Walau kadang-kadang ada riak dalam hubungan Indonesia dan Malaysia, hubungan “people to people” antar kedua negara sangat kuat, ibarat kata pepatah “air dicencang tak akan putus”. Rakyat Malaysia senang dengan banyak hal tentang Indonesia seperti makanan, produk konfeksi, sinetron, lagu-lagu dan bahasanya. Bahasa Malaysia (BM) dan Bahasa Indonesia (BI) sama-sama berakar dari bahasa Melayu tetapi kedua bahasa ini hanya serupa tapi tidak sama. Kosa kata BM cukup banyak yang sama dengan BM Sambas (Kalimantan Barat).
Untuk melatih keterampilan berbahasa Indonesia, orang Malaysia lebih senang menggunakan BI kepada orang Indonesia terutama ekpatriat atau turis asal Indonesia. Bahkan ada yang berlatih menggunakan BI dengan pembantu rumah tangga mereka yang dari Indonesia. Seorang teman bercerita ketika dia membuat janji ke klinik dokter langganannya melalui telepon di Kuala Lumpur, si resepsionist yang mengetahui dia dari Indonesia langsung menggunakan BI dengan fasihnya. Di perguruan tinggi, teman Malaysia akan memanggil “bapa’ atau “ibu” daripada “doktor” atau “professor” untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan anda. Mereka juga senang kalau dipanggil “bapa” atau “ibu” karena merasa seperti orang Indonesia. Kata “bapa” dan “ibu” di Malaysia hanya digunakan untuk menyebut bapa dan ibu kandung.
Seperti halnya Bahasa Inggris, kemampuan menggunakan BI dapat mengangkat status sosial si pembicara. Kemampuan berbahasa Indonesia juga diperlukan ketika pergi jalan-jalan ke Indonesia dan belanja di Indonesia misalnya di Bandung yang merupakan ‘surga belanja” orang Malaysia. Keterampilan BI orang Malaysia umumnya diperoleh dari rasa senang terhadap lagu-lagu dan sinetron Indonesia. Sama seperti peminat Upin dan Ipin yang tetap menyenangi film kartun Malaysia itu walaupun hubungan Indonesia dan Malaysia sedang memanas, demikian juga halnya orang Malaysia yang tetap menyukai lagu-lagu dan sinetron Indonesia.
Jangan heran jika BI yang mereka gunakan banyak dipengaruhi oleh BI di lagu dan sinetron seperti penggunaan kata ‘banget”, “cewek” dan “pacaran”. Bahkan karena dalam sinetron kata “bibi” selalu digunakan untuk memanggil pembantu rumah tangga (PRT), mereka juga memangil “bibi” kepada PRT dari Indonesia. Dalam drama (sinetron) di televisi Malaysia, kata “bibi” juga digunakan untuk memanggil PRT asal Indonesia yang bekerja di suatu keluarga yang diperankan oleh aktris Malaysia yang dapat menggunakan BI. Konotasi kata “bibi” sebagai panggilan hanya untuk PRT tentu kurang sesuai dengan BI karena kata “bibi” juga digunakan untuk menyebut saudara bapa atau ibu. Jadi hati-hati jika memanggil “bibi” kepada orang Malaysia karena bisa disangka menyamakan mereka dengan PRT.
Dalam suatu acara “talk show” membahas topik nasionalisme di televisi Malaysia, seorang nara sumber berpendapat besarnya kekuatan BI. Kekuatan BI ditunjukkannya dengan orang-orang Indonesia yang tetap menggunakan BI ketika berbicara dengan orang Malaysia. Wartawan televisi Malaysia juga menggunakan BI ketika mewawancarai artis Indonesia. BI bahkan digunakan dalam bahasa resmi Malaysia seperti kata “mantan” yang BMnya adalah “bekas” (dulu Indonesia juga menggunakan kata “bekas”). Lagu-lagu Malaysia juga banyak yang menggunakan kata “bisa” versi BI karena “bisa” versi BM artinya “bisa ular”.
