Jacques Lacan, seorang psikoanalis kelahiran Prancis.
Pernahkