Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mantan TKI Ilegal Itu Akhirnya Menjadi Sarjana

26 Oktober 2017   16:42 Diperbarui: 26 Oktober 2017   20:33 3139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Heru Purwanto bersama ibu dan adiknya. Sumber: Heru Purwanto

Menjadi sarjana bagi Heru Purwanto, pemuda yang lahir di Desa Cepala, Kecamatan Tekarang, Kabupaten Sambas  Kalimantan Barat, adalah bagian dari cita-citanya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Pada 26 Oktober 2017, Heru diwisuda sebagai sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Tanjungpura (Untan) dengan masa studi 4 tahun 1 bulan dan Indeks Prestasi Kumulatif 3,11.

Heru yang sekarang berusia sekitar 24 tahun, relatif lebih tua dibandingkan teman-teman seangkatannya. Dia memang tidak langsung kuliah setamat dari SMA Negeri 1 Tekarang, Kecamatan Tekarang pada 2011 walau lulus Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di Fakultas Pertanian Untan pada tahun yang sama. Ketiadaan biaya menyebabkan dia tidak mendaftar sebagai mahasiswa baru. Pada 2012, Heru mendaftar kembali SBMPTN, namun kali ini memilih Fakultas Ekonomi dan tidak lulus. Selama tidak kuliah, Heru membantu ibunya di kampung dengan ikut berladang dan berjualan. 

Heru mendaftar lagi SBMPTN di Untan pada 2013. Kali ini dia dibantu seorang teman yang mengurus pendaftarannya karena Heru masih bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Bintulu, Sarawak, Malaysia. Heru tiba di Pontianak dari Sarawak menjelang hari pelaksanaan ujian masuk dan dia gagal lagi.  

Heru tidak putus asa. Dia mendaftar ujian masuk tahap kedua melalui seleksi mandiri dan lulus. Dengan bekal hasil bekerja sebagai TKI ilegal, dia mampu membayar uang pendaftaran di Fakultas Ekonomi Untan dan membiayai hidupnya untuk beberapa bulan. 

Dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk tempat tinggal karena tinggal di asrama Komite Mahasiswa Kabupaten Sambas. Dia juga senang memasak sehingga bisa menghemat karena tidak selalu harus membeli nasi dan lauk pauknya.    

Tekad Heru menjadi sarjana kembali menguat ketika menjadi TKI di Malaysia. Heru, yang saat itu berusia sekitar 20 tahun, melihat bapak-bapak yang sudah renta bekerja keras demi mencari nafkah untuk keluarga di kampung halaman. Dia bertanya pada diri sendiri, akankah dia menjadi TKI yang dirasakannya cukup berat, sampai tua ? Dia tidak ingin seperti itu dan bertekad memperbaiki nasib keluarganya dengan cara melanjutkan pendidikan hingga tingkat sarjana.

Sejak lahir, Heru jarang bertemu ayahnya yang selalu merantau untuk bekerja. Ayahnya pernah bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ketika meninggal dunia akibat tertimpa kayu, beliau sedang bekerja di Pekanbaru Riau sebagai penebang kayu. Waktu itu Heru masih kelas 3 Sekolah Dasar sementara ibunya baru saja melahirkan adik Heru satu-satunya.

Kawan ayahnya yang sama-sama bekerja di Riau menyampaikan kabar duka tersebut. Almarhum dikuburkan di Pekanbaru karena biaya yang cukup mahal untuk membawa jenasah ke Sambas. Heru dan keluarganya hanya melihat foto proses penguburan ayahnya dan sampai sekarang belum pernah menziarahi kuburnya.

Menjadi Kondektur

Untuk membiayai hidup dan kuliahnya, Heru bekerja sebagai kondektur sambilan bis jurusan Pontianak-Sambas dan supir ojek.  Heru yang mudah bergaul dan ringan tangan dalam membantu, cepat dekat dengan para supir bis yang ditumpanginya ketika menuju Pontianak tempat dia kuliah dan pulang ke kampung halamannya di Sambas.

Pertemanan dengan supir bis memudahkan Heru mendapat pekerjaan sebagai kondektur sambilan jika sedang tidak ada perkuliahan. Menjadi kondektur bagi Heru cukup menyenangkan karena dia bukan hanya mendapat upah, tetapi juga mendapat makan gratis selama perjalanan dan dapat mengunjungi ibu dan adiknya di kampung sesering mungkin tanpa mengeluarkan biaya.

Dari pertemanan dengan supir bis, Heru mendapatkan pekerjaan lain. Misalnya, para supir tersebut akan menghubunginya jika ada penumpang bis yang turun dekat terminal bis di luar Pontianak dan memerlukan jasa ojek untuk mengantar ke tempat tujuan di Pontianak .

Heru terus berkembang dan semakin pandai melihat peluang bisnis dengan memanfaatkan media sosial seperti facebook.  Bekerja sama dengan supir dan pemilik angkutan, Heru menawarkan jasa bis carteran untuk rombongan. Dia antara lain menawarkan kepada lulusan SMA di Sambas yang akan ikut ujian SMBPTN di Pontianak atau yang baru saja lulus SMBPTN untuk bepergian bersama dengan bis yang ditawarkannya sehingga tidak bercampur dengan penumpang lain. Perjalananpun menjadi lebih cepat karena bis hanya menuju satu tempat di Pontianak tanpa berhenti menurunkan penumpang selama perjalanan. 

Bahkan Heru juga membantu mereka untuk tinggal sementara di asrama selama di Pontianak. Jasa yang ditawarkannya tersebut sangat membantu para calon mahasiswa dan mahasiswa baru yang terkadang masih bingung pergi ke Pontianak sendirian.  Dengan pengalamannya tersebut, Heru diminta panitia untuk mengurus pengangkutan dan akomodasi kawan-kawan angkatannya di FEB Untan ketika melakukan kunjungan ke Universiti Malaysia Sarawak pada 2016.

Menjadi TKI Ilegal

Penghasilan yang kecil di kampung, mendorong Heru mengikuti ajakan temannya, yang telah terlebih dahulu bekerja di Sarawak, untuk bekerja sebagai TKI di sana pada akhir 2012. Dia membayar Rp. 500.000 untuk jasa pengurusan paspor tanpa perlu pergi ke Kantor Imigrasi.

Heru yang tamatan SMA hanya mengetahui bepergian ke luar negeri secara legal cukup dengan menggunakan paspor, apapun tujuan kepergian tersebut. Kawan yang mengajaknya kerja juga tidak memberikan informasi tentang visa kerja sebagai syarat untuk bekerja di luar negeri. 

Heru baru mengetahui bahwa tanpa visa kerja dia hanya boleh tinggal di Malaysia selama 30 hari setelah dia sampai di  Malaysia.  Teman-teman Heru sesama pekerja umumnya juga tidak mempunyai visa kerja. Di antara pekerja tersebut, ada yang sudah lebih dari 10 tahun bekerja dan sempat dua kali berganti paspor.

Supaya paspor tetap aktif, setiap bulan sebelum batas waktu tinggal di Malaysia berakhir, Heru bersama teman-temannya menitip paspor kepada supir taksi gelap yang merangkap sebagai agen TKI yang biasa membawa TKI ilegal dari Sambas ke Sarawak, dengan membayar sejumlah uang. Supir taksi tersebut akan mengurus cap paspor di bagian imigrasi baik di perbatasan Sarawak (Malaysia) maupun Entikong, Sanggau atau Aruk, Sambas Kalimantan Barat.   

Walau selalu merasa cemas dengan status sebagai pekerja ilegal, Heru menuturkan umumnya kawan kawannya sesama pekerja bangunan lebih memilih status ilegal.  Status ilegal membuat mereka lebih bebas karena bekerja tanpa ikatan kontrak sehingga mudah pulang ke Indonesia bilamana mereka menginginkannya. Jika terikat kontrak, mereka tidak bisa pulang sesukanya karena tergantung ijin cuti.  

Selama di Sarawak, Heru pernah bekerja di dua tempat sebagai buruh bangunan dengan upah RM. 40 per hari. Dalam satu bulan rata-rata dia bekerja selama 25 hari. Jika pekerjaan di suatu tempat selesai atau jika merasa bosan, mereka pindah bekerja dengan majikan yang lain, walau apa yang dikerjakan kurang lebih sama.

Dengan penghasilan yang didapat, mereka mengeluarkan biaya rata-rata per bulan untuk urunan masak RM. 200,  jajan dan lainnya RM. 200 dan ditabung. Heru mengeluarkan biaya cukup besar untuk pulsa karena sering menelpon ibunya. 

Bekerja sebagai buruh bangunan umumnya dengan pola berkelompok. Kelompok Heru terdiri dari tiga orang. Mereka bekerja mengaduk semen dan menyusun batako. Heru dan kawan-kawannya harus datang lebih awal dari tukang karena semen yang sudah diaduk harus siap sehingga ketika tukang semen datang, mereka bisa langsung bekerja. Mereka juga harus pulang paling akhir karena harus mengembalikan peralatan kerja pada tempatnya sehingga tempat kerja menjadi rapi.

Status sebagai pekerja ilegal membuat Heru dan pekerja lainnya menjadi tidak tenang karena seringkali ada razia. Para buruh memang membangun pondok dari triplek di lokasi kerja untuk istirahat terutama pada siang hari. Namun pada waktu malam, mereka lebih sering tidur di bangunan yang sedang dikerjakan atau bahkan di hutan dengan mengalahkan rasa takut terhadap hewan berbisa dan hewan buas.

Heru merasa betapa sengsaranya hidup sebagai TKI ilegal. Mereka sangat takut dengan polisi. Suatu malam ketika sebagian besar pekerja sedang tidur di pondok, seorang pekerja yang belum tidur memberitahukan kedatangan polisi untuk razia. Dengan bergegas semua pekerja lari ke luar dari pondok menuju hutan untuk bersembunyi. Mereka melanjutkan tidur di hutan dan kembali ke pondok pada pagi hari.

Penutup

Menjadi sarjana bagi Heru lebih dari sekedar ijazah dan ilmu pengetahuan yang diperoleh di kampus. Kehidupan di Pontianak dan pertemanan dengan banyak orang dari berbagai strata pekerjaan dan lingkungan sosial membuat dia semakin terampil menjalani kehidupan.

Heru menjalani hidupnya dengan berjuang tak kenal lelah dan ikhlas. Dia selalu berpikir ke depan yang membawanya hingga pada tahap sekarang. Dia bercita-cita menjadi pengusaha dan sudah merintisnya mulai dari menjadi buruh sampai menciptakan kerja untuk diri sendiri dengan menawarkan jasa yang terkait dengan angkutan.

Selamat untuk Heru. Teruslah berjuang dan bahagiakanlah keluargamu. Masa depan yang cerah menanti anak-anak muda yang memiliki mental baja sepertimu.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun