Pengertian Kebermaknaan Hidup
Psikologi eksistensial membahas segala kemampuan manusia yang tidak mendapatkan pembahasan secara sistematik dalam aliran positivis-behavioursm atau dalam teori klasik psikoanalisa. Misalnya masalah values,proses menjadi (becoming), kreativitas, afeksi, tanggung jawab dan kebermaknaan (Abidin, 2002). Salah satu prinsip dasar aliran tersebut adalah keberadaan mengatasi dunia (being-beyond-the world), maksudnya adalah menusia memiliki kemungkinan yang luas untuk mentransendir atau melampaui atau mengatasi diri dan lingkungannya, serta merealisasikan potensinya. Konsep mengatasi dalam psikologi eksistansial ini dapat menerangkan dan mendeskripsikan kemampuan manusia mentransendir diri dan lingkungannya, waulaupun lingkungan yang dihadapinya sangat menindas dan penuh penderitaaan (Frankl, 2003).
Frankl berusaha menghindari kerancuan dengan pendekatan eksistensial lain dengan menyebut pendekatannya dengan istilah logoterapi baik dalam konsep teortik maupun terapeutik. Frankl menggunakan istilah analisis eksistensial sebagai persamaan kata dari logoterapi. Kata logos dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful of life) yang didambakan (Bastaman, 2007).
Istilah logoterapi pertama diperkenalkan oleh Viktor Frankl sekitar tahun 1920-an. Berbeda dengan tokoh psikologi eksistensial lain di Eropa yang pesimistik dan anti agama, Frankl mempunyai pandangan yang optimistik terhadap keberadaan manusia dan menempatkan agama sebagai salah satu sistem nilai yang berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia (Bastaman, 2007).
Konsep utama logoterapi akan dapat lebih dipahami dalam konteks pemahaman logoterapi secara keseluruhan. Konsep utama yang menjadi dasar filosofis logoterapi menurut Koesworo (1992) adalah kebebasan berkeinginan (freedom of will), keinginan akan makna (will of meaning) dan makna hidup (meaning of life).
Ketiga konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Kebebasan berkeinginan (freedom of will)
Pandangan Frankl menentang pendirian dalam psikologi dan psikoterapi bahwa manusia ditentukan oleh kondisi biologis, konflik-konflik masa kanak-kanak, atau kekuatan lain dari luar. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada dalam batas-batas tertentu. Manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian. Kebebasan manusia bukan merupkan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Dengan demikian kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah eskapisme atau lari dari persoalan yang sebenarnya harus dihadapi.
b. Keninginan akan makna (will of meaning)
Manusia dalam berperilaku mengarahkan dirinya sendiri pada sesuatu yang ingin dicapainya, yaitu makna. Keinginan akan makna inilah yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga (Frankl dalam Bastaman 2007). Frankl tidak sependapat dengan prinsip determinisme dan berkeyakinan bahwa manusia dalam berperilaku terdorong mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan dan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya, yaitu makna (Frankl, 2004).
c. Makna Hidup (meaning of life)
Menurut Bastaman (2007) makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagai seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purposein life). Bila hal itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (heppiness). Menurut Frankl makna hidup bersifat personal dan unik (Frankl,2004). Ini disebabkan karena individu bebas menentukan caranya sendiri dalam menemukan dan menciptakan makna. Jadi penemuan dan penciptaan makna hidup menjadi tanggung jawab individu itu sendiri dan tidak dapat diserahkan kepada orang lain, karena hanya individu itu sendirilah yang mampu meresakan dan mengalami makna hidupnya.
Makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, menyenangkan atau tidak menyenangkan, keadaan bahagia dan penderitaan. Apabila hasrat makna hidup ini dapat terpenuhi maka kehidupan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningful) akan dialami, sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (Bastaman, 2007).
Menurut Frankl (2004) dalam bukunya yang berjudul man's search for meaning mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya satu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi faktor realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan dalam situasi tertentu.
Pengertian makna hidup menunjukan bahwa dalam makna hidup terkandung tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Berdasarkan uraian diatas, kebermaknaan hidup adalah kemampuan dan kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar dirinya dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dan seberapa jauh individu telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya untuk memberi arti terhadap kehidupannya.
Aspek-aspek kebermaknaan hidup.
Menurut James Crumbaugh & Leonard Maholick (dalam Koeswara, 1992), kebermaknaan hidup individu dapat diidentifikasi melalui enam aspek dasar, yaitu
a. Arti hidup; makna hidup adalah segala sesuatu yang dianggap penting dan berharga bagi kehidupan individu, memberi nilai yang spesifik, serta dapat dijadikan sebagai tujuan hidup bagi individu tersebut.
b. Kepuasan hidup; Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidup yang dijalaninya, sejauh mana ia mampu menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan segala aktivitas yang telah dilakukannya.
c. Kebebasan; kebebasan adalah bagaimana individu merasa mampu untuk mengendalikan kebebasan hidupnya secara bertanggung jawab.
d. Sikap terhadap kematian; sikap terhadap kematian adalah persepsi tentang kesiapan individu terhadap kematian yang pasti akan dihadapi oleh setiap manusia.
e. Pikiran tentang bunuh diri; pikiran tentang bunuh diri adalah persepsi tentang jalan keluar dalam menghadapi masalah hidup bahwa bunuh diri bukan merupakan solusi.
f. Kepantasan untuk hidup; kepantasan untuk hidup adalah evaluasi individu terhadap hidupnya sendiri, sejauh mana ia merasa bahwa apa yang telah ia lalui dalam hidupnya merupakan sesuatu yang wajar, sekaligus menjadi tolok ukur baginya tentang mengapa hidup itu layak untuk diperjuangkan.
Pada penelitian ini tingkat kebermaknaan hidup diukur dengan menggunakan kesimpulan teori dari James Crumbaugh & Leonard Maholick (Koesworo,1992). Terdapat enam aspek yang berkaitan dengan kebermaknaan hidup. Butir-butir soal dalam skala ini didasarkan pada karakteristik kebermaknaan hidup yang ada dalam logoterapi. Butir soal tersebut antara lain: makna hidup, kepuasan hidup, kebebasan, sikap terhadap kematian, pikiran untuk bunuh diri, dan kepantasan hidup.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebermaknaan hidup
Frankl (2003) berpendapat bahwa secara hakiki manusia mampu menemukan kebermaknaan hidup melalui trandensi diri. Salah satunya dengan mengambil ajaran-ajaran agama yang diterapkan pada sebuah kehidupan. Namun Di Muzio (2006) berpendapat untuk menemukan makna hidup tidak selalu berkaitan dengan personalan agama, melainkan bisa dan seringkali merupakan filsafat hidup yang sifatnya sekuler, bahkan manusia dapat menemukan makna tanpa kehadiran tuhan.
Manusia dapat menemukan makna melalui realisasi nilai-nilai manusiawi yang meliputi
a. Nilai-nilai kreatif
Menurut Frankl nilai-nilai kreatif adalah apa yang diberikan individu pada kehidupan. Nilai-nilai ini diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif, biasanya berkenaan dengan suatu pekerjaan. Namun nilai-nilai ini dapat diungkap dalam semua bidang kehidupan. Makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan, atau dengan melayani orang lain (Bastaman, 1996).
b. Nilai-nilai pengalaman
Nilai-nilai pengalaman menurut Frankl adalah apa yang diterima oleh individu dari kehidupan. Misalnya menemukan kebenaran, keindahan dan cinta. Nilai-nilai pengalaman dapat memberikan makna sebanyak nilai-nilai daya cipta. Ada kemugnkinan individu untuk memenuhi arti kehidupan dengan mengalami berbagai segi kehidupan secara intensif meskipun individu tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang produktif (Bastaman, 1996).
c. Nilai-nilai sikap
Nilai-nilai sikap adalah sikap yang diberikan individu terhadap kodrat-kodrat yang tidak dapat diubah, seperti penyakit, penderitaan atau kamatian. Situasi-situasi buruk yang dapat memberikan keputusasaan dan tanpa harapan dapat memberikan kesempatan yang sangat besar bagi individu untuk menemukan makna hidupnya. Nilai-nilai sikap ini menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dihilangkan seperti kematian, bencana, sakit yang tidak dapat disembuhkan dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal (Bastaman, 2007).
Penelitian yang dilakukan Croumbaugh dan Maholick menunjukan bahwa kebermaknaan hidup berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial ekonomi individu (dalam Koesworo,1992). Semakin tinggi tingkat pendidikan, kecerdasan, dan sosial ekonomi seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup orang tersebut.
Laki-laki memiliki tingkat kebermakaan hidup lebih baik daripada perempuan, hal ini atas dasar asumsi bahwa dalam masyarakat patriarkis, laki-laki mendapatkan keuntungan-keuntungan yang lebih besar daripada permpuan. Seperti status, penghormatan, kebebasan jasmani, kebebasan mengalami banyak pengalaman untuk mengembangkan diri, serta memiliki keleluasaan untuk menentukan pilihan maupun mengungkapkan diri. Kondisi ini tentunya akan labih menyediakan peluang bagi laki-laki untuk menemukan dan menciptakan makna hidup yang lebih beragam dibanding perempuan (Bhasin dan Khan, 1995).
Berbagai penelitian juga menunjukan bahwa makna hidup yang positif tergantung pada kesesuaian antara tujuan-tujuan dan nilai-nilai individu dengan peran dan kebutuhan struktur yang mengikat individu. Penelitian yang dilkukan Rathi dan Rastogi (2007) pada anak pra remaja dan menyimpulkan bahwa makna hidup sejalan dengan kematangan psikologis. Individu yang sudah mengerti tentang tujuan hidup dan berusaha mencari jati diri dengan cara mengeksplorasi segala potensinya akan memiliki makna hidup lebih baik.
Karakteristik individu yang menemukan makna hidup.
Schultz (1991) menyimpulkan bahwa individu yang menemukan makna dalam hidupnya memiliki karakteristik sebagai berikut
a. Bebas memilih langkah tindakan sendiri.
b. Bertanggung jawab sebagai pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib.
c. Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar dirinya.
d. Telah menemukan dirinya dalam kehidupan yang sesuai dengan dirinya.
e. Secara sadar mengontrol tindakannya.
f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap.
g. Telah mengatasi perhatian terhadap dirinya.
h. Berorientasi pada masa depan dan mengarahkan dirinya pada tujuan-tujuan dan tugas yang akan datang.
i. Memiliki alasan untuk meneruskan kehidupan.
j. Memiliki komitmen terhadap pekerjaan.
k. Mampu memberi dan menerima cinta.
Schultz (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dapat memaknai hidupnya dengan bekerja, karena dengan bekerja individu dapat meralisasikan dirinya dan mentransendensikan diri mereka.
Akibat kegagalan pencapaian kebermanaan hidup
Frankl (2004) menandai adanya dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan tersebut.
Tahap awal dari sindroma ketidakbermaknaan adalah frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga dengan kehampaan eksistensial (exsistetial vacuum) yaitu fenomena umum yang berkaitan degan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna (Koesworo,1992). Frustasi eksistensial sejauh tidak disertai simptom-simptom klinis tertentu, bukanlah suatu penyakit dalam pengertian klinis, melainkan suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dan mengatasi masalah-masalah persoalanya secara efisien (Frankl, 2004).
Suatu fenomena umum dialami manusia pada masa kini adalah tidak lagi memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa saja yang sepatutnya diperbuat. Frustasi eksistensial tidak nampak jelas namun pada umumnya ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, serta perasaan hampa (Frankl, 2004).
Tahapan kedua adalah neurosis noogenik (noogenic neuroses), yaitu suatu manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan simptomatologi neurotik klinis tertentu yang tampak (Koesworo,1992). Frankl menggunakan istilah neurosis noogenik untuk membedakan degan keadaan neurosis somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis.
Neurosis noogenik berkaitan dengan inti spiritual kepribadian dan bukan menurut peran serta agama, melainkan suatu dimensi eksistensi manusia, khususnya menunjuk pada konflik-konflik moral (Schults,1991). Neurosis noogenik dapat termanifestasikan dalam tampilan simptomatik yang serupa dalam gambaran simptomatik neurosis psikogenik, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, obsesionalisme, dan tindakan kejahatan.
Crumbaugh dan Maholick menambahkan, bahwa kekurangan makna hidup mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola-pola tujuan dan nilai yang terintegrasi dalam hidup, sehingga terjadi penimbunan energi yang membuat individu lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang mengatasi berbagai hambatan, termasuk hambatan dalam mencapai makna (Koesworo,1992). Keinginan terhadap makna akan tetap ada dalam individu, tetapi dikarenakan individu tidak memiliki pola yang terorganisasi sebagai titik tolak pencapaian makna, maka keinginan tersebut tidak dapat terwujud. Sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut menjadikan individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan sehingga dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan seringkali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat kompensasi dan menyesatkan, seperti alkohol, obat bius, narkoba, perjudian, dan melakukan petualangan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H