Mohon tunggu...
farida nur aini
farida nur aini Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi magister psikologi

membuat materi konten tentang parenting dan keluarga, mengisi kajian atau seminar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Budaya Ewuh Pekewuh Dalam Lingkungan Kerja di Jawa

26 Januari 2025   13:00 Diperbarui: 26 Januari 2025   16:11 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam lingkup budaya Jawa banyak sekali norma – norma yang berlaku dalam masyarakat yang ditujukan agar suasana pergaulan tetap kondusif, tidak saling menyakiti satu sama lain. Salah satu budaya dalam pergaulan di lingkungan Jawa adalah ewuh pekewuh atau budaya pekewuh. Pekewuh adalah sikap merasa tidak enak kepada orang lain atau merasa tidak nyaman melakukan sesuatu karena khawatir respon orang yang diajak berkomunikasi tidak suka terhadap apa yang dilakukan dirinya. Budaya ini sudah berlaku sejak jaman dulu kala dan bergiliran turun temurun dari generasi ke generasi.   

Baikkah budaya ini?

Mari kita lihat kasus berikut. Seorang ibu yang sedang ikut pengajian di masjid dekat rumahnya. Tiba-tiba si ibu diminta anaknya pulang karena ia ada perlu dengan ibunya.  Ibu mengatakan, ‘nanti saja. Pekewuh sama ustad. Kan lagi pengajian nanti dikira ibu tidak menghormati ustadnya.’ Dan anakpun maklum dengan perasaan ibunya. Menjaga perasaan ustad dan juga menjaga perasaan ibunya. Tentu hal ini baik. Namun bagi anak, bisa jadi berbeda. Dia harus mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan ibunya.

Budaya peweuh ini juga terjadi didunia kerja. Misal seorang karyawan merasa terganggu karena bau badan rekan kerjanya. Walaupun ia merasa tidak nyaman, untuk menegur dia tidak nyaman. Khawatir temannya merasa tersinggung atau malu. Akhirnya ia minta tolong kepada rekan kerja lainnya. Tapi kebanyakan rekan kerjanya juga pekewuh untuk menegur. Alhasil mereka pilih diam dan membiarkan masalah itu terjadi. Akibatnya rekan kerja yang bau badan tersebut juga merasa baik-baik saja, karena dia tidak tahu jika dia bau badan.

Tidak hanya kepada sesama rekan kerja, budaya pekewuh juga terjadi antar bawahan dan atasan. Misal seorang bawahan yang ditanya oleh atasannya, bagaimana kabar ekonomi keluarganya? Dalam lingkup Surakarta, berkata jujur apa adanya jika dia kekurangan adalah hal yang kurang baik. Walaupun dia punya hutang disana-sini, tetapi jika ditanya tentang kondisi ekonomi kekuarganya dia akan menjawab, ‘baik-baik saja, pak’. Dia merasa pekewuh jika berkata jujur bahwa dia banyak hutang.

Dari kasus tersebut bisa kita lihat bahwa budaya pekewuh adalah baik jika dilihat dari sisi menjaga hubungan sosial. Namun dalam hal kepentingan pribadi, ini tidak baik.

Dilingkungan kerja, budaya pekewuh ini akan menjadi hambatan dalam profesionalisme. Misalnya seorang atasan yang melihat karyawannya ering terlambat kerja. Karena karyawan tersebut sedang hamil, si atasan pekewuh untuk menegur. Dan berusaha memaklumi keterlembatan pegawainya. Berarti membiarkan pegawainya itu terlambat dalam waktu yang lama, yaitu selama kehamilannya. Tentu ini akan menimbulkan dampak negatif yang banyak, antara lain : atasan dinilai oleh karyawannya sebagai 

atasan yang lemah, pilih kasih, tidak bisa bersikap tegas, akan diremehkan. Akibat lainnya, perilaku terlambat ini juga akan ditiru oleh pegawai lain yang tidak hamil, karena melihat sisi kelemahan atasannya yang tidak bernai menegur. Akibatnya kedisiplinan tidak terjaga. Suasana kerja tidak kondusif akibat ada kesenjangan perilaku dan kecemburan antar karyawan.

