Di dunia ini perempuan sering kali dianggap sebagai jenis kelamin nomor dua yang tidak lebih hebat daripada laki-laki. Pandangan tersebut tidak jarang berdampak pada perkembangan intelektualitas perempuan yang selalu ditekan sedemikian rupa oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan dinilai tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, perempuan tidak perlu memiki posisi atau jabatan yang strategis, perempuan tidak boleh lebih hebat daripada laki-laki, dan lain sebagainya yang cukup membuat diri ini merasakan emosi. Dalam dunia yang demikian, kita menyebutnya sebagai patriarki, yaitu sebuah budaya yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada laki-laki.
Aku adalah seorang perempuan yang ingin mendobrak dunia patriarki ini. Dunia ini membuatku muak karena banyak sekali potensi cemerlang para perempuan yang terkurung seperti berada dalam jeruji besi. Bumi ini begitu luas, namun sayang sekali dipenuhi oleh orang-orang yang memandang perempuan sebelah mata. Kami adalah perempuan yang juga berhak atas diri sendiri, berhak atas pendidikan yang layak, dan lebih utama lagi berhak untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Pendidikan saat ini mungkin memang sudah memberikan akses kepada perempuan untuk selangkah lebih maju daripada yang tertinggal, namun tidak dapat dipungkiri masih banyak sekali suara-suara sumbang yang mengatakan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi.
“Kesibukanmu sekarang apa Pris?” seorang lelaki dengan badan tinggi dan kekar bertanya padaku, dia adalah tetangga sebelah rumah yang saat ini bekerja di salah satu bank swasta di kotaku.
“Lagi urus berkas untuk pendaftaran S2 nih.” Jawabku sambil menatap ponsel, kebetulan semua berkas harus dikumpulkan dalam bentuk softfile.
“Lah lanjut lagi? Tidak perlu tinggi-tinggi Pris, untukmu S1 saja cukup, sudah waktunya untuk menikah. Nanti tidak ada yang mau menikahimu kalau terlalu tinggi.” Lelaki disebelahku ini berkata santai dengan tatapan penasaran pada layar ponselku. Aku merasa risih baik dengan perkataannya maupun perbuatannya. Hal itu membuatku menjauh, berusaha menjaga jarak dari si lelaki yang bahkan tidak ingin aku sebut namanya. Terlalu tidak penting.
Lelaki ini merupakan satu dari sekian contoh lelaki patriarkis yang ada di sekitar kita; para perempuan. Lelaki yang secara vokal melontarkan kata-katanya, kata-kata yang menganggap seorang perempuan hanya memiliki posisi tawar dalam masyarakat hanya jika ia menikah. Kata-kata semacam itu dan bertemu dengan lelaki macam dia adalah makananku sehari-hari. Mungkin, juga makanan bagi setiap kaum perempuan yang ingin memiliki pendidikan setinggi-tingginya.
Menurutku, pandangan yang menilai pendidikan tinggi bagi perempuan sebagai sesuatu yang tidak lebih penting dari sebuah pernikahan adalah produk dari budaya patriarki yang masih eksis hingga sekarang. Budaya ini yang membuat para perempuan tidak bisa bebas untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensinya, dan menjadi pribadi yang dapat berdiri sendiri sebagai individu yang terampil.
Dalam kepalaku selalu tertanam bahwa bukan perempuan yang tidak boleh sekolah tinggi-tinggi melainkan ego lelakilah yang tidak boleh tinggi-tinggi. Aku pernah bertanya pada seorang lelaki. “Kenapa kamu berpikir perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi?”
“Ya kan tidak boleh perempuannya lebih tinggi daripada laki-laki. Dimana-mana tuh perempuan harus dibawahnya laki-laki agar mudah kita mendidiknya. Kalau perempuan punya posisi lebih tinggi, biasanya dia suka membangkang.”
Aku lagi-lagi tidak paham dengan lelaki beserta egonya. Sejauh yang aku ketahui, perempuan diciptakan sebagai pasangan dari laki-laki, sebagai mitra yang sejajar, sebagai rekan yang hidup saling membutuhkan. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi selalu diasosiasikan sebagai perempuan pembangkang karena memiliki banyak ide yang dapat digunakan untuk membantah lelaki. Tetapi, ini adalah poin yang keliru.
Pendidikan adalah hak bagi setiap manusia dan manusia terdiri dari perempuan dan laki-laki. Daripada berkutat dengan pikiran dan ego yang tidak ingin disaingi oleh perempuan, alangkah baiknya jika kita memulai dengan pikiran bahwa pendidikan adalah jalan keluar atas sebuah kebodohan dan kesesatan pola pikir karena sesungguhnya budaya patriarki adalah budaya yang menyesatkan. Budaya ini sudah terlalu mengkotak-kotakkan laki-laki dan perempuan, membuat kita sangat jauh dengan konsep kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh kaum pinggiran, salah satunya perempuan.
Namun, sayang sekali, untuk menciptakan kesetaraan gender tidaklah mudah, bukan hanya perempuan yang harus bangkit dari budaya yang merendahkan dan membelenggu dirinya, tetapi juga lelaki itu sendiri. Kesetaraan tidak tercipta dari satu sisi saja, dunia ini juga memerlukan lelaki hebat yang bisa lepas dari dunia patriarkinya sendiri.
Tentang Penulis:
Faridatur Riskiyah yang akrab disapa Riski adalah perempuan kelahiran Situbondo, 15 Februari 1999. Manusia ini dapat dihubungi lewat akun Instagram miliknya dengan id : f._riski
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H