[caption caption="Peta Borneo"][/caption]
Bulan November lalu, Menteri Besar -setara gubernur di Indonesia- Sarawak, Malaysia, Tan Sri Adenan Satem, meresmikan Bahasa Inggris (BI) sebagai bahasa resmi kedua selain Bahasa Malaysia (BM) di Sarawak. BI sebenarnya bukan lagi bahasa asing di negeri yang bertetangga dengan Kalimantan Barat ini. Penggunaan BI dalam percakapan sehari-hari cukup meluas termasuk dalam pertemuan resmi dan di lembaga pemerintahan.
Dibandingkan penduduk di Semenanjung Malaysia yang didominasi bangsa Melayu, penduduk di Sarawak dan Sabah yang terletak di Malaysia Timur atau di Pulau Borneo/Kalimantan lebih kental dalam penggunaan BI. Di Sarawak dan Sabah, jumlah bangsa Melayu, Cina dan Dayak relatif berimbang. Tak jarang komunikasi antar bangsa dan sesama bangsa termasuk sesama Melayu terutama di perkotaan, menggunakan BI daripada Bahasa Malaysia (BM). Sama seperti di Semenanjung, pengaruh BI dalam BM sangat terasa. Bangsa Melayu di perkotaan biasa memanggil auntie dan uncle tidak hanya untuk perempuan dan laki-laki dewasa bangsa Cina dan India, tetapi juga untuk bangsa Melayu yang terlihat intelek dan modern.
Namun semua itu dianggap belum cukup. Menteri Besar mengatakan “ It is a pity that many graduates are unemployed because of their poor communication skills in English,” (Sumber). BI juga sebenarnya sudah lama digunakan dalam perkuliahan di Perguruan Tinggi (PT) negeri Sarawak. Perkuliahan termasuk tatap muka dan tugas semua dalam BI. Mahasiswa Malaysia pada tingkat sarjana muda (bachelor) sedikit terbantu hanya pada tahun pertama karena soal ujian dibuat dua versi, BI dan BM. Pada tahun-tahun berikutnya, semua soal ujian hanya dalam BI.
Selain PT negeri, Sarawak memiliki juga PT swasta diantaranya adalah cabang PT dari luar negeri seperti Swinburne University dan Curtin University. Sejak berdiri, PT cabang luar negeri, sudah menggunakan BI sebagai bahasa resmi karena kebanyakan mahasiswanya dari luar Malaysia. PT negeri juga semakin membuka diri. Sebelumnya hanya program pasca sarjana terutama S3 yang mahasiswanya sebagian besar berasal dari luar Malaysia. Sekarang semakin banyak mahasiswa asing dari negara seperti Cina, Turki, Kyrgyzstan dan Indonesia kuliah pada tingkat sarjana muda.
Mahasiswa umumnya sangat lancar berbicara dalam BI, namun tidak demikian halnya dengan menulis. Jika ada mahasiswa yang tidak lancar berbahasa Inggris, itu karena sekolah sebelumnya dan lingkungan sekitarnya. Pernah ada seorang mahasiswa bangsa Cina Sarawak menemui saya bersama temannya untuk membicarakan masalahnya. Herannya bukan dia yang langsung bicara, tetapi temannya. Setelah ditanya mengapa demikian, temannya menuturkan bahwa dia tidak bisa bicara dalam BI dan BM karena sejak kecil belajar di sekolah Cina (Di Malaysia, sekolah negeri mencakup sekolah Cina dan India). Jarang mahasiswa seperti ini karena setidaknya mereka tahu BM selain bahasa ibu.
Keprihatinan Menteri Besar Sarawak terhadap kemampuan BI lulusan PT, saya alami ketika membimbing skripsi. Penulisan karya akhir program sarjana muda, magister dan doktoral, sebenarnya diperbolehkan menggunakan BI atau BM, tergantung kesediaan dosen pembimbing. Namun di Sarawak sebagian besar karya akhir ditulis dalam BI. Ini karena dosen yang selalu menulis dan berbagai referensi yang umumnya dalam BI. Mereka enggan membaca tulisan dalam BM selain sebagai upaya mendorong mahasiswa agar semakin lancar menggunakan BI.
Pada masa lalu, beberapa mahasiswa bersikeras menulis skripsi dalam BI walau kemampuan BI mereka sangat lemah. Semakin lama, semakin banyak mahasiswa (masih sedikit sebenarnya karena kurang dari 10 persen) yang meminta ijin menulis dalam BM. Seorang mahasiswa magister bangsa Cina asal Semenanjung yang ketika berbicara tak kalah dengan native speaker meminta ijin untuk menulis tesis dalam BM ketika saya mengatakan tidak mengerti dengan BI dalam tesisnya (ternyata dia menggunakan Google translator). Dia mengaku lebih mudah menulis dalam BM daripada BI, karena skripsi Sarjana Mudanya di salah satu PT negeri di Semenanjung ditulis dalam BM.
Penggunaan BI yang luas di kampus, cukup mengherankan bagi orang Semenanjung Malaysia. Beberapa mahasiswa dari Semenanjung yang kuliah di Sarawak mengeluhkan kondisi tersebut terutama pada tahun pertama Sarjana Muda. Beberapa kolega dari PT di Semenanjung yang sedang berkunjung ke Sarawak, cukup heran dengan situasi serba Inggris karena sebagian besar dosen, karyawan dan mahasiswanya adalah warga Malaysia. Rapat manajemen juga sering menggunakan BI walau hampir semua unsur manajemen adalah warga Malaysia. Situasi tersebut memudahkan saya ketika menjadi ketua departemen. Saya menggunakan BI pada waktu memimpin rapat dosen, menyampaikan pidato dan menulis berbagai surat resmi terutama untuk dosen. Saya tidak percaya diri menggunakan Bahasa Malaysia (BM) dalam forum resmi karena sering tercampur dengan Bahasa Indonesia.
Dalam suasana semangat nasionalisme menggalakkan BM, peresmian BI sebagai bahasa kedua di Sarawak tak luput dari kritikan sebagian masyarakat. Semangat nasionalisme tercermin dari tuntutan menggunakan BM untuk dokumen resmi yang tidak terkait langsung dengan perkuliahan. Pernah saya ditunjuk sebagai ketua penulisan proposal pendirian program studi (prodi) baru yang anggotanya seorang dosen warga Malaysia. Saya sebenarnya menulis dalam Bahasa Indonesia untuk bagian saya, yang kata-katanya saya ganti dengan BM jika saya mengetahui padanannya. Tentu saja saya meminta kolega saya untuk memeriksanya.
Tiba-tiba saya diminta presentasi dalam rapat dosen untuk mendapatkan persetujuan sebagai bagian dari prosedur. Karena teman dalam tim sedang tidak di tempat, mau tidak mau saya sendiri yang harus mempersiapkan persentasi dalam BM. Saya terbawa arus menggunakan BM karena slides ditulis dalam BM, padahal rapat biasanya dalam BI. Perdebatan yang cukup hangat terjadi tentang penting tidaknya prodi baru tersebut yang akhirnya disetujui untuk melanjutkan penulisan proposal.
Selingan bercanda justru muncul gara-gara saya sering menggunakan Bahasa Indonesia daripada BM. Saya menulis “uang” padahal dalam BM adalah “wang”. Selain itu ada “tingkat bunga” padahal seharusnya “kadar faedah”. Dalam waktu yang mendesak, saya sudah mencari padanan kata dalam Google translator untuk interest rate tapi yang keluar selalu "tingkat bunga”. Belum lagi BM yang saya gunakan untuk bicara lebih banyak Bahasa Indonesianya campur Bahasa Inggris. Dekan berkata presentasi saya adalah BM versi Bahasa Indonesia. Saya senyum-senyum saja, inilah resiko menugaskan saya hehehe.
Walau BI sudah diresmikan sebagai bahasa kedua, saya yakin BM tetap menjadi bahasa yang penting di Sarawak. Bangsa Melayu Sarawak lebih banyak menggunakan bahasanya sendiri apalagi di pedesaan. Bahasa Melayu Sarawak agak mirip dengan Bahasa Melayu Sambas (Kalimantan Barat). Saya sering pergi ke Pasar Tani di mana umumnya pedagangnya adalah bangsa Melayu. Awalnya saya menggunakan Bahasa Indonesia sehingga sering diduga orang Semenanjung atau Sabah. Lama kelamaan BM saya semakin lumayan walau masih jauh dari standar. Untuk mengatasi hal tersebut, saya campurkan BM dan bahasa ibu (Melayu Sambas) daripada Bahasa Indonesia, sehingga saya tidak terlalu asing di kalangan masyarakat kampung Sarawak.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sangat terbuka, penduduk Sarawak cenderung multilingual. Selain bahasa Melayu, yang tidak sama persis dengan Bahasa Malaysia (BM), dan Bahasa Inggris, mereka juga suka mempelajari bahasa lain seperti Bahasa Indonesia (Di sini). Apalagi pelanggan terbesar rumah sakit swasta di Sarawak adalah dari Indonesia. Jangan heran, petugas front liners rumah sakit yang warga Malaysia akan menyambut anda dengan Bahasa Indonesia yang lumayan baik. Bahkan karena sebagian besar pelanggan dari Indonesia, sampai-sampai teman saya yang warga Malaysia diajak bicara Bahasa Indonesia.
Lain Sarawak (Kuching sebagai ibukota), lain pula tetangga sebelah Kalimantan Barat (Pontianak sebagai ibukota). Pontianak-Kuching ditempuh sekitar 30 menit dengan pesawat udara dan 9 jam dengan bis. Kalimantan Barat yang terlihat sibuk dengan isu pembangunan perbatasan sejak akhir 1980an, tampaknya lebih inward looking daripada outward looking. Jika gubernur Sarawak, yang masyarakatnya sehari-hari sudah tidak asing dengan BI, khawatir dengan kemampuan BI lulusan perguruan tingginya, bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia tampaknya lebih sering bercita-cita tinggi dengan proses mencapai cita-cita ala kadarnya. Jangan heran jika pendidikan di Malaysia lebih maju dari Indonesia walau kemampuan individu manusia Indonesia tidak kalah dari Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H