Tiba-tiba saya diminta presentasi dalam rapat dosen untuk mendapatkan persetujuan sebagai bagian dari prosedur. Karena teman dalam tim sedang tidak di tempat, mau tidak mau saya sendiri yang harus mempersiapkan persentasi dalam BM. Saya terbawa arus menggunakan BM karena slides ditulis dalam BM, padahal rapat biasanya dalam BI. Perdebatan yang cukup hangat terjadi tentang penting tidaknya prodi baru tersebut yang akhirnya disetujui untuk melanjutkan penulisan proposal.
Selingan bercanda justru muncul gara-gara saya sering menggunakan Bahasa Indonesia daripada BM. Saya menulis “uang” padahal dalam BM adalah “wang”. Selain itu ada “tingkat bunga” padahal seharusnya “kadar faedah”. Dalam waktu yang mendesak, saya sudah mencari padanan kata dalam Google translator untuk interest rate tapi yang keluar selalu "tingkat bunga”. Belum lagi BM yang saya gunakan untuk bicara lebih banyak Bahasa Indonesianya campur Bahasa Inggris. Dekan berkata presentasi saya adalah BM versi Bahasa Indonesia. Saya senyum-senyum saja, inilah resiko menugaskan saya hehehe.
Walau BI sudah diresmikan sebagai bahasa kedua, saya yakin BM tetap menjadi bahasa yang penting di Sarawak. Bangsa Melayu Sarawak lebih banyak menggunakan bahasanya sendiri apalagi di pedesaan. Bahasa Melayu Sarawak agak mirip dengan Bahasa Melayu Sambas (Kalimantan Barat). Saya sering pergi ke Pasar Tani di mana umumnya pedagangnya adalah bangsa Melayu. Awalnya saya menggunakan Bahasa Indonesia sehingga sering diduga orang Semenanjung atau Sabah. Lama kelamaan BM saya semakin lumayan walau masih jauh dari standar. Untuk mengatasi hal tersebut, saya campurkan BM dan bahasa ibu (Melayu Sambas) daripada Bahasa Indonesia, sehingga saya tidak terlalu asing di kalangan masyarakat kampung Sarawak.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sangat terbuka, penduduk Sarawak cenderung multilingual. Selain bahasa Melayu, yang tidak sama persis dengan Bahasa Malaysia (BM), dan Bahasa Inggris, mereka juga suka mempelajari bahasa lain seperti Bahasa Indonesia (Di sini). Apalagi pelanggan terbesar rumah sakit swasta di Sarawak adalah dari Indonesia. Jangan heran, petugas front liners rumah sakit yang warga Malaysia akan menyambut anda dengan Bahasa Indonesia yang lumayan baik. Bahkan karena sebagian besar pelanggan dari Indonesia, sampai-sampai teman saya yang warga Malaysia diajak bicara Bahasa Indonesia.
Lain Sarawak (Kuching sebagai ibukota), lain pula tetangga sebelah Kalimantan Barat (Pontianak sebagai ibukota). Pontianak-Kuching ditempuh sekitar 30 menit dengan pesawat udara dan 9 jam dengan bis. Kalimantan Barat yang terlihat sibuk dengan isu pembangunan perbatasan sejak akhir 1980an, tampaknya lebih inward looking daripada outward looking. Jika gubernur Sarawak, yang masyarakatnya sehari-hari sudah tidak asing dengan BI, khawatir dengan kemampuan BI lulusan perguruan tingginya, bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia tampaknya lebih sering bercita-cita tinggi dengan proses mencapai cita-cita ala kadarnya. Jangan heran jika pendidikan di Malaysia lebih maju dari Indonesia walau kemampuan individu manusia Indonesia tidak kalah dari Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H