Mohon tunggu...
Farhat Gumelar
Farhat Gumelar Mohon Tunggu... Novelis - Pelajar SMAN 1 PADALARANG

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja

16 Februari 2020   20:54 Diperbarui: 16 Februari 2020   20:50 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PROLOG

Diri ini sangat berharap jika hari itu tidak pernah terjadi. Seharusnya bibir ini tersimpul manis, mata terpejam bahagia, pipi memerah terpesona, dengan kedua tangan digenggam berharap seseorang akan mencium dahinya lalu mengucapkan, "Selamat ulang tahun, sayang! Ayah dan Ibu mencintaimu." Seharusnya mata ini memandang teluk biru dengan elang laut yang terbang kesana-kemari, museum seni yang tadinya akan kukunjungi. Bukankah itu seharusnya menjadi hari yang begitu istimewa? Aku, si anak kesayangan, satu-satunya anak ayah dan ibuku, harus mengalami hal yang begitu mengerikan bak badai di lautan yang tidak terdeteksi kapan dan di mana terjadinya.

***

CHAPTER 1
Saat itu, ketika sang surya pamit, kicau burung kian terdengar merdu, langit menjadi lautan oranye, Aku dan orang tuaku masih berada dalam mobil yang sedang menuju Opera House di Sydney. Hari ini ulang tahunku dan orang tuaku mengajakku pergi ke tempat yang belum pernah aku kunjungi dan sempat menjadi wishlist nomor satu. Betapa baiknya mereka bagaikan pelayan surga demi menggembirakan buah hatinya yang cengeng ini. Sesampainya di Sydney Opera House, kami turun dari mobil dan kedua tanganku digengggam oleh erat oleh mereka. Kami duduk tidak terlalu jauh dari panggung. Pandangannya masih dalam jangkauanku.

Kami menonton teater drama. Mungkin tema dramanya bukan untuk anak seusiaku, tapi mengapa aku dapat terbawa masuk ke dalam ceritanya? Bukankah itu menunjukkan bahwasanya penampilan mereka bagus? Darah seni mungkin mengalir dalam tubuhku. Secara kedua orang tuaku merupakan seniman hebat. Ayahku merupakan seorang komposer sekaligus kondukter orkestra, sedangkan ibuku seorang penyanyi opera yang hebat. Namun, kini diriku masih bingung, sebenarnya apa bakatku? Apakah seperti ayahku atau ibuku? Atau aku memiliki bakat seni yang lain? Apa mungkin jika aku tidak memiliki bakat?

Terlalu banyak berpikir membuat diri ini melewatkan bagian akhir yang epic. Suara riuh diiringi tepuk tangan mengisi kehampaan di ruangan teater. Begitu juga dengan kedua orang tuaku. Bodoh sekali bocah satu ini. Masih kecil sudah banyak hal yang dipikirkan.
Kami keluar dari ruang teater dan di sana aku melihat ada seseorang dengan postur tubuh yang kurang proporsional dan kukira usianya sekitar 40-an. Ternyata dia adalah Mr. Vanval, seorang tour guide di Opera House ini. Kedua orang tuaku menghampirinya, lalu aku berpikir, untuk apa orang tuaku menghadirkan tour guide segala?
"Mr. Vanval!" ayahku berseru, "Hai, sudah lama tidak jumpa!"
"Mr. Schwartz! Hei, apa kabar?" timbal Mr. Vanval seraya menjabat tangannya, "Wah, rupanya kau sudah berkeluarga. Siapa nama anakmu yang manis ini?"
"Penelope. Oh, iya kau juga pasti mengingat istriku ini. Anneliese, dia yang bernyanyi bersama tim orkestraku beberapa tahun yang lalu," jawab ayahku.
"Oh, iya saya ingat kau. Beruntung sekali anda mendapatkan suami yang bertalenta dan baik hati ini. Anak kalian juga manis sekali. Buat saya saja, ya! Ahahaha," ujar Mr. Vanval bergurau yang membuat kedua orang tuaku ikut tertawa.
"Say hi, nak!" pinta ayahku yang kemudian kuturuti dengan raut wajah malu. Mr. Vanval mengusap-usap rambut rapiku.
"Mau pulang, nak?" tanya Mr. Vanval, kujawab dengan anggukan.
"Sebenarnya, kita mau pergi ke suatu tempat lagi sebelum kembali ke rumah," balas ayahku membenarkan.
"Kami ingin pergi ke muse-" ayahku memotong omongan ibu dengan berkata, "Simpan itu sampai kita sampai sana, ya!"
"Emangnya kita mau ke mana, bu?" tanyaku menggemaskan.
"Kau akan suka."

