Mohon tunggu...
Farhat Gumelar
Farhat Gumelar Mohon Tunggu... Novelis - Pelajar SMAN 1 PADALARANG

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja

16 Februari 2020   20:54 Diperbarui: 16 Februari 2020   20:50 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pelajaran pertama hari ini adalah seni musik. Aku sebenarnya bisa memainkan beberapa alat musik, seperti gitar, piano, dan biola. Mr. Vanval memang memaksaku untuk mengikuti les musik. Ia ingin aku mengetahui bidang apa yang menjadi bakatku. Namun aku rasa itu semua hanya hobiku saja. Aku menyukai seni musik, aku bisa memainkan beberapa alat musik, tapi aku merasa bahwa aku lebih pantas untuk jadi penikmat musik saja.

Pada pertemuan kali ini, guruku meminta beberapa siswa untuk memainkan alat musik yang telah disediakan. Kebetulan biola tersedia di depan. Aku maju untuk menunjukkan bakatku. Bukan bakat sih, kebetulan aku bisa memainkannya. Aku memainkan lagu favoritku. Setelah lagunya selesai, ternyata teman-temanku bersorak dan bertepuk tangan atas penampilanku.

Aku heran, kenapa mereka se-antusias itu? Padahal menurutku, penampilanku tadi biasa saja. Aku hanya menampilkan apa yang aku bisa. Dalam setiap hal yang aku kerjakan, aku selalu berusaha yang terbaik untuk mengerjakannya. Apapun hasilnya nanti, aku menerimanya. Memang terdengar klasik, tapi itu adalah prinsip yang selalu aku pegang selama hidupku. Sesulit apapun itu, aku pasti berusaha sebaik mungkin. Entahlah, Mr. Vanval memang mendidikku seperti itu. Dan aku bersyukur, aku memiliki paman seperti Mr. Vanval.

Bel istirahat berbunyi, namun sepertinya aku tidak akan pergi ke kantin. Untuk mengisi waktu luangku, aku membuka buku gambarku. Halaman demi halaman, aku melihat gambar hasil coretan tanganku ini. Gambar di setiap halaman buku ini memiliki cerita tersendiri. Sibuk dengan buku gambarku, tiba-tiba saja Jack sudah berdiri di belakangku.
"Ya ampun Jack! Mengagetkanku saja."
"Gambaranmu bagus, Penelope," ujarnya.
"Kamu mengejekku ya! Coretan jelek kaya gini dibilang bagus!" Jawabku kesal.
"Tidak, Penelope. Aku serius. Itu bagus, sudah berapa lama kamu menggambar?"
"Dari kecil aku sudah menggambar, tapi hanya coretan-coretan saja. Ini contohnya, jelek kan?"
"Ah sudahlah, ke kantin yuk!" Jack menarik tanganku.
"Eeeeeh, santai dong. Yaudah yuk pergi." Entah mengapa ketika Jack yang mengajakku ke kantin, aku hanya bisa menurut saja.

***
CHAPTER 5
Dua tahun berlalu, kini berada di tingkat akhir Senior High School. Ujian akhir sudah semakin dekat dan setiap siswa pun disibukkan dengan belajar mati-matian untuk mempersiapkan ujian nanti. Dua tahun terakhir ini hubunganku dengan Jack sudah semakin dekat. Kami tidak menjalin hubungan yang spesial, tapi menurutku Jack dan aku sudah pantas dikategorikan sebagai sebuah pasangan.
Namun setelah bertahun-tahun ini aku mengukir cerita dengannya, tiba-tiba Jack harus pergi meninggalkanku dan negeri ini.
"Penelope, dengan berat hati aku harus meninggalkanmu. Aku akan melanjutkan studi ke Inggris. Aku harus mengejar cita-citaku. Tapi aku berat untuk berpisah denganmu, aku pun bingung apakah aku harus pergi atau tidak. Namun orang tuaku sudah mempersiapkan segalanya untukku. Aku tidak mau mengecewakan mereka."

Itulah kata kata terakhirnya. Aku lemas saat itu juga. Aku berusaha untuk terlihat kuat dan tegar, aku pun berkata, "Baiklah, kalau memang ini takdir kita. Kejarlah cita-citamu Jack. Bahagiakan orang tuamu. Terima kasih untuk selalu ada, selalu jadi pendukung setia. Terima kasih untuk setiap pelukan hangat ketika tak ada satupun yang memihak, ketika aku kembali merengek tentang luka, kejamnya dunia, aku jatuh cita terhadap bagaimana caramu menerima. Untuk setiap hal yang telah kamu lakukan untukku, aku tidak akan melupakan itu. Semoga apa yang kamu cita-citakan bisa terealisasikan."

Tak kuasa menahan tangis, aku berlari ke toilet dan menangis sepuasnya. Yang ada di pikiranku hanyalah pertanyaan mengapa. Mengapa setiap orang yang selalu berada di dekatku harus pergi meninggalkanku. Orang tuaku, Aunt Jessica, dan sekarang Jack.

Seusai bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung pulang ke rumah. Rasanya fisik dan psikisku sangat lelah hari ini. Ditambah lagi dengan keresahanku, rasanya 3 tahun lamanya aku mencoba untuk mengetahui apa yang menjadi bakatku, namun hasilnya nihil. Sedih rasanya ketika semua orang di sekitarku sudah punya target dan tujuan masing-masing. Bagaimana denganku? Kecewa, sungguh kecewa.

Sesampainya di rumah, paman sedang duduk membaca koran di ruangan favoritnya. Entah kenapa, rasanya bendungan di mataku ingin tumpah. Aku memeluk paman. Aku menagis di pundaknya. Tanpa bertanya "mengapa", paman hanya mengelus rambutku, memelukku erat sampai tangisku reda.
"Nak, It's okay not to be okay. Sangat tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Menangislah, paman tidak akan bertanya sampai kamu bersedia untuk berbagi cerita dengan paman."
***

Malam itu aku bercerita sepuasnya kepada paman. Aku tidak ingin kondisi psikisku semakin memburuk dengan memendam segala permasalahan yang aku alami. Dengan bersabar, paman mendengarkan ceritaku. Sesekali paman memberi nasihat kepadaku.
Setelah hari itu, aku sadar bahwa apapun yang aku alami, memang sudah seharusnya aku syukuri. Setiap luka yang Tuhan hadirkan di hidupku, aku yakin Tuhan telah memperisapkan hal indah untukku.

EPILOG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun