Pelaksanaan pembelajaran ataupun  pekerjaan secara daring memberikan keleluasaan pada mereka yang mempunyai mobilitas tinggi. Tidak perlu terikat pada suatu tempat bahkan waktu. Kegiatan bersama dengan melibatkan peserta dari berbagai negara dalam rentangan waktu yang berbeda, sangat dimungkinkan oleh ketersediaan teknologi.Â
Minggu lalu saya mengikuti kegiatan international webconferencing yang dilaksanakan di Perancis, dengan peserta yang beragam, yaitu India, negara-negara di kawasan Amerika Latin, Asia, Afrika, Eropa dan Timur Tengah. Terbayangkan betapa lengkap rentangan waktunya, alhasil harus mengucapkan selamat pagi bagi mereka yang di Eropa, selamat sore di kawasan Asia Tenggara, selamat malam untuk peserta di belahan dunia lainnya.
Kemudahan lainnya dengan keterpaksaan melakukan segala sesuatu secara daring, adalah bisa melakukan beberapa perkerjaan dalam satu waktu. Tentunya dengan skala prioritas, tidak akan bisa dilakukan semuanya secara optimal, namun ada saling silang sesi atau saat apa lebih fokus, dan saat mana bisa sambil nyambi.Â
Kemudahan ini tentunya tidak sempurna, ada celah negatifnya, manakala tidak komitmen dengan pencapaian tujuan kegiatan yang dilakukan. Seorang dosen misalnya, ketika sedang menyampaikan materi, bisa sambil mengikuti webinar, asalkan tidak sebagai pembicara namun peserta biasa. Apalagi ketika posisi kamera off, bisa berwebinar sambil memasak, ataupun melakukan perjalanan.
Hari ini saya sebagai seorang ibu, menjalankan kewajiban domestik menjemput anak dan suami yang sedang ada kegiatan di luar kota. Siang hari saya ada kewajiban profesi untuk memandu kegiatan diskusi akademik di kampus. Saat belum terbiasa dengan model pembelajaran daring, tentu harus mengorbankan salah satu kegiatan. Saat ini semuanya bisa dilakukan dengan baik, tanpa harus memilih salah satu.Â
Pilihannya adalah bagaimana mencari tempat yang nyaman untuk berkegiatan dengan dukungan sinyal yang stabil dan kuat sehingga acara berjalan lancar. Tinggal jentikkan jari mencari cafe yang nyaman dengan dukungan wifi, selesai persoalan.Â
Tapi pernahkah kita membayangkan, betapa beratnya kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai keterbatasan secara finansial, kesulitan memfasilitasi kegiatan belajar anaknya secara daring, karena keterbatasan sarana yang dimiliki. Tidak mempunyai laptop, adanya HP yang jadul atau HP fasilitas standar yang tidak bisa digunakan secara lancar untuk proses pembelajaran.
Saya mengamati dan mendengarkan keluhan siswa, mahasiswa, orang tua yang merasa berat dengan pembelajaran daring. "Lebih baik untuk beli beras agar bisa makan, daripada untuk beli paket data.... sekolah bisa nanti saja". Salah satu mahasiswa S2 yang tinggal di daerah pegunungan selatan Jawa, menuturkan betapa beratnya kehidupan di masa pandemi, sehingga anak-anak  di lingkungannya yang seharusnya belajar daring dengan tenang harus ikut ke sawah membantu orang tuanya.Â
Miris, tapi itulah kenyataan. Tidak jarang untuk mengatasi keterpurukan ekonomi keluarga di saat pandemi, orang tua mendayagunakan anak-anaknya untuk ikut membantu bekerja, entah di pasar, Â bangunan atau menjalankan usaha lainnya.
Kesusahan itu semakin berat dirasakan, di masa semester baru, di mana mahasiswa berkewajiban membayar SPP ataupun UKT (Uang Kuliah Tunggal) . Â Di kampus kami, pembayaran UKT untuk mahasiswa S1 dan SPP untuk mahasiswa S2. Sudah beberapa mahasiswa menanyakan tentang keringanan atau potongan SPP, namun tidak ada skema untuk hal tersebut.Â
Sementara untuk UKT masih ada keringanan, tapi celakanya ada mahasiswa yang telat informasi sehingga tidak bisa memanfaatkan fasilitas tersebut. Mengiba dan menangis, namun apa daya ketika sudah berbenturan dengan sistem. Belum lagi yang terpaksa mengajukan cuti karena tidak mampu membayar biaya SPP . Begitu banyak cerita suka dan duka silih berganti di masa pandemi ini.
Problem penyelenggaraan pendidikan tidak hanya terhenti urusan ekonomi yang terbatas, namun juga terkait dengan ketersediaan sinyal. Saata kita bepergian ke tempat terpencil, untuk suatu pekerjaan di daerah yang sulit sinyal, ataupun sinyal tidak stabil, kadang ada-kadang tidak. Atau bahkan sama sekali tidak ada sinyal adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan ketika berada di tempat-tempat terpencil atau di kawasan pinggiran.Â
Pengalaman saya ketika berada di  daerah pesisir timur Ogan Komering Ilir Selatan, sementara perkuliahan masih aktif. Awalnya sudah membayangkan akan kesulitan sinyal, karena selama ini memang problemnya adalah tidak stabil. Atau bahkan hilang ketika hujan deras atau badai menerjang.Â
Ternyata betul dugaan, saat harus mengisi sesi sinyal benar-benar mendebarkan sehingga, hanya bisa melalui fasilitas whatsaap, itupun pakai muter-muter, tidak hanya indikator di layar tapi secara fisik orangnya juga muter-muter mencari sinyal. Bagaimana para siswa yang bertempat tinggal di daerah semacam itu secara permanen, dapat dipastikan mereka tidak mendapatkan akses untuk mengikuti pembelajaran daring secara baik, karena terkendala masalah sinyal.
Alhasil kemewahan dan kemudahan melaksanakan pekerjaan ataupun pembelajaran daring, masih belum dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, masih ada kelompok tertentu yang karena kondisi ekonomi maupun geografisnya tidak memungkinkan. Persoalan besar terkait pemerataan .Â
Perlu dipikirkan dan dirumuskan mengatasi masalah pendidikan yang merupakan hak semua anak, tidak peduli latar belakang sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggalnya. Ingat amanat pasal 31 UUD NRI 1945 yang menyatakan, bahwa " Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Tanggung jawab besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, idealnya memang tanggung jawab negara. Namun kita bersama seluruh komponen bangsa wajib untuk mencari solusi pemenuhan hak anak terhadap akses pendidikan yang adil. Selamat belajar dengan penuh semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H