Mohon tunggu...
Farida Azzahra
Farida Azzahra Mohon Tunggu... Konsultan - Law Student

A learner and hard worker person. Have an interest in law and political issues.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ancaman Kelumpuhan KPK dan Bayang-Bayang Oligarki

17 September 2019   18:07 Diperbarui: 18 September 2019   10:39 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekisruhan masyarakat semakin memuncak ketika Presiden mengeluarkan Surat Presiden (Supres) yang berisi persetujuan untuk membahas usul revisi tersebut bersama DPR. 

Sikap Presiden tersebut dinilai telah mengingkari janji dan komitmen pemberantasan korupsi sebagaimana yang telah digaungkan pada masa kampanye.

Ditambah lagi, terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru saja disahkan oleh Komisi III DPR semakin menambah keyakinan masyarakat bahwa keberadaan KPK saat ini sedang disabotase untuk segera dilumpuhkan. Dan saat ini, revisi UU KPK tersebut baru saja disahkan pada sidang paripurna DPR.

Indikasi Kekuasaan Oligarki
Oligarki, bentuk pemerintahan yang merupakan kemerosotan dari model aristokrasi ini kembali membayangi sistem demokrasi Indonesia pasca disahkannya revisi UU KPK. Dalam oligarki, pemerintahan dikendalikan oleh golongan atau segelintir pihak berkuasa dengan tujuan memuaskan kepentingan golongannya sendiri.

Bayang-bayang oligarki memang sulit dilepaskan dalam tatanan kehidupan demokrasi dan organisasi. Sebab, sebagaimana yang diutarakan oleh Robert Michels bahwa siapa yang berbicara mengenai organisasi, maka sesungguhnya berbicara mengenai oligarki, dan gambaran inilah yang tepat untuk menggambarkan situasi pemerintahan Indonesia saat ini ketika pembahasan revisi UU KPK akhirnya disahkan. Lantas, mengapa usulan revisi UU KPK ini dapat dikatakan sebagai kemunculan bayang-bayang oligarki?

Sebagaimana diketahui, pembahasan revisi UU KPK ini terkesan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terburu-buru. Usulan revisi ini telah disahkan pada sidang paripurna DPR 5 September lalu dengan keputusan bulat sepuluh fraksi menyetujui pembahasan revisi UU KPK dilakukan. Namun, pemberian pandangan fraksi ini dilakukan secara tertulis sehingga kita tidak bisa mengetahui alasan pandangan tersebut. 

Setelah itu, DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta persetujuan pembahasan revisi UU KPK, dan Presiden pun langsung menyetujuinya dalam jangka waktu enam hari sejak surat tersebut diserahkan, padahal Presiden memilki jangka waktu 60 hari untuk menyikapi usulan revisi UU KPK tersebut. Lalu apa yang menyebabkan Presiden begitu cepat dalam mengambil keputusan tersebut?

Jika alasannya adalah untuk mengejar waktu pengesahan UU sebelum masa jabatan DPR berakhir, rasanya Presiden tidak perlu secepat itu dalam mengambil keputusan. Sebab, usulan revisi ini bukan sesuatu yang sudah berjalan dengan progress yang cukup besar. Usulan revisi ini baru dimunculkan, dan tidak ada salahnya jika pembahasannya dimulai pada periode anggota DPR selanjutnya.

Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari pembahasan produk hukum dalam jangka waktu dua minggu? Bukankah keputusan yang gegabah ini cenderung menghasilkan produk hukum yang tidak matang? dan lagipula, pembahasan UU ini berlangsung di tengah gelombang penolakan masyarakat, seharusnya hal ini dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR dalam melanjutkan pembahasan revisi UU KPK tersebut.

Sikap Presiden dalam hal ini jelas mengabaikan suara masyarakat, terlebih lagi DPR juga telah menyatakan bahwa masukan publik tak lagi diperlukan. Padahal, Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan telah merumuskan bahwa masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam hal pembentukan perundang-undangan, dan masukan masyarakat ini dapat dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR dan juga sosialisasi atau diskusi terbuka.

Idealnya, pembentukan suatu produk hukum haruslah memperhatikan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Aspek sosiologis berupa pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan, karena pembentukan undang-undang haruslah mampu memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun