Sebuah Cerpen Untuk Ridwan Kamil Family
_____
"Mulih ka Indonesia nya', Cinta?"
Lelaki berkaca mata minus itu menyentuh lembut bahu wanita tercintanya yang masih berbalut mukena. Walau terlihat kacau -- mata sembab, mengesankan wanita itu sering menangis dan kurang tidur -- wanita itu terlihat jauh lebih tenang.
"Tapi Aa Eril?"
Lelaki itu memaksakan segaris senyum. Membawa wanita itu ke dadanya. Melingkarkan kedua lengan kokohnya ke tubuh wanita itu. Entah ia sedang berusaha menguatkan kekasihnya itu atau justru dia yang sedang mencari kekuatan dari tubuh yang terasa menyusut beberapa kilo dalam beberapa hari ini. Menyadari semenderita itu wanitanya, dadanya sesak.
Allah, begini nian rasanya. Begini nian rasanya mengikhlaskan buah cinta terkasih kembali ke pangkuan-Mu. Hamba sadar semua ini titipan dari-Mu, termasuk dia, Eril, sibiran tulangku. Jika benar Eril telah kembali pada-Mu, setidaknya kembalikan jasadnya pada kami ya Rabb ....
Lelaki itu merasakan wanitanya bergerak dalam dekapannya.
"Tidak usah khawatirkan Aa, Sayang. Dimanapun dia, Aa sudah dalam penjagaan terbaik Allah. Ikhlas ya, Sayang. Kita bisa."
Tangis wanita itu pecah. Bahunya berguncang hebat.
"Jadi kita menyerah?"
"Psttt .... Kita tidak menyerah. Tidak akan pernah. Kita justru sedang berserah. Berserah pada Allah yang Maha Kuat. Menyerahkan apa yang berada diluar kendali kita. Diluar kemampuan kita mengurusnya. Kita tidak menyerah, tapi justru menyerahkan segalanya kepada Allah. Kita kuat, Sayang, karena kita kuatlah maka kita menyerahkan ini pada-Nya. Kita kuat .... Kuat mengingat-Nya ...."
Sendat lelaki itu membuat istrinya menengadahkan wajahnya. Tidak. Aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh selalu lemah. Suamiku terlihat tegar bukan berarti ia tidak memiliki kelemahan. Ia hanya harus menegarkanku dan menyimpan tangisnya sendiri. Wanita itu memeluk suaminya.
"Iya, Kang. Maafin Cinta, ya? Cinta hanya memikirkan kesedihan dan kehilangan sendiri. Seakan-akan Akang tidak merasakan kesedihan dan kehilangan yang sama. Terima kasih ya Suamiku, sudah menegarkanku. Sudah menyediakan bahu yang kuat untuk kusandari di saat terlemah beberapa hari ini ...."
Pasangan suami istri yang berkasih-sayang karena Allah itu saling berpelukan. Saling menguatkan. Bibir mereka bergetaran mengagungkan asma Allah dalam bilangan istighfar tak terhitung.
"Kita jangan khawatir dengan nasibnya. Sejatinya kita berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Jangan khawatirkan dimana jasadnya. Dimanapun, bumi ini milik-Nya. Aa akan selalu dekat dan ada di hati kta, tempat dimana tak seorangpun mampu mengikisnya dari ingatan kita."
"Jadi Aa tidak akan kedinginan'kan, Kang?"
Pertanyaan sederhana itu membuat lelaki berkaca mata minus itu menggeleng.
"Aa tidak akan kedinginan dan tidak akan kekurangan suatu apapun. Cinta, kamu ibunya. Doamu menembus langit untuknya. Ampuni dan ridhoi dia, itu sudah cukup. Kita semua mencintai Aa. Tapi Akang tahu, tidak ada yang lebih besar daripada cinta seorang ibu pada buah hatinya."
Lagi mereka berpelukan. Saling menguatkan.
*
Pagi ini, mereka kembali menyusuri tepian Aare River. Sejuk hembusan angin awal menerpa wajah.
"Jika di sini saja dingin, bagaimana lagi di dasar sungai sana, Kang," wanita itu berbisik tertahan sendat. Suaminya kembali meraih bahunya. Menepuknya pelan.
"Bismillah, Sayang. Kita kuat dan dikuatkan ...."
Mau apa lagi?
Selain hamba dari Allah Yang Maha Hebat, bukankah mereka juga harus menjadi panutan tidak hanya bagi sekeliling tapi bagi warga Jawa Barat dan mungkin seluruh rakyat di bumi Pertiwi yang ikut merasakan kesedihan menyayat. Kehilangan buah hati saat kita yang melahirkan masih hidup saja, konon adalah pukulan terberat dalam hidup. Apalagi jika jasadnya saja tidak terdekap. Kita tahu jasadnya ada dimana, tapi kita tidak berdaya mengetahui posisi pastinya.
Rabb, di manapun Eril berada, kami pasrahkan, kami ikhlaskan ia, Emerild Mumtazd Kahn, dalam penjagaan-Mu. Terima kasih untuk 22 tahun yang indah sejak ia Engkau 'pinjamkan' pada kami. Dari kehadirannya kami belajar bersyukur dan memaknai kebesaran-Mu. Dari kepergiannya pula kami belajar tentang berserah, tentang sabar, tentang ikhlas dan tawakal pada-Mu. Dari dua peristiwa besar itu -- kelahirannya dan kepergiannya -- sungguh kami lebih banyak belajar dari kepergiannya.
Kami ridho ya Rabb ....
Kami ikhlas ....
Selamat jalan, Nak. Semoga aliran sungai ini, mengantarmu bertemu Rabb-Mu kelak, yang ujung sungainya bermuara di sungai-sungai di surga. Alfatihah.
Lelaki itu mengatupkan matanya. Melantunkan azan. Menyeru asma Allah. Membayangkan dirinya saat mengazani kelahiran putra kebanggaannya itu 22 tahun lalu. Bedanya saat itu dia mengazani buah hatinya di dalam balutan selimut hangat dan kini ia hanya mengazani di tepian sungai yang dingin; sungai Aare. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H