Kurangnya kemampuan berbahasa asing dapat menjadi berkah terselubung bagi Indonesia karena dapat memaksa orang yang tinggal di Indonesia untuk menggunakan BI. Ketika Safie Salie, pemain sepakbola terkenal Malaysia yang pernah di kontrak Pelita Jaya, ditanya wartawan Malaysia tentang BMnya yang bercampur dengan BI, dia menjawab bahwa selama di Indonesia mau tidak mau dia harus belajar BI. Ini dilakukannya karena orang Indonesia yang tidak bisa menggunakan Bahasa Inggris, kalaupun bisa mereka tidak menggunakan Bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari, dan mereka juga tidak tahu BM.
Jika BI lisan sangat disenangi, tidak demikian dengan BI tulisan. Banyak diantara dosen Indonesia yang memilih mengambil S3 di Malaysia karena kemampuan Bahasa Inggris mereka yang relative rendah selain biaya kuliah yang relative murah. Mereka sering mengartikan BM sama dengan BI. Jadi, ditulislah tesis dalam BI yang tidak selalu mudah dipahami oleh pembimbing yang terbiasa menggunakan Bahasa Inggris. Secara resmi, tesis di perguruan tinggi di Malaysia bisa ditulis menggunakan dua bahasa, Bahasa Inggris atau Bahasa Malaysia.
Akibatnya ada pembimbing yang “menyerah” dan minta diganti dengan dosen lain yang bisa mengerti BI. Ada juga pembimbing yang meminta mahasiswanya untuk menterjemahkan tulisannya dari BI ke BM sebelum menyerahkan tesis untuk dibaca pembimbingnya. Suatu proses yang panjang dan mungkin ada yang bertanya mengapa tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris saja? Kalau sudah ‘alergi’ dengan Bahasa Inggris semua itu akan dijalani karena dosen-dosen Indonesia yang sekolah tidak mau dipusingkan dengan urusan Bahasa Inggris. Pada akhirnya ketika tesis siap diserahkan untuk diuji, semua harus menggunakan BM yang standar. Mereka yang menggunakan BI dalam proses bimbingan harus mencari penterjemah tesis dari BI ke BM.
Beberapa orang Malaysia mengatakan mereka menyukai BI karena keindahan dan kehalusannya. Mungkin karena banyak kata dalam BI yang bebas nilai. Sebagai contoh BI menggunakan istilah “pekerja seks komersial” sebagai bahasa resmi daripada kata “pelacur”. Sementara itu seorang wartawan televisi Malaysia ketika melaporkan kegiatan tidak legal yang dilakukan pendatang asing dengan menyebutnya sebagai “aktiviti persundalan”. Kata "sundal' tidak mungkin digunakan reporter televisi di Indonesia karena dianggap kasar.
Pemerintah Indonesia mungkin belum menyadari kekuatan BI yang dapat menjadi ‘soft power” dalam hubungan internasional. Kesadaran akan kekuatan BI dapat mendorong untuk memonitor penggunaan BI dalam sinetron, lagu dan produk lainnya yang dapat menjadi ‘brand image” Indonesia di mata dunia yang mampu mentransfer nilai-nilai Indonesia ke manca negara. Dulu pernah dilaksanakan ajang pemilihan penggunaan BI terbaik di kalangan media dan Kompas pernah mendapatkan gelar tersebut.
Usaha untuk menggunakan BI yang baik dan benar sekarang ini sudah jarang terdengar sementara BI tulisan dan lisan di televisi semakin banyak menggunakan istilah Bahasa Inggris walaupun ada kata padanannya dalam BI. Sebaliknya Malaysia mulai gencar memasyarakatkan penggunaan BM yang baik dan benar dalam rangka memperkuat identitas nasionalisme mereka. Jangan sampai suatu saat nanti orang Indonesia harus belajar BI yang baik dan benar dari Malaysia karena rakyat Indonesia sekarang merasa sudah hebat dengan bahasanya tanpa mau memeliharanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H