Apakah Demokrasi Hanya Ilusi? adalah sebuah pertanyaan pembuka dari penulis, yang dimana Demokrasi seharusnya menjadi sistem yang memberi ruang bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan mereka. Indonesia sebagai negara yang menganut demokrasi, kita berharap bahwa suara rakyat akan didengar, keputusan politik akan berpihak pada kesejahteraan bersama, dan keadilan akan ditegakkan. Namun, kenyataannya, banyak yang mulai mempertanyakan apakah demokrasi kita benar-benar berfungsi seperti yang diharapkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kualitas demokrasi dibanyak negara, termasuk Indonesia, semakin terancam. Alih-alih menciptakan pemerintahan yang transparan dan adil, sistem demokrasi sering kali dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kepentingan pribadi. Korupsi, ketidaktransparanan, serta kebijakan yang tidak melibatkan partisipasi publik semakin memperburuk kondisi ini. Dampaknya, banyak orang, terutama kita para pemuda, merasa terasing dan tidak terhubung dengan proses politik dibangsa sendiri. Mereka merasa bahwa suara mereka tidak lagi berarti, dan demokrasi hanya menjadi sebuah ilusi.
Namun, di tengah Candramawa serta rasa pesimisme, ada harapan yang masih bisa kita ciptakan. Anak muda, sebagai generasi yang paling dekat dengan perubahan zaman, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Dengan kesadaran, partisipasi, dan keberanian untuk melawan ketidakadilan, mereka dapat memperbaiki sistem demokrasi yang sedang goyah. Sebelum itu terjadi, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa demokrasi kita sedang berada dalam kondisi yang buruk. Hanya dengan menyadari masalah yang ada, kita bisa mulai mencari solusi dan membuat perubahan.
| Kondisi Demokrasi yang Sedang Terancam
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan kualitas demokrasi adalah dominasi oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok tertentu. Oligarki ini membuat keputusan-keputusan politik seringkali lebih berpihak pada kepentingan pribadi atau kelompok elit, bukan pada kebutuhan masyarakat luas. Hal ini mengarah pada ketimpangan sosial yang semakin lebar, dengan sebagian besar rakyat tetap terpinggirkan sementara segelintir pihak menikmati kekayaan dan kekuasaan yang berlebih.
Fenomena korupsi semakin merusak fondasi demokrasi. Alih-alih memprioritaskan kesejahteraan rakyat, banyak pejabat negara yang terlibat dalam praktik korupsi untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Korupsi ini mengalihkan dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, menjadi alat untuk memperkaya individu-individu tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik ini melibatkan penyalahgunaan kekuasaan yang memanipulasi sistem hukum untuk melindungi kepentingan segelintir orang. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pemerintahan menurun, dan banyak yang merasa demokrasi tidak lagi mampu memenuhi harapan mereka dan banyak orang merasa bahwa demokrasi hanyalah sebuah ilusi belaka, yang tidak mampu memenuhi harapan mereka.
Selain itu, masalah transparansi dalam pemerintahan juga semakin menggerogoti kualitas demokrasi. Ketika pemerintah gagal menyampaikan kebijakan atau keputusan dengan jelas dan terbuka kepada publik, rakyat kehilangan hak mereka untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Keputusan-keputusan yang dibuat tanpa melibatkan masukan dari masyarakat hanya akan memperburuk rasa ketidakpercayaan terhadap demokrasi. Proses legislasi yang seringkali tidak melibatkan partisipasi publik, serta kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa transparansi, hanya memperburuk citra demokrasi sebagai sistem yang hanya dijalankan untuk kepentingan sekelompok kecil elit, bukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Di tengah kondisi ini, erosi keterlibatan publik semakin menjadi masalah serius. Banyak warga negara, terutama kami generasi muda, merasa terasingkan dari proses politik. Ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada, terutama setelah terungkapnya berbagai skandal politik dan praktik tidak etis dari para pemimpin, membuat banyak anak muda merasa bahwa suara mereka tidak akan pernah didengar. Ketika kebijakan-kebijakan publik dibuat tanpa melibatkan partisipasi yang berarti dari masyarakat, atau bahkan diputuskan secara sepihak oleh elit politik, akhirnya kami merasa terabaikan dan cenderung apatis, tidak melihat bagaimana keterlibatan mereka bisa mengubah nasib bangsa.
Fenomena apatisme ini semakin diperburuk oleh dominasi media sosial yang sering kali lebih menyoroti sensasi daripada memberikan ruang untuk diskusi politik yang konstruktif. Informasi yang beredar seringkali bersifat dangkal, terpolarisasi, atau penuh dengan narasi yang memecah belah, sehingga semakin memperburuk ketidakpercayaan anak muda terhadap proses politik. Banyak yang merasa bahwa politik tidak relevan dengan kehidupan kami, atau bahkan menjadi sesuatu yang hanya dimainkan oleh mereka yang memiliki kuasa dan kepentingan pribadi.
Dalam konteks ini, demokrasi tidak lagi dianggap sebagai alat untuk mencapai perubahan yang adil, melainkan sebagai sarana untuk mempertahankan status quo yang tidak berpihak pada rakyat. Jika kondisi ini terus berlanjut, akan semakin sulit bagi generasi muda untuk melihat demokrasi sebagai sistem yang mampu memberikan harapan dan keadilan bagi masa depan mereka.