Mohon tunggu...
Farid Abdullah Lubis
Farid Abdullah Lubis Mohon Tunggu... Lainnya - Islamic Communications and Broadcasting Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-aji, Sugih Tanpo Bondho ~ Hanya seorang pelajar yang ingin terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Refleksi 22 Tahun Reformasi: Apakah Sudah Sesuai dengan Apa yang Diharapkan?

23 Mei 2020   02:34 Diperbarui: 28 Mei 2020   02:57 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demosntrasi yang dilakukan oleh seluruh Mahasiswa dari berbagai Universitas di depan Gedung DPR RI, Senayan.

Gelombang reformasi terjadi dengan dilatarbelakangi setidaknya karena dua hal; yang pertama, gerakan sosial politik sebagai usaha membuka kran demokrasi substantif, dan yang kedua ketidakpuasan publik terhadap pemerintah atas situasi ekonomi yang diakibatkan oleh krisis. Dua hal tersebut, demokratisasi dan kesejahteraan kemudian menjadi pekerjaan besar berikutnya yang penting untuk dituntaskan pada masa reformasi ini. Kevin Oslon (2006) menekankan bahwa aspek kesejahteraan perlu hadir dalam perbincangan pemikiran demokrasi kontemporer. Sebab, aspek kesejahteraan tidak hanya dimaknai sempit dalam ruang sosial-ekonomi, tetapi merupakan bagian dari dimensi politik itu sendiri.

Saya berpandangan bahwa, Reformasi hari ini hanya dijadikan sebagai pemantik bagi para politikus untuk berkuasa dan membangun dinasti perpolitikan serta memonopoli persepsi Ekonomi. Cercah harapan dengan pembaharuan sistem serta menjalankan partisipasi politik, pemerintah justru menghambat investasi pendidikan dan malah masih menerapkan budaya politik orde baru yang seakan memberikan kebebasan bagi masyarakatnya, tapi pada akhirnya dibenturkan dengan kebijakan dan hukum yang sangat tidak objektif. 

Mungkin bagi sebagian individu, makna reformasi sudah dapat dirasakan bagi kehidupan bernegara. Tapi tak sedikit juga yang sampai saat ini belum merasakan makna dan implementasi dari cita-cita reformasi.  Apakah realitas bangsa yang begitu memperihatinkan adalah fakta dari rancangan baru reformasi? Tentu tidak. Namun apa sebenarnya yang diharapkan dari era reformasi? Reformasi adalah era baru dari perjalanan bangsa Indonesia, sebuah jalan menuju cita-cita awal pejuang 45 yang terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Sebuah keniscayaan dari keinginan luhur untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang berdaulat, adil dan makmur.

Pada kenyataannya hari ini praktek KKN masih terlihat, ketidak adilan penegakan hukum di negara ini juga masih sering terjadi, penghambatan pendidikan juga perlu dipertanyakan, perekonomian juga masih perlu pembenahan. Saat ini, kita sudah berada ditahun ke 22 pasca reformasi, namun belum ada sinyal-sinyal positif yang menunjukkan kesejahteraan masa depan bangsa Indonesia, malah kita dapat menyaksikan sekian banyaknya persoalan bangsa yang tak kunjung terselesaikan. Lantas dimana komitmen pemerintah? Apakah masih menunggu gerakan reformasi kedua untuk menumbangkan rezim yang berkuasa dan kembali membangun puing-puing cita-cita para pejuang, demi Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Jelas, Korupsi masih tetap menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan rakyat. Bukan berarti realitas tersebut berarti menihilkan perubahan yang telah dibuat, sama sekali tidak. Tetapi gagasan reformasi tidak cukup hanya dengan apa yang telah terjadi hari ini. Artinya, perjuangan aktivis belum boleh berhenti. Karena kenyataannya, reformasi belum banyak mengubah bagian terpentingnya dan belum sesuai dengan cita-cita dari tujuan reformasi. Tafsir demokrasi menjadi liar, bahkan kadang sulit dipahami dengan analisa literatur baku. Tidak dapat dipungkiri, demokrasi mengubah tatanan bernegara. Mulai dari konstitusi, struktur birokrasi hingga ke soal remeh temeh. Persoalan tersebut mulai dari kebijakan politik, sistem ekonomi, legislatif dan juga undang-undang.

Seperti yang terjadi di tanggal 24 November 2019, pasca pembahasan RUU KUHP dan RUU KPK yang membuat para mahasiswa turun kejalan menuntut beberapa point, Poin pertama 7 tuntutan mahasiswa adalah mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang. Sebab, pasal-pasal dalam RKUHP dinilai masih bermasalah. Pemerintah juga didesak membatalkan revisi UU KPK yang baru saja disahkan. Revisi UU KPK dinilai membuat lembaga anti korupsi tersebut lemah dalam memberantas aksi para koruptor. Kemudian Tuntutan mahasiswa di DPR lainnya berkaitan dengan isu lingkungan. RUU Ketenagakerjaan RUU Pertanahan, RUU PKS, Terakhir tuntutan mahasiswa adalah mendorong proses demokrasi di Indonesia. Selama ini, negara dianggap melakukan kriminalisasi terhadap aktivis.

Selanjutnya penyelesaian HAM juga masih mengalami pasang surut dalam penyelesaiannya. Dalam proses transisi politik itu terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM baru, kekerasan dan kejahatan lain-lain. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan norma HAM, yang sedang didiskusikan dan dirumuskan, tak serta merta menjadi norma internal individual setiap orang atau dalam kebijakan institusi. Kontradiksi lain adalah konflik berdarah berbasis etnis dan agama, yang terjadi bersamaan dengan transisi politik. Konflik ini di antaranya terjadi di Maluku, Poso, Sampit, dan Sambas. Peristiwa-peristiwa ini terjadi antara 1999 hingga 2002-2003. Kekerasan komunal tersebut sangat melukai dan membekas bagi orang yang terlibat konflik maupun para korban.

Munir, aktivis dan advokat HAM, justru dibunuh lewat operasi yang diduga kuat dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN), saat itu dipimpin oleh A.M. Hendropriyono. Ironisnya, pembunuhan Munir dilakukan pada 6 Oktober 2004, tanggal yang bersamaan ketika UU 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan. Munir adalah pejuang yang gigih mengusut keadilan dan akuntabilitas atas korban Orde Baru seperti kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, dan penculikan aktivis 1997-1998.

Selain berbagai kasus di atas, kita juga perlu melihat dan merefleksikan temuan-temuan dari organisasi-organisasi seperti KontraS, LBH, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Komnas Perempuan, serta berbagai organisasi di daerah. Mereka mencatat setiap tahun ada 40 sampai 60-an kasus individu yang disiksa ketika ditahan polisi; aktivis petani, masyarakat adat, dan hak atas tanah rentan diserang oleh preman dan dipenjara karena dipidanakan oleh perusahaan; ribuan masyarakat harus memobilisasi diri untuk mempertahankan tanah (adat); ratusan anak-anak perempuan menjadi objek perdagangan orang ke luar negeri karena dilema orangtua yang miskin.

Belakangan ini, pemerintah membuat kebijakan serta pembahasan RUU Cipta Kerja dan Kartu Pra Kerja yang seharusnya bisa menjadi acuan untuk memperbaiki perekonomian, pada akhirnya menyengsarakan kaum pekerja dengan regulasi yang tidak substansial dan berupa program asal jadi oleh pemerintah dan tidak berdampak kepada masyarakat. Akibatnya penyerapan tenaga kerja sangat minim dan menghasilkan angka pengangguran yang cukup tinggi.

Masa reformasi hari ini, belum memberikan keadilan pada masyarakat. Reformasi yang didapat dengan jeripayah serta pengorbanan yang dilakukan oleh para masyarakat dan mahasiswa dulu, hanya menjadi cerita belaka yang tidak ada akhirnya. Substansi reformasi bukan soal hanya transisi politik, tetapi jalan revolusioner panjang melalui kedaulatan rakyat yang telah di rekonstruksi oleh zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun