Nama  : Faridatus Zulfa
NPM Â : 2088201006
Pentigraf ini adalah karangan yang dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Apresiasi Dan Kajian Prosa Fiksi yang diampu oleh Ibu Irma Arifah, M.Pd.
Mimpi Seorang Aktivis Kampus
Oleh : Faridatus Zulfa
Ku lihat senja diujung hari mulai memperlihatkan keindahannya. Aku yang sedari siang berada di kampus, ya tepatnya di ruang sanggar bahasa. Aku bersama keempat kawanku sering berkumpul bersama di sanggar bahasa. Kawanku bernama Rara, Dini, Risky, dan Bekti. Kami memang berbeda angkatan yaitu semester 4 dan semester 6, tetapi selalu akrab karena ya memang sering kumpul. Terkadang kami di sanggar hanya sekedar bersendau gurau dan berdiskusi.Â
"Heyyyy...risky, bagaimana kuliah mu hari ini?", tanya Rara. "Hari ini sangat menjengkelkan, karena Dosen hari ini memberikan tugas yang agak rumit dan mendadak. Padahal masih banyak tugas dan kegiatan-kegiatan yang lain. Rasanya aku lelah sekali, tetapi ya.....mau bagaimana lagi...hmmmm", penjelasan risky. "Bagaimana lagi?" kata Bekti. "Ya begitulah...." jawab risky dengan penuh kesal.
Semester ini memang banyak kegiatan di kampus, baik dari Semester bawah sampai semester atas. Tetapi kita berlima memang yang paling mencolok diantara mahasiswa lain. Karena keaktifan dan keteguhan mereka yang selalu membantu kesibukan-kesibukan yang ada. Namun ada salah satu diantara kita yang awalnya tidak pernah jujur.Â
Hal itu membuat kami sebagai mahasiswa merasa tidak dianggap. Ada suatu permasalahan yang berat dan rumit menimpa Dini. Dini memang anak yang rajin dan juga bertanggungjawab dengan segala hal, namun Dini anaknya agak pendiam dan jarang bercerita tentang semua masalah yang dihadapinya.
Sampai pada suatu hari, masalah itupun semakin rumit karena belum menumakan titik puncaknya. "Dini... ceritakan masalahmu itu, janganlah kau pendam sendiri.Â
Jika kami bisa membantu, kami akan membantumu sebisa kami Din, ayolah... ", kata Rara. Dini agak ragu untuk menceritakan permasalahannya, karena menyangkut kedua orang tuanya. "Jadi begini, kedua orang tuaku itu terlilit hutang kepada seorang rentenir karena untuk biaya pengobatan Ibuku yang sampai saat ini sakit-sakitan dan tak kunjung sembuh.Â
Aku bingung harus bagaimana, disatu sisi Ayahku menyuruh aku untuk berhenti kuliah saja, disisi lain aku juga memiliki mimpi yang ingin aku capai. Tetapi aku juga tidak boleh egois, mungkin ini memang sudah takdirku untuk berhenti kuliah saja.Â
Semoga aku bisa menemukan kebahagianku dengan cara lain", kata Dini sambil menagis tersedu-sedu. Satu persatu dari mereka hanya bisa memberikan semangat dan nasehat, mungkin hanya itu yang bisa mereka lakukan sekarang. Karena ingin membantu tetapi juga tidak bisa, hutung orang tuanya Dini sangat banyak.Â
Kini yang sering berada di sanggar bahasa hanya tinggal aku, Rara, Risky dan Bekti. Meskipun sudah tiada Dini meraka harus tetap bersemangat menjalani kuliah. Karena pasti masing-masing dari meraka juga memiliki cita-cita. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI