Tepat 22 tahun silam, 21 Mei 1998, tercatat sebagai salah satu momen penting dan berharga dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, hari Kamis pagi, Presiden Soeharto menyatakan berhenti serta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun, terhitung sejak dia mendapat "mandat" Surat Perintah 11 Maret 1966. Seluruh masyarakat gembira, karena penguasa yang dianggap tidak pro rakyat, sudah digulingkan dan dimundurkan secara paksa atas kehendak rakyat. Seakan, kemenangan benar-benar ditangan rakyat.
Reformasi sudah berumur 22 tahun, Â Sebuah fase baru dimulai, perjalanan transisi sebuah bangsa menuju demokrasi. Demokrasi, adalah jalan menuju kesejahteraan. Rakyat memiliki ruang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki. Memiliki kesetaraan pada akses-akses ekonomi, tidak hanya pada akses politik.
Gerakan dan Perjuangan Mahasiswa
Gerakan reformis yang dimobilisasi oleh para aktivis mahasiswa dari Sabang-Merauke akan membuat para elit politik Oligarki semakin ter pressure akibat resonansi yang dilakukan oleh para aktivis '98. Lusuh, mata merah, lingkaran hitam di kelopak mata sering menjadi ciri para aktivis. Diskusi, yang tidak bersekat antara kanan dan kiri. menjadi agenda rutin, nyaris tak terjeda. Menyatukan tekad, meneguhkan keberanian, agar reformasi benar-benar terjadi.
Gelombang unjuk rasa yang digalang gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Sejarah mencatat, Yogyakarta menjadi salah satu kota yang mengawali aksi demo dengan tuntutan: turunkan Presiden Soeharto! Namun, demonstrasi mahasiswa kemudian berubah menjadi tragedi pada 12 Mei 1998. Saat itu, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, seakan berusaha mengalihkan perhatian mahasiswa dalam berjuang menuntut mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru.Â
Jika kita melihat balik kilas ditahun 1998, suara mahasiswa sangat kritis terhadap situasi nasional serta sering membuat gerakan diruang publik untuk menyuarakan hak dan kebenaran. Akan tetapi saat ini, sepertinya gerakan mahasiswa sudah mulai meredam, konklusi pemikiran yang tidak sekritis dulu, suara mahasiswa seakan dibungkam, atau bisa jadi gerakan mahasiswanya yang diam, atau tidak memiliki kesadaran akan situasi yang terjadi saat ini.
Pergerakan mahasiswa era digital juga berbeda. Apalagi kondisi bangsa saat ini yang membuat kita apa-apa harus serba online, belajar, belanja, rapat, dan sebagainya. Tapi itu semua tidak akan membuat semangat juang kita menipis. Saat ini mahasiswa terpolarisasi dengan banyak kepentingan. Sehingga jika ada mahasiswa yang bergerak menuntut perubahan atau menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, banyak terjadi tidak kesamaan pemikiran dan tidak kompak. Ada mahasiswa yang turun ke jalan dengan menyuarakan hak dan aspirasinya, tapi ada juga yang seakan menutup mata dan telinga serta acuh dengan apa yang terjadi.
Kita bisa melihat resonansi yang dilakukan oleh mahasiswa membuat para elit politik oligarki menjadi panik dan kebingungan dalam menghadapi situasi sulit yang terjadi saat itu. Seluruh mahasiswa turut andil dalam memperjuangkan tuntutannya secara kompak diberbagai daerah. Tapi aksi tersebut terjadi tindakan refresif yang dilakukan para aparat keamanan kepada seluruh mahasiswa yang melakukan aksi di depan gedung DPR. Pada akhirnya banyak mahasiswa yang terjatuh dan menjadi korban atas aksi tersebut.
Reformasi yang diharapkan dan Realitas hari ini
 Berbicara reformasi hari ini menjadikan kongklusi pemikiran elit politik untuk dijadikan bahasan refleksi bagi masyarakat sebagai warga negara. Reformasi hari ini juga hanya momentum tahunan yang hanya diingat bahwa tuntutan yang gaungkan saat itu seakan belum terbayar dan pada akhirnya slogan reformasi hanya seputar transisi politik dari rezim otoriterian menuju masa reformasi.