Angin malam berhembus dan meniup mantelku dengan lembut. Bintang berserakan di lautan hitam ditemani oleh sabit. Lampu jalan menyala dan menerangi kota yang haus akan cahaya. Kini mobil yang dikemudikan oleh ayahku sedang menuju ke suatu tempat yang katanya akan kusuka.


Bruk!
Hening...
Telingaku berdengung...
Mataku terpejam perlahan...

***

CHAPTER 2
11 tahun kemudian...
"Paman, sarapannya sudah siap!"
"Apa menu pagi ini, nak?"
"Sandwich isi daging sapi panggang dan lalaban."
"Kupikir ini lebih baik dijadikan bekal makan."
"Iya juga, ya. Ahaha"

Penelope Schwartz. Ya, itu namaku. Kini umurku sudah menginjak 16 tahun. Aku tinggal bersama pamanku, Mr. Vanval. Aku baru tahu kalau beliau adalah pamanku. Setelah kepergian kedua orang tuaku, dengan tangan terbuka dia bersedia mengasuhku dan membesarkanku.

Ya, kedua orang tuaku meninggal di hari ulang tahunku. Hari yang tak akan pernah aku lupakan. Setiap detik, menit, hingga saat-saat terakhir bersama orang tuaku. Sedih memang, ditinggalkan oleh orang-orang yang paling kusayangi di dunia ini. Apalagi saat itu aku masih sangat kecil sekali, tak terbayang sedikitpun akan terjadi hal seperti ini. Sekarang, aku hidup bersama pamanku yang sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri.
"Hey, jangan melamun! Kebiasaan!" Paman mengagetkanku.
"Ah, Paman! Aku kaget!"
"Cerita dong ke paman, ada apa nak?"
"Tidak apa-apa paman, hanya saja tiba-tiba teringat kejadian itu," jawabku pelan.
"Ah, sudah jangan diingat-ingat lagi. Kan disini ada paman, tenang saja. Paman akan selalu menjaga dan menyayangimu, nak. Sejak hari itu, paman sudah menganggapmu sebagai anak paman sendiri,"  ucap paman sambil memelukku erat.
"Iya, paman. Paman memang orang yang paliiiiiiiiing baik, terima kasih paman. Ah aku bisa terlambat ke sekolah, aku pamit paman, bye!" aku mengecup pipi paman lalu pergi ke sekolah, menuntut ilmu, mengukir cerita baru.

Mr. Vanval, pamanku, masih setia bekerja sebagai tour guide di Sydney Opera House. Sekarang, aku duduk di bangku SMA. Aku memutuskan untuk tetap memilih sekolah di Sydney, meskipun aku memiliki cerita kelam yang takkan pernah kulupakan di kota ini. Menurutku, Sydney adalah awal dan akhirku. Ceritaku berawal di kota ini dan akupun berpikir bahwa di kota inilah aku ditakdirkan, denga segala cerita sedih dan menyenangkan. Sydney menurutku kota yang sangat indah.
Dan melihat pemandangan sungai sekitar Sydney Opera House telah menjadi rutinitasku sejak sebelas tahun yang lalu.

Angin mencium wajahku
Mataku terpejam
Setiap beban dan kesedihan
Hilang
...

Setiap pulang sekolah, aku terus melakukan hal yang sama. Entahlah, kebiasaanku ini membuatku tegar menghadapi kenyataan, bahwa apa-apa yang Tuhan berikan, itu semua hanyalah titipan. Sewaktu-waktu bisa hilang, sekejap mata bisa sirna, diambil oleh-Nya. Untuk mengisi kekosonganku ini, aku menggambar apapun yang aku lihat dan menurutku itu hal yang indah. Coretan saja sih, aku hanya suka menggambar tapi tidak berbakat dalam bidang ini.

***
CHAPTER 3
Pamanku, Mr. Vanval, pernah menikah 3 tahun yang lalu. Bibiku itu sangat baik hati sekali. Sama halnya dengan Mr. Vanval, Aunt Jessica juga menganggapku sebagai anaknya sendiri. Sayangnya tahun lalu, Aunt Jessica meninggal dunia akibat kanker hati yang dideritanya. Entahlah, aku ditakdirkan untuk selalu ditinggalkan oleh orang tersayang.
Mr. Vanval sepertinya tidak memiliki rencana untuk menikah lagi. Beberapa kali kutanyakan tentang hal itu, jawabannya selalu sama. "Paman tidak mau merasakan sakitnya ditinggalkan untuk kedua kalinya," ujarnya. Di sekolah, aku tidak pernah bermasalah. Aku tidak nakal seperti remaja pada umumnya. Aku tidak mau mengecewakan paman yang telah berbaik hati mengurus dan merawatku sampai saat ini.

Menatap langit senja hari ini rasanya harus aku sudahi. Aku menutup buku gambar dan pensilku. Pamanku sepertinya sudah menungguku di rumah, kita selalu menyempatkan waktu untuk makan malam bersama. Ketika aku membalikkan badan, Jack mendatangiku.

Jack adalah teman sekelasku. Entahlah, beberapa teman dekatku mengatakan bahwa Jack menyukaiku. Benarkah? Aku juga tidak tahu itu benar atau tidak. Yang kutahu, Jack adalah orang yang baik, sopan, beretika, cerdas, dan berwawasan luas. Akhir-akhir ini aku memang sering bersama Jack untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok. Aku juga selalu meminta Jack untuk menjelaskan beberapa pelajaran yang tidak aku mengerti. Tentu saja dengan senang hati dia menerima permintaanku.

Ah, sudahlah. Terlalu banyak bercerita tentang Jack. Tapi, kenapa dia tahu aku ada disini?
"Penelope," Jack memanggilku.
"Hey, Jack. Sedang apa kau disini?"
"Ingin bertemu denganmu, ofcourse," Jack tersenyum.
Waah manis sekali senyumnya, aku bergumam dalam hati.
"Ingin jalan-jalan sebentar sebelum pulang?"
"Hmmm, sepertinya sudah terlalu malam, Jack. Pamanku pasti khawatir."
"Aku hubungi paman sekarang, semoga diizinkan." Jack mengeluarkan smartphone miliknya.
"Tidak usah, Jack. Paman pasti menunggu makan malam denganku. Lain kali mungkin kita bisa jalan sama-sama, ya?" Aku heran, kenapa Jack sangat ingin mengajakku jalan-jalan malam ini.
"Baiklah, tapi aku antar pulang ya?"
"Boleh, yuk jalan!"

Aku pulang ditemani Jack hari ini. Aku dan Jack jalan kaki menuju rumahku dan paman yang letaknya tidak jauh dari Sydney Opera House.
"Ini kebiasaanmu ya? Setiap sore hari, menatap langit senja dan pikiranmu melayang entah kemana." Jack membuka pembicaraan ditengah perjalanan.
"Hmmmm, boleh dikatakan begitu. Menurutku, langit senja menawarkan berbagai pelajaran. Bahwa apapun yang terjadi hari ini, sedih ataupun senang perasaan yang kurasakan, pada akhirnya semuanya akan tenggelam. Hari telah usai, penelope yang kuat dan tegar siap mengukir cerita baru esok hari," jawabku.
"Ya, aku setuju denganmu. Senja menghadirkan perasaan tenang. Dan mulai hari ini, aku akan menjadi pecinta senja. Seperti halnya dirimu, Penelope." Jack tersenyum manis kepadaku.
Ya Tuhan, kenapa Jack tiba-tiba berkata seperti itu?

Tak terasa, kami berdua telah sampai di depan rumah. Aku sempat meminta Jack untuk masuk sebentar, barangkali ingin minum atau bertemu dengan paman. Tapi Jack menolak, Jack rupanya memiliki agenda lain setelah ini. Ia pun langsung pergi setelah mengantarku pulang.
***

CHAPTER 4
Seperti biasanya, aku bangun pagi, menyiapkan sarapan, lalu pergi ke sekolah. Aku merupakan tipe orang yang sangat mematuhi aturan. Aku selalu datang hampir 1 jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Bukannya ingin dipuji, hanya saja akan terasa tenang apabila kita sudah menyiapkan diri sebelum belajar tanpa harus terburu-buru karena terlambat.

Pelajaran pertama hari ini adalah seni musik. Aku sebenarnya bisa memainkan beberapa alat musik, seperti gitar, piano, dan biola. Mr. Vanval memang memaksaku untuk mengikuti les musik. Ia ingin aku mengetahui bidang apa yang menjadi bakatku. Namun aku rasa itu semua hanya hobiku saja. Aku menyukai seni musik, aku bisa memainkan beberapa alat musik, tapi aku merasa bahwa aku lebih pantas untuk jadi penikmat musik saja.

Pada pertemuan kali ini, guruku meminta beberapa siswa untuk memainkan alat musik yang telah disediakan. Kebetulan biola tersedia di depan. Aku maju untuk menunjukkan bakatku. Bukan bakat sih, kebetulan aku bisa memainkannya. Aku memainkan lagu favoritku. Setelah lagunya selesai, ternyata teman-temanku bersorak dan bertepuk tangan atas penampilanku.

Aku heran, kenapa mereka se-antusias itu? Padahal menurutku, penampilanku tadi biasa saja. Aku hanya menampilkan apa yang aku bisa. Dalam setiap hal yang aku kerjakan, aku selalu berusaha yang terbaik untuk mengerjakannya. Apapun hasilnya nanti, aku menerimanya. Memang terdengar klasik, tapi itu adalah prinsip yang selalu aku pegang selama hidupku. Sesulit apapun itu, aku pasti berusaha sebaik mungkin. Entahlah, Mr. Vanval memang mendidikku seperti itu. Dan aku bersyukur, aku memiliki paman seperti Mr. Vanval.

Bel istirahat berbunyi, namun sepertinya aku tidak akan pergi ke kantin. Untuk mengisi waktu luangku, aku membuka buku gambarku. Halaman demi halaman, aku melihat gambar hasil coretan tanganku ini. Gambar di setiap halaman buku ini memiliki cerita tersendiri. Sibuk dengan buku gambarku, tiba-tiba saja Jack sudah berdiri di belakangku.
"Ya ampun Jack! Mengagetkanku saja."
"Gambaranmu bagus, Penelope," ujarnya.
"Kamu mengejekku ya! Coretan jelek kaya gini dibilang bagus!" Jawabku kesal.
"Tidak, Penelope. Aku serius. Itu bagus, sudah berapa lama kamu menggambar?"
"Dari kecil aku sudah menggambar, tapi hanya coretan-coretan saja. Ini contohnya, jelek kan?"
"Ah sudahlah, ke kantin yuk!" Jack menarik tanganku.
"Eeeeeh, santai dong. Yaudah yuk pergi." Entah mengapa ketika Jack yang mengajakku ke kantin, aku hanya bisa menurut saja.

***
CHAPTER 5
Dua tahun berlalu, kini berada di tingkat akhir Senior High School. Ujian akhir sudah semakin dekat dan setiap siswa pun disibukkan dengan belajar mati-matian untuk mempersiapkan ujian nanti. Dua tahun terakhir ini hubunganku dengan Jack sudah semakin dekat. Kami tidak menjalin hubungan yang spesial, tapi menurutku Jack dan aku sudah pantas dikategorikan sebagai sebuah pasangan.
Namun setelah bertahun-tahun ini aku mengukir cerita dengannya, tiba-tiba Jack harus pergi meninggalkanku dan negeri ini.
"Penelope, dengan berat hati aku harus meninggalkanmu. Aku akan melanjutkan studi ke Inggris. Aku harus mengejar cita-citaku. Tapi aku berat untuk berpisah denganmu, aku pun bingung apakah aku harus pergi atau tidak. Namun orang tuaku sudah mempersiapkan segalanya untukku. Aku tidak mau mengecewakan mereka."

Itulah kata kata terakhirnya. Aku lemas saat itu juga. Aku berusaha untuk terlihat kuat dan tegar, aku pun berkata, "Baiklah, kalau memang ini takdir kita. Kejarlah cita-citamu Jack. Bahagiakan orang tuamu. Terima kasih untuk selalu ada, selalu jadi pendukung setia. Terima kasih untuk setiap pelukan hangat ketika tak ada satupun yang memihak, ketika aku kembali merengek tentang luka, kejamnya dunia, aku jatuh cita terhadap bagaimana caramu menerima. Untuk setiap hal yang telah kamu lakukan untukku, aku tidak akan melupakan itu. Semoga apa yang kamu cita-citakan bisa terealisasikan."

Tak kuasa menahan tangis, aku berlari ke toilet dan menangis sepuasnya. Yang ada di pikiranku hanyalah pertanyaan mengapa. Mengapa setiap orang yang selalu berada di dekatku harus pergi meninggalkanku. Orang tuaku, Aunt Jessica, dan sekarang Jack.

Seusai bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung pulang ke rumah. Rasanya fisik dan psikisku sangat lelah hari ini. Ditambah lagi dengan keresahanku, rasanya 3 tahun lamanya aku mencoba untuk mengetahui apa yang menjadi bakatku, namun hasilnya nihil. Sedih rasanya ketika semua orang di sekitarku sudah punya target dan tujuan masing-masing. Bagaimana denganku? Kecewa, sungguh kecewa.

Sesampainya di rumah, paman sedang duduk membaca koran di ruangan favoritnya. Entah kenapa, rasanya bendungan di mataku ingin tumpah. Aku memeluk paman. Aku menagis di pundaknya. Tanpa bertanya "mengapa", paman hanya mengelus rambutku, memelukku erat sampai tangisku reda.
"Nak, It's okay not to be okay. Sangat tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Menangislah, paman tidak akan bertanya sampai kamu bersedia untuk berbagi cerita dengan paman."
***

Malam itu aku bercerita sepuasnya kepada paman. Aku tidak ingin kondisi psikisku semakin memburuk dengan memendam segala permasalahan yang aku alami. Dengan bersabar, paman mendengarkan ceritaku. Sesekali paman memberi nasihat kepadaku.
Setelah hari itu, aku sadar bahwa apapun yang aku alami, memang sudah seharusnya aku syukuri. Setiap luka yang Tuhan hadirkan di hidupku, aku yakin Tuhan telah memperisapkan hal indah untukku.

EPILOG

Satu tahun berlalu. Tak terasa aku sudah menyelesaikan pendidikanku di jenjang SMA. Aku memutuskan untuk menjadi seorang seniman, bertahun-tahun berlalu ternyata aku baru saja menyadari bahwa bakatku adalah menggambar. Aku melanjutkan studiku ke Melbourne.

Dengan berat hati, aku harus menunggalkan pamanku. Ia sangat mendukungku. Hari pertama aku menginjakkan kaki di Melbourne aku bertemu dengan seseorang dari masa laluku. Jack, aku secara tak sengaja bertemu lagi dengannya. Hidup baru pun dimulai dari hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun