagasan politik dalam menyejatrahakan rakyat Gotham.

Kesamaan Indonesia

Jika sebelumnya penulis menjelaskan system ekploitatif dalam film Joker, maka dalam kesempatan ini penulispun ingin mengeloborasi system ekonomi-politik Indonesia sebagai keadaan objektif yang menimpa rakyat. Sistem yang terbangun di negeri ini adalah semi Kolonial semi feodal.  Kolonialisme, sebagai sistm, tampak terlihat lantaran kekayaan geografis Indonesia telah menjadi sasaran empuk bagi Korporasi international yang menanamkan modal di negeri ini.

Menurut Siregar dalam bukunya Menentukan nasib sendiri versus imprealisme (2000), penjajaham selalu bertujuan untuk merampas sumber daya alam di suatu negara, yang salah satunya, dengan cara agresi militer. Meski penjajahan saat ini tidak lagi fisik, namun tetap saja kekayaan geografis bangsa terus tergerus hingga membuat rakyat menjadi terhisap. Maka terang jika dikatakan Semi Kolonial (setengah jajahan).

Selain itu, dikatakan semi feodal, karena di negeri ini, masih bercokolnya penguasa-penguasa tanah/lahan produktif yang kini memegang pucuk kekuasaan baik pada level ekskutif maupun legislative. Feodalisme saat ini memilki corak produksi yang berbeda dengan feodalime dulu (agrarian). Kehadiran penguasa tanah ini, yang berada di lingkaran eksekutif maupun legislative, sebagai penyedia lahan bagi korporasi international dalam menanamkan saham.

Praktis, dampak dari system eksploitatif ini adalah mayoritas rakyat (dari kalangan non-elit) tidak dapat menikmati kekayaan negeri yang begitu melimpah karena seluruhnya dibawa ke negera luar. Hal inilah yang menybabkan anggaran pendapatan Negara tak pernah cukup dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat seperti hak atas pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun