"Psttt .... Kita tidak menyerah. Tidak akan pernah. Kita justru sedang berserah. Berserah pada Allah yang Maha Kuat. Menyerahkan apa yang berada diluar kendali kita. Diluar kemampuan kita mengurusnya. Kita tidak menyerah, tapi justru menyerahkan segalanya kepada Allah. Kita kuat, Sayang, karena kita kuatlah maka kita menyerahkan ini pada-Nya. Kita kuat .... Kuat mengingat-Nya ...."
Sendat lelaki itu membuat istrinya menengadahkan wajahnya. Tidak. Aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh selalu lemah. Suamiku terlihat tegar bukan berarti ia tidak memiliki kelemahan. Ia hanya harus menegarkanku dan menyimpan tangisnya sendiri. Wanita itu memeluk suaminya.
"Iya, Kang. Maafin Cinta, ya? Cinta hanya memikirkan kesedihan dan kehilangan sendiri. Seakan-akan Akang tidak merasakan kesedihan dan kehilangan yang sama. Terima kasih ya Suamiku, sudah menegarkanku. Sudah menyediakan bahu yang kuat untuk kusandari di saat terlemah beberapa hari ini ...."
Pasangan suami istri yang berkasih-sayang karena Allah itu saling berpelukan. Saling menguatkan. Bibir mereka bergetaran mengagungkan asma Allah dalam bilangan istighfar tak terhitung.
"Kita jangan khawatir dengan nasibnya. Sejatinya kita berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Jangan khawatirkan dimana jasadnya. Dimanapun, bumi ini milik-Nya. Aa akan selalu dekat dan ada di hati kta, tempat dimana tak seorangpun mampu mengikisnya dari ingatan kita."
"Jadi Aa tidak akan kedinginan'kan, Kang?"
Pertanyaan sederhana itu membuat lelaki berkaca mata minus itu menggeleng.
"Aa tidak akan kedinginan dan tidak akan kekurangan suatu apapun. Cinta, kamu ibunya. Doamu menembus langit untuknya. Ampuni dan ridhoi dia, itu sudah cukup. Kita semua mencintai Aa. Tapi Akang tahu, tidak ada yang lebih besar daripada cinta seorang ibu pada buah hatinya."
Lagi mereka berpelukan. Saling menguatkan.
*
Pagi ini, mereka kembali menyusuri tepian Aare River. Sejuk hembusan angin awal menerpa wajah.