Mohon tunggu...
Farida Azzahra
Farida Azzahra Mohon Tunggu... Konsultan - Law Student

A learner and hard worker person. Have an interest in law and political issues.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

20 Tahun Eksistensi Mahkamah Konstitusi: Menciptakan Keseimbangan, Membangun Kewibawaan

20 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 20 Juli 2023   19:19 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc dilansir dari Kompas.com

"The constitutional implementation of legislation can only be guaranteed effectively if an organ other than the legislative body is assigned with the task of examining whether or not a legislative product is constitutional.."


Kutipan pakar hukum Austria sekaligus penggagas "Teori Hukum Murni," Hans Kelsen tersebut telah menjadi dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada 2003 silam. Sebagai wujud komitmen negara hukum dan demokrasi, Indonesia turut menjalankan agenda reformasi nasional melalui supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara dengan melakukan amandemen UUD NRI 1945.


Sebagaimana pandangan Kelsen tersebut, pembentukan MK di Indonesia tidak terlepas dari adanya kebutuhan pengujian produk legislasi (undang-undang) terhadap konstitusi (UUD NRI 1945), yang mana hal ini tengah berkembang menjadi kebutuhan konstitusional global dan harus dilakukan oleh lembaga peradilan yang independen dan bebas intervensi. Oleh karena itu, pada 13 Agustus 2003 silam MK resmi dibentuk sebagai lembaga peradilan konstitusi Indonesia sesuai amanat Pasal 24C UUD NRI 1945, dan resmi mengemban tugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) serta penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of constitution) dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Peran sebagai pengawal konstitusi dan penafsir tunggal konstitusi tersebut diwujudkan dengan pelaksanaan fungsi constitutional review. Mekanisme constitutional review ini menjadi praktik negara hukum modern dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, menegaskan prinsip demokrasi, serta menjaga check and balances antar lembaga negara.

Pasca pembentukannya 20 tahun lalu, berbagai dinamika dan tantangan terkait pelaksanaan tugas dan fungsinya tentu pernah dihadapi MK. Tak sedikit pula apresiasi dan depresiasi yang diterima MK pasca menerbitkan 3.503 putusan, dengan putusan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) mencapai 1.662 sampai dengan pertengahan 2023. Terlihat, bahwa hampir setengah dari total permohonan yang diputus MK didominasi oleh permohonan PUU.

Permohonan PUU di MK tersebut memiliki polemik tersendiri dalam sepak terjang kehadiran MK. Tak jarang MK melahirkan putusan yang terbilang kontroversial, di antaranya putusan terkait permohonan Presidential Thershold, pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, dan lain-lain. Putusan-Putusan MK dalam perkara PUU tersebut menjadi tantangan terbesar MK saat ini, tak hanya dalam upaya menciptakan keadilan tetapi juga dalam upaya menjaga kewibawaan dan marwah lembaga peradilan.

Setidaknya, terdapat dua hal yang menjadi tantangan bagi kewibawaan MK saat ini. Pertama, berkaitan dengan kemampuan MK mempertahankan independensi dan netralitasnya sebagai lembaga peradilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam perjalanannya MK pernah mengalami masa kelam ketika dua hakimnya terjerat kasus korupsi pada 2013 dan 2017 silam. Hal tersebut menjadi catatan merah MK dalam perjalanan menjaga marwah peradilan konstitusi. Untuk itu, prinsip imparsialitas seyogianya menjadi prioritas utama para hakim konstitusi untuk mencegah keberpihakan dan konflik kepentingan, terutama dengan lembaga pengusung para hakim konstitusi tersebut guna menjaga kepercayaan publik.

Kedua, berkaitan dengan kepatuhan dan sinergitas pelaksanaan putusan MK. Dalam hubunganya dengan fungsi legislasi, MK memiliki peran sebagai negative legislator. Artinya, MK memiliki kewenangan pembatalan pengaturan yang diatur dalam suatu undang-undang ataupun tetap membiarkan pemberlakuan pengaturan tersebut. Dalam hal MK mengamanatkan pembatalan pengaturan dalam suatu undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif haruslah mematuhi aturan tersebut.

Namun, tak jarang praktik pengabaian dan penundaan terhadap putusan MK terjadi dalam praktik legislasi saat ini, di antaranya putusan terkait wewenang DPD dalam permohonan pengujian UU MD3, putusan terkait penataan dapil, hingga putusan terkait Undang-Undang Cipta Kerja.

Terbaru, penelitian pakar hukum, Herdiansyah Hamzah dalam disertasinya menyebutkan bahwa hanya 52% putusan MK yang ditindaklanjuti dengan baik oleh pemerintah dan DPR sampai dengan tahun 2022. Artinya, hampir setengah putusan MK belum dipatuhi dan dijalankan dengan baik. Hal ini tentu menjadi tantangan dalam upaya menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan konstitusi.

Selain hubungan dengan lembaga legislatif, sinergitas antar lembaga peradilan juga menjadi tantangan MK. Dalam kedudukanya sebagai satu-satunya lembaga peradilan konstitusi, putusan MK memiliki sifat final dan mengikat sebagaimana hakikat asas Erga Omnes, sehingga semua pihak termasuk lembaga peradilan wajib mematuhi putusan MK tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun