Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cakak Banyak dan Krisis Toleransi

17 Agustus 2018   05:52 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:28 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang bekerja sebagai tukang bekam. Nabi Saw. meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar, mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh al-Qur'an dengan menegaskan bahwa kemulian di sisi Allah bukan karena keturunan tetapi ketakwaan.

Lebih lanjut Shihab menegaskan, apa pun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan asal-usul manusia, yaitu Adam dan Hawa. Maka tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari orang lain. Kata kucinya adalah ta'arafu (          ) yang berarti saling mengenal. Kata itu menjadi patron dengan makna timbal balik, yaitu saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada pihak lainnya, maka semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Alla Swt. (Shihab, 2008, vol. 13: 260-262).

Merujuk keterangan Shihab di atas, dapat dipahami bahwa semua manusia di sisi Allah sama, tidak ada perbedaan, yang membedakan hanyalah ketakwaan. Setelah itu perbedaan itu bermanfaat untuk saling mengenal satu sama lain. Berawal dari saling mengenal itulah akan terjadi saling memberi manfaat. Dengan kata lain, sejatinya perbedaan itu memberikan manfaat bagi manusia, bukan menimbulkan kebencian yang berujung pada cakak banyak tersebut, intinya yang salah bukan perbedaan pendapat dan perbedaan cara pandang tersebut, tetapi yang salah adalah keliru dalam menyikapi perbedaan.

Oleh sebab itu, meningkatkan pemahaman masyarakat di semua lini kehidupan tentang pentingnya sikap toleransi tersebut adalah solusi yang harus dimaksimalkan. Sebab al-Qur'an mengajarkan manusia untuk bersikap tasamuh atau toleransi. Jika sikap ini tidak dihidupkan di tengah-tengah masyarakat maka akan terjadi ketidakseimbangan. Hilangnya kerukunan umat seagama, antar agama dan rusaknya kerukunan di lingkungan masyarakat.

Membangun Generasi Toleran Masa Depan

Mencermati betapa berbahaya perilaku intoleransi ini, maka solusi untuk perihal tersebut adalah dengan membangun masayarakat toleran, tegasnya adalah dengan membentuk masyarakat yang paham dan pandai bertoleransi. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membangun generasi yang memahami dan mengamalkan sikap toleransi tersebut. Ridwa Kamil berkata, "Tugas maha besar generasi kita adalah mewariskan toleransi, bukan kekerasan. Kecerdasan, bukan kebodohan. Kerja keras, bukan kemalasan (Kamil, 02/10/2017).

Langkah efektif yang dapat diupayakan untuk membangun generasi yang pandai bertoleransi adalah melalui edukasi atau pendidikan. Edukasi yang dimaksud bukan hanya belajar monoton berkutat dengan diktat saja. Tetapi edukasi melalui pembiasaan sikap toleransi tersebut, K. H. Syamsul Hadi Abdan, salah satu pimpinan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, mengatakan bahwa pendidikan yang sejati adalah melalui pembiasaan. Pembiasaan itulah yang akan menjadi karakter, yang tanpa pikir panjang akan bersikap toleran. Untuk itu Penulis menawarkan pendidikan dengan pembiasaan itu melalui tiga lin;

Pertama, edukasi melalui lingkungan keluarga.

Rumah adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Oleh sebab itu membangun sikap toleransi di lingkungan keluarga tentu akan sangat efektif. Contohnya, membiasakan bermusyarah dengan seluruh anggota keluarga, jika ada rencana untuk pergi rekreasi, lalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Contoh lainnya menentukan tempat kelanjutan studi anak, maka dimusyawarahkan terlebih dahulu. Intinya adalah membiasakan musyawarah di lingkungan kelurga setiap akan mengambil keputusan.

Oleh karena itu membiasakan makan malam bersama di lingkungan keluarga mesti dihidupkan kembali. Sebab setelah makan malam adalah waktu yang sangat efektif untuk bermusyawarah, karena seluruh anggota keluarga sudah selesai beraktifitas di siang hari. Apalagi di era moderen ini setiap anggota keluarga sudah mempunyai scadule-nya masing-masing. Anak-anak pergi sekolah sampai sore, ayah pergi ke kantor, ibu pergi mengajar bagi yang berprofesi sebagai guru dan lain sebagainya. Intinya semuanya sudah mempunyai aktifitas masing-masing, maka tradisi makan malam bersama harus dihidupkan kembali. 

Jika anak sudah dibiasakan bermusyawarah di rumah, maka akan terbetuklah anak-anak yang pandai bertoleransi. Sebab mereka sudah biasa bersilang pendapat dan sudah terlatih untuk berlapang dada dalam menerima mufakat. Kehadiran mereka yang bersikap toleransi itu akan terjewantah dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun