Mohon tunggu...
Farida Azzahra
Farida Azzahra Mohon Tunggu... Konsultan - Law Student

A learner and hard worker person. Have an interest in law and political issues.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ancaman Kelumpuhan KPK dan Bayang-Bayang Oligarki

17 September 2019   18:07 Diperbarui: 18 September 2019   10:39 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembentukan produk hukum juga harus memperhatikan fakta empiris di dalam masyarakat, dan fakta empiris saat ini menunjukan bahwa masyarakat menentang dilakukannya revisi atas UU KPK karena dinilai akan melemahkan KPK dan mempermudah penyebaran praktik korupsi di Indonesia.

Namun, alih-alih mendengarkan aspirasi masyarakat, Presiden justru terkesan tunduk pada kepentingan para politikus dan elite penguasa. Presiden larut dalam bayang-bayang permainan para oligark. Dan jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Urgensi Revisi UU KPK

Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan KPK dan undang-undangnya yang telah berdiri selama 17 tahun ini perlu dikaji kembali untuk melihat sejauh mana efektivitas pembentukan lembaga anti korupsi dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

KPK yang mulanya dibentuk untuk mengambil alih tugas kepolisian dan kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi ini memang terbilang memiliki kewenangan independen dan terbebebas dari intervensi pihak manapun. 

KPK diberi kewenangan-kewenangan istimewa seperti melakukan penyadapan dan tidak memiliki keharusan untuk menerbitkan SP3. Selain itu, keberadaan KPK juga tidak diawasi oleh badan pengawas seperti lembaga-lembaga negara lainnya.

Alasan kewenangan-kewenangan istimewa tersebutlah yang kemudian dijadikan dasar oleh DPR untuk dilakukannya revisi UU KPK. KPK dinilai sudah terlalu kuat, dan kekuatan yang dimiliki oleh KPK tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan abuse of power.

Jika dicermati, pemberian wewenang istimewa kepada KPK tersebut bahwasanya merupakan wujud dari semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, korupsi merupakan salah satu bentuk extraordinary crime, sehingga pemberantasannya pun perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga.

Pengaturan mengenai penerbitan SP3 dalam jangka waktu setahun sejak ditetapkannya seorang tersangka rasanya terlalu singkat untuk membereskan kejahatan yang penyebarannya begitu masif. Sebagaimana diketahui, kejahatan kerah putih (white collar crime) ini merupakan kejahatan yang terstruktur, sehingga pengusutannya pun memerlukan waktu yang panjang.

Jangka waktu setahun tidak akan cukup bagi KPK untuk memeriksa tersangka dan mengumpulkan alat bukti, terlebih lagi jika kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dimiliki oleh KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas, sementara unsur Dewan Pengawas yang tertulis dalam draft revisi UU KPK tersebut merupakan orang-orang yang dipilih oleh DPR. 

DPR merupakan lembaga politis, sehingga sangat memungkinkan untuk menghasilkan keputusan yang bersifat politis juga, dan hal ini tentu saja akan mengancam independensi KPK dalam memeriksa tersangka pelaku tindak pidana korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun