Sejak beberapa tahun belakangan ini dunia perguruan tinggi di Indonesia mulai tampak berubah. Secara perlahan, sebagian dosen mulai peduli dengan menerbitkan artikel pada jurnal ilmiah. Namun, jumlah publikasi yang terus bertambah kurang diikuti oleh perubahan budaya menulis dan budaya ilmiah karena publikasi lebih ditujukan untuk  kenaikan pangkat dan jabatan. Begitu pangkat dan jabatan dicapai, publikasi tak lagi dipandang perlu sehingga terjadilah jumlah guru besar yang lebih banyak dari jumlah publikasinya.Â
Mungkin karena masih "gegar publikasi internasional", jumlah publikasi bagi sebagian akademisi lebih dikejar daripada mutu publikasi. Hal ini dibarengi dengan munculnya banyak jurnal internasional abal-abal atau setengah abal-abal bahkan ada di antaranya yang masih terindeks di SCOPUS. Jurnal-jurnal tersebut menerbitkan artikel yang tidak ditelaah secara serius baik isi maupun bahasanya.
Kadar mutu jurnal paling mudah dilihat dari bahasa dan daftar referensinya. Mutu jurnal perlu dipertanyakan jika mutu Bahasa Inggrisnya lemah dan terjemahan Bahasa Inggris tidak sempurna terlihat dari munculnya bahasa Indonesia dalam tulisan termasuk referensi dalam bahasa Indonesia. Mutu tulisan juga dapat dilihat dari referensi yang kebanyakan buku atau jurnal lokal.
Sebagian akademisi tampaknya kurang menyadari bahwa tulisan yang terbit secara online dapat dibaca oleh orang di seluruh dunia yang berhak untuk mengkritisi dan menilai tulisan tersebut. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan yang penting para penulis di artikel tersebut sepakat sedangkan orang luar tidak berhak menilai. Â
Para pembaca berharap membaca artikel yang bermutu yang ditulis oleh penulis yang kredibel. Itulah mengapa Kemenristek Dikti mewajibkan untuk menerbitkan tulisan sehingga tidak hanya dikenal luas tetapi juga siap dipertanggung jawabkan kepada publik.
Salah satu cara menilai kredibilitas isi tulisan adalah dengan melihat rekam jejak penulisnya terutama penulis pertama sebagai penanggungjawab utama isi tulisan. Jika bidang keahlian penulis pertama berbeda dengan keahlian dalam tulisan, hal ini mencerminkan bukan hanya penulis yang tidak kredibel tetapi juga isi tulisannya.
Perbedaan bidang keahlian penulis pertama dengan isi tulisan adalah pintu masuk bagi banyak pertanyaan. Tentu hal yang aneh seorang ahli Matematika sebagai penulis pertama artikel tentang Akuntansi atau Ekonomi Islam walau matakuliah tersebut terdapat pada fakultas yang sama.
Ingatlah betapa hebohnya perguruan tinggi di Indonesia ketika ada artikel yang berjudul "Mapping Indonesian paddy fields using multiple-temporal satellite imagery" dengan penulis Nono Lee, Agnes Monica and Inul Daratista. Penulis kedua dan ketiga yang sudah jelas penyanyi membuat artikel ini tidak kredibel dan membuat malu penerbitnya sehingga dihapus dari situs jurnal tersebut.
Sudah berapa kali Kemenristek Dikti menginvestigasi kasus artikel yang dicurigai karena bidang keahlian penulis pertama berbeda dengan artikel yang ditulisnya, terutama untuk proses guru besar. Jika dikatakan bahwa telah terjadi kesepakatan antar penulis dengan meletakkan penulis yang tidak ahli sebagai penulis pertama sementara penulis yang ahli bukan sebagai penulis pertama, akan memunculkan pertanyaan selanjutnya. Â
Mengapa penulis kedua dan seterusnya yang menulis dan ahli di bidangnya tidak menghargai dirinya sendiri yang layak sebagai penulis pertama sementara penulis pertama yang bukan ahli di bidangnya begitu percaya diri menjadi penanggungjawab utama tulisan yang bukan keahliannya. Ada relasi ilmiah yang kurang profesional dan kurang sehat di sini dan pihak eksternal akan  mencium "something fishy is going on here".Â
Relasi ilmiah yang tidak sehat tidak hanya terjadi pada mereka yang keahliannya berbeda dengan tulisan tetapi juga dengan mereka yang keahliannya sama, yang lebih sulit lagi untuk mendeteksinya. Relasi ilmiah yang tidak sehat juga terjadi pada penulis kedua, ketiga dan seterusnya yang tidak ada kontribusi atau tidak berkontribusi secara signifikan terhadap tulisan tersebut.
Kata "sepakat" sangat tidak sesuai dengan konteks relasi ilmiah yang tidak sehat. Istilah tersebut sama dengan menoleransi relasi ilmiah yang tidak sehat antar para penulis pada suatu tulisan. Hal ini mirip hubungan antara penulis perseorangan yang mendapatkan artikelnya dari pihak lain seperti pemesanan artikel, skripsi, thesis dan disertasi yang dilarang di perguruan tinggi. Seorang dosen dari suatu perguruan tinggi mengatakan seorang guru besar di tempatnya membayar cukup mahal sebuah tulisan yang menempatkannya sebagai nama pertama.
Menulis adalah suatu proses yang memerlukan waktu dan keseriusan dan di dalam proses tersebut ada alokasi waktu yang cukup banyak untuk membaca dan meneliti. Seorang penulis yang kredibel dan professional sekelas pemenang nobel saja tidak akan mau membuang waktu untuk meneliti, membaca dan menulis yang bukan keahliannya karena mengurangi waktunya untuk memperdalam keahliannya sendiri. Rekam jejak yang beragam dari para dosen juga berdampak pada mengurangi nilai akreditasi. Â Â
Hanya akademisi yang rendah hati dan menyadari betapa panjang jalan untuk menjadi seorang ahli yang akan terus menerus belajar dan memperbaiki diri. Keterbatasan pengetahuan dengan mengatakan "banyak orang lain yang juga melakukannya" atau yang penting "kesepakatan" dalam relasi ilmiah yang tidak sehat, hanya menghalangi kemauan belajar dan justru bisa menjadi boomerang bagi para akademisi sendiri.
Sebagian dari kita memang belum beranjak ke arah budaya menulis dan ilmiah yang sesungguhnya. Agent of change yang sering disematkan pada kaum akademisi tidak selalu sesuai dengan realita. Sumber daya manusia seperti itu tentunya masih jauh untuk menjadi bagian dari world class university yang sering disebut oleh perguruan tinggi tanpa mengetahui makna sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H