Demikian pula jika karyawan melihat ketidak baikan dari atasannya. Misal jika ada atasan yang terlibat dalam kemaksiatan, berselingkuh atau korupsi. Tidak ada karyawan yang berani menegur. Alasannya logis. Dia memilih diam agar kariernya bisa berjalan terus. Jika berani menegur, sangat mungkin dia akan di PHK. Maka diam adalah pilihannya.

Dalam budaya Jawa terdapat istilah ‘henang’ yang menggambarkan bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat unsur mementingkan keselamatan sosial. Semua dilakukan agar selamat dalam hidup,dalam rumahtangga termasuk dalam karier. Termasuk harus bisa menahan diri dari sikap dan perbuatan yang tidak menyenangkan orang lain. Sedangkan menurut WHO, mental yang sehat adalah yang bisa berkata apa adanya. Sehingga tidak perlu ada hal yang dihindari untuk menyampaikan apa adanya dengan jujur.

Bagaimana solusi mengatasi hal ini? Tentu jika sudah diketahui efek negatifnya, hal ini sebaiknya dirubah. Jaman sudah berubah. Maka budaya pekewuhpun juga sebaiknya menyesuaikan. Mungkin di awal-awal perubahan agak berat karena melawan arus. Masih ada rasa tidak nyaman untuk menegur. Itulah hambatan awal. Jika nanti benarbenar dilaksanakan, efeknya tidak akan separah yang dibayangkan. Bisa jadi ternyata respon yang bersangkutan baik, tidak tersinggung bahkan berterimakasih sudah diingatkan. Misalnya seseorang yang berani mengingatkan rekan kerjanya bahwa dia bau badan. Mungkin berat untuk mengatakannya karena sangat mungkin rekan kerja yang diingatkan tersebut akan malu. Tapi tentu ini sangat baik untuk semua, agar yang bersangkutan lebih menjaga bau badannya dan rekan kerja lain tidak terganggu.

Jika dibandingkan dengan budaya barat, tentu saja sangat berbeda. Di dunia barat tidak mengenal adanya ewuh pekewuh. Yang berlaku disana adalah keterbukaan, bersikap apa adanya, dan mengatakan sesuai apa yang dirasakan. Sikap individualisme sangat kuat. Orang akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri baik dalam urusan keluarga atau pekerjaan. Dengan sifat individual tersebut, maka persaingan antar individu menjadi kuat. siapa yang berani dia yang menang. Walaupun harus mengalahkan teman sendiri. Di barat hal tersebut adalah sikap yang dinilai fair.

Seorang atasan yang melihat bawahannya terlambat maka akan mendapatkan peringatan langsung tanpa ada unsur mempertimbangkan dia adalah teman sendiri, tetangga atau bahkan saudara. Hal ini menjadi prinsip profesionalisme. Dan orang yang ditegurpun tidak akan merasa ‘kok tidak mempertimbangkan perasannku sebagai saudaranya sendiri’. Ia akan bersikap profesional dan menerima teguran itu dengan baik.

Di negara barat juga terdapat budaya komunikasi secara langsung dan terbuka. Apa yang dilihat itulah yang dikatakan. Apa yang dirasakan itulah yang dikatakan. Pada sisi ini orang mengabaikan perasaan oranglain dan apa yang akan menjadi dampak dari perkataannya. Jika di Jawa , teguran itu membuat perasaan tidak nyaman, merasa malu dan merasa diperlakukan tidak baik . tapi di negara barat, hal ini hal biasa sehingga tidak menimbulkan dampak perasaan bagi yang ditegur. Misalnya ketika seorang rekan kerja mendapati baju rekan kerjanya tidak rapi, atau sepatu temannya kotor, maka jika dia ditegur ia akan merasa justru ini baik baginya. Karena dia bisa mengetahui apa yang luput dari perhatiannya dan ternyata hal tersebut tidak baik bagi dirinya dan juga tempat kerjanya.

Dalam dunia kerja yang mengedepankan sikap profesionalisme, budaya dunia barat menjadi baik. Orang akan berkompetisi secara fair. Persaingan meraka berdasarkan kemampuan yang ssebenarnya. Dengan sistem seperti ini, siapapun yang menang akan dihormati dan diakui. Yang kalahpun akan bisa menerima bahwa dirinya memang tidak sekuat temannya yang menang.

Karena budayanya berbeda, dalam psikologi indegenous memang salah satu budaya tidak bisa menjadi ukuran bagi budaya lainnya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam budaya jawa, ewuh pekewuh ini akan menjadi baik karena sangat menghargai perasaan oranglain. Namun secara profesionalitas ini menjadi tidak baik. Berbeda dengan dunia barat, yang tidak mengenal budaya ewuh pekewuh ini. Semua berdasarkan relalita dan fakta. Maka dunia kerja akan lebih profesional.  

Sehubungan dengan fenomena di atas, dengan melihat tantangan global seperti saat sekarang dimana dunia digital semakin kuat, yang akhirnya mempengaruhi  perubahan sosial. Dari generasi ke generasi mulai terbangun budaya baru yang terpengaruhi oleh budaya barat. Anak-anak milineal yang sekarang sudah memasuki dunia kerja, mulai meninggalkan budaya ewuh pekewuh. Mereka berpikir lebih logis daripada generasi sebelumnya. Mereka faham jika bekerja masih menerapkan budaya ewuh pekewuh, mereka tidak akan bisa bekerja secara profesional. Dunia kerja semakin menuntut adanya percepatan di semua bidang pekerjaan. Budaya pekwuh ini bisa menjadi hambatan dalam dunia kerja. Terlbih untuk saat ini, pekerjaan tidak hanya lintas global antar wilayah sebuah negara. Tapi dalam sebuah kantor atau pekerjaan, para pekerjanya sudah lintas negara. Sehingga semua pekerja dituntut untuk saling menyesuaikan diri, bersaing dengan pekerja dari luar negri dan berusaha memberikan kontribusi terbaik di pekerjaannya.

Jikapun masih ada budaya ewuh pekewuh dalam pergaulan dan juga dalam pekerjaan, media sosial sangat membantu untuk menjembatani hal ini. Misalnya jika seorang rekan kerja akan menegur rekan kerjanya yang berpakaian tidak rapi, atau sering terlambat. Jika disampaikan secara langsung sangat mungkin masih ada perasaan tidak nyaman. Namun dengan disampaikan elwat media sosial hal tersebut akan menjadi lebih nyaman, baik yang menegur ataupun juga yang ditegur. Untuk yang menegur, tinggal mencari kata-kata yang dianggap sopa, kemudian disertai minta maaf jika menyinggung perasaan. Setelah itu dikirm kepada yang ebrsangkutan, maka selesailah urusannya. Ia telah menyampaikan tegurannya melaui media sosial, mislanya whatshapp. Dan sebaliknya, bai yang ditegur hal tersebut membuatnya lebih nyaman karena tidak ditegur secara langsung bertatap muka. Jika ditegur secara langsung sangat mungkin ia akan malu sekali. Apalagi ada orang lain yang mengetahuinya.  Dengan ditegur melalui media sosial, walaupun ia merasa malu tapi ia lebih nyaman karena tidak ada oranglain yang mengetahuinya. Karena hal ini sudah terjadi pada saat sekarang, maka sangat mungkin terjadi proses perubadaha budaya di Jawa akan ini akan diturunkan ke generasi berikutnya, yang bisa jadi prosesnya lebih masif daripada saat ini.

Apakah kita hanya bisa pasrah saja dengan proses ini sehingga budaya ewuh pekewuh akan semakin pudar dan lama kelamaan akan hooang dari budaya kerja Jawa?  Tentu saja tidak. Budaya ewuh pekewuh adalah hal yang baik. Tidak hanya dilingkungan kerja, tapi lebih kepada pergaulan sehari-hari. Budaya ini harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah warisan budaya yang baik dan menjadi ciri khas  karakter orang Jawa. Dalam ini peran orangtua dan guru sangat penting karena keduanya menjadi aktor langsung yang mendidik para generasi. Sehingga walaupun dunia digital semakin marak, namun anak-anak muda tetap menjaga adab, sopan santun, menghargai oranglain, mengaja perasaan oranglian dan juga menjaga kata-katanya agar tidak menyakiti oranglain. Dalam ini sebagai seorang muslim ini tidak hanya masalah budaya, tapi lebih jaub lagi ini adalah masalah adab kepada oranglain. Dengan bersikap baik, menjaga adab akan menjadikan perlikau kita terkontrol. Mampu menahan lisan, mampu menahan emosi. Dan situlah yang akan menjadikan adab ini menjaid nilai pahala. Masyaallah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun