Mohon tunggu...
Ahmad Farhan Saukani
Ahmad Farhan Saukani Mohon Tunggu... Lainnya - Anak yang kebetulan suka filsafat

Baru pertama kali mencoba menulis. Lebih senang membaca dibanding menulis, tetapi membaca membangkitkan gairah untuk menulis. Kita coba dunia baru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membedah Asal-Usul Kebahagiaan: Betapa Semunya Hasrat Kita

25 Juni 2023   20:00 Diperbarui: 25 Juni 2023   20:04 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

$◊α artinya: subjek-yang-terbagi menghasrati sesuatu. Ini bisa kita artikan sebagai kondisi saat manusia sedang menggebu-gebunya atas sesuatu. Dan pada waktunya kita mendapatkan sesuatu itu, semangat bergairah itu hilang. Dan apakah yang hilang itu, dia adalah objet petit α itu tadi. Dia adalah sesuatu yang meleset dari pembacaan kita atas dunia, dunia yang kita cerap lewat bahasa yang simbolik. Dia adalah proyeksi dari kekurangan yang ada dalam subjek itu sendiri (Martin Suryajaya). Objet petit α itu adalah yang-rill,  dan yang-rill ini hanya bisa kita akses lewat trauma dan ingatan yang menyeruak tiba-tiba.

Apakah sebenarnya objet petit α atau yang-rill itu? Yang-rill bukanlah realitas, yang-rill adalah batas internal tatanan simbolik, fantasi. Menurut kacamata saya, yang-rill itu tak lain adalah gejala logis yang mungkin hadir dari penubuhan pengalaman manusia selama bersentuhan dengan dunia. Dan yang-rill hadir untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh subjek, yang menjadi titik lemah subjek di hadapan semesta simbolik, inilah ketakbahagiaan.

Yang ingin diwujudkan oleh hasrat tak lain adalah hal instan berupa predikat seperti bahagia, sukses, makmur, sejahtera, laku dsb; yang kebetulan ini bisa dihadirkan lewat bahasa simbolik. Misal memiliki Iphone, berarti telah memenuhi kriteria “kaya”. Atau pernah berangkat haji berarti “soleh”. Mitos simbolik seperti ini kian hari berseliweran di Internet yang makin keruh akan yang simbolik.

Ketika kita mati rasa atas hasrat yang kemarin, kita justru rindu akan semangat itu, bukan oleh sesuatu yang telah kita dapatkan. Ini percis terjadi karna adanya faktor pelupaan, dan penambahan pengalaman baru dalam ranah logis sebetulnya. Sesuatu yang disebut Lacan ketidaksadaran adalah penubuhan atas pengalaman yang menumpuk. Dan ini bisa menyeruak sebagai hasrat. Misal saat terjadi $◊α, barred-subject menghasrati sesuatu, berarti pada momen itu, terjadi implikasi logis atas pengalaman subjek pada waktu $◊α terjadi.

Implikasi apa? Implikasi yang membuat subjek mengartikan katakanlah motor Aerox sebagai asosiasi dari “tampan dan kaya”. Mungkin pada waktu itu memang sedang zamannya motor itu menjadi simbol tersebut, yang membuat subjek meyakini bahwa “membeli Aerox sama seperti mendapat ketampanan dan pengakuan secara sosial”. Seiring subjek mendapatkan pengalaman baru dan mengalami fenomena pelupaan terhadap objet petit α, maka hasrat akan memudar dengan sendirinya, dan apa yang kita pikir sebelumnya adalah kebahagiaan, hanyalah implikasi logis dari struktur pengalaman kita.

Ternyata hasrat kita begitu semu. Yang-rill itu sebetulnya pengertian dan penubuhan pengalaman kita pada waktu itu menyebabkan kita mengasosiasikan predikat yang mau kita capai lewat bahasa simbolik. Dan hasrat itu berakhir jadi mati rasa ketika telah terjadi penambahan baru dari pengalaman kita yang mengklarifikasi atau setidaknya menyanggah pengertian kita atas predikat simbolik itu.

Menjadi pelajaran bahwa kebahagiaan tidak didatangkan lewat simbol yang dihadirkan oleh masyarakat; lulus UTBK, masuk PTN favorit, lulus CPNS, punya pacar dll. Kebahagiaan itu ada di manapun, bahkan hal seperti dibuatkan sarapan setiap pagi oleh ibunda, diberi nafas setiap pagi oleh semesta, diberi badan yang sehat. Ketika kita mengikhlaskan hidup bagaimanapun caranya dan berhenti memikirkan orang lain, maka kebahagiaan bisa tercapai.

Referensi

Suryajaya, Martin. 2016. “Sejarah Estetika”. Jakarta Barat: Gang Kabel

Bertens, K. 2014. “Filsafat Barat Kontemporer Prancis”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun