"Jika di sini saja dingin, bagaimana lagi di dasar sungai sana, Kang," wanita itu berbisik tertahan sendat. Suaminya kembali meraih bahunya. Menepuknya pelan.
"Bismillah, Sayang. Kita kuat dan dikuatkan ...."
Mau apa lagi?
Selain hamba dari Allah Yang Maha Hebat, bukankah mereka juga harus menjadi panutan tidak hanya bagi sekeliling tapi bagi warga Jawa Barat dan mungkin seluruh rakyat di bumi Pertiwi yang ikut merasakan kesedihan menyayat. Kehilangan buah hati saat kita yang melahirkan masih hidup saja, konon adalah pukulan terberat dalam hidup. Apalagi jika jasadnya saja tidak terdekap. Kita tahu jasadnya ada dimana, tapi kita tidak berdaya mengetahui posisi pastinya.
Rabb, di manapun Eril berada, kami pasrahkan, kami ikhlaskan ia, Emerild Mumtazd Kahn, dalam penjagaan-Mu. Terima kasih untuk 22 tahun yang indah sejak ia Engkau 'pinjamkan' pada kami. Dari kehadirannya kami belajar bersyukur dan memaknai kebesaran-Mu. Dari kepergiannya pula kami belajar tentang berserah, tentang sabar, tentang ikhlas dan tawakal pada-Mu. Dari dua peristiwa besar itu -- kelahirannya dan kepergiannya -- sungguh kami lebih banyak belajar dari kepergiannya.
Kami ridho ya Rabb ....
Kami ikhlas ....
Selamat jalan, Nak. Semoga aliran sungai ini, mengantarmu bertemu Rabb-Mu kelak, yang ujung sungainya bermuara di sungai-sungai di surga. Alfatihah.
Lelaki itu mengatupkan matanya. Melantunkan azan. Menyeru asma Allah. Membayangkan dirinya saat mengazani kelahiran putra kebanggaannya itu 22 tahun lalu. Bedanya saat itu dia mengazani buah hatinya di dalam balutan selimut hangat dan kini ia hanya mengazani di tepian sungai yang dingin; sungai Aare. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H