Tidak banyak pesantren yang mempunyai pengaruh besar di hati masyarakat saat ini. Satu diantaranya Pesantren Istiqlaliyah di Kampung Cilongok, Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang. Namun orang lebih mengenalnya Pesantren Cilongok saja.Â
Pesantren ini pertama kali didirikan oleh KH Abuya Dimyathi. Setelah wafat, pesantren selanjutnya diasuh oleh putranya, KH. Uci Turtusi. Pesantren ini tetap mempertahankan watak corak salafnya meski berada di tengah-tengah daerah kawasan industri Kota Tangerang. Keberadaan pesantren ini menyatu dengan pemukiman masyarakat. Sehingga tidak ada batas tembok yang melingkungi pesantren ini.
Yang cukup unik, dalam penyampaian pengajian diawali dengan hadhoroh dan sholawat kemudian dilanjutkan dengan membacakan kitab, biasanya kitab fikih Minhajul Qowin dan Tafsir Al Jalalain yang diterjemahkan secara letterleck dengan  metode utawi iku khas pesantren dan berbahasa jawa, kemudian disyarah dengan menggunakan bahasa sunda. Sementara yang hadir bisa dipastikan tidak semua bersuku sunda, meski terkadang diselingi bahasa Indonesia.
Di saat ribuan orang sibuk dengan aktifitas libur akhir pekan dengan mengunjungi berbagai tempat rekreasi, ternyata masih ada (banyak) yang meluangkan waktu mengisi akhir pekan dengan duduk khusu’ mengikuti pengajian yang memang rutin diselenggarakan tiap Minggu ini.
Kegiatan rutin pekanan ini menjadi semacam oase spiritual bagi sebagian masyarakat Tangerang dan sekitarnya. Sulit menemukan pengajian akbar yang digelar setiap minggu ini yang dihadiri oleh ribuan jamaah setianya. Tanpa komando, tanpa publikasi canggih media, tanpa organisasi majlis pengajian yang marak tahun-tahun belakangan ini.
Meski membawa corak pesantren salaf, namun dalam penampilan sungguh mengagumkan. Pesantren ini sangat memperhatikan lingkungan. Penghijauan menghiasi suasana pesantren. Pepohonan  seperti mangga membuat rindang. Ada juga gemericik air dan kolam-kolam berisi ikan peliharaan tentu membuat sejuk pendengaran. Di salah satu sudut terdapat sangkar burung besar berisi beberapa jenis burung, seperti burung beo, kakatua, nuri dan lain-lain. Benar-benar membuat suasana pesantren menyatu dengan alam.
Keadaan lingkungan pesantren yang sebagiannya nampak rimbun tersebut, membuat suasana pengajian nampak santai dan rileks, bahkan terkesan seperti liburan keluarga. Banyak jamaah yang datang membawa serta anak-anaknya. Mereka dapat duduk – dukuk di bawah rindang pohon yang banyak tersebar di lingkungan pesantren ini sambil mendengarkan pengajian, sementara anak-anak dapat menikmati ayunan atau menikmati suara dan keindahan burung di sangkar besar.
Kesempatan pengajian pekanan ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat biasa, tetapi diikuti juga oleh mereka yang bergelar ustazd. Berbeda dengan masyarakat biasa yang hanya mendengar saja, kelompok para ustazd ini membekali dirinya dengan membawa kitab yang akan dikaji. Mereka menyoret (istilah santri untuk menyimak dan menyalin penjelasan) pada kitab mereka  apa yang disampaikan oleh kiai.
Di samping itu, pengajian akbar ini memberikan dampak ekonomi yang besar. Ratusan pedagang tumpah ruah mencari peruntungan di sela-sela pengajian yang berlangsung sekitar jam 8 dan berakhir menjelang waktu zuhur ini. Mereka datang lebih awal untuk menggelar dagangannya. Mulai dari kebutuhan sarapan pagi, nasi uduk, panganan tradisional, perlengkapan busana muslim, hingga perkakas rumah tangga. Dengan demikian membuka menjadi pasar pekanan yang cukup menyerap lapangan usaha untuk warga sekitar pesantren dan pelaku usaha lainnya. Untung buat pedagang juga buat ibu-ibu pengajian, selain menambah ilmu dan memperkuat iman, dapat membawa kebutuhan rumah tangga juga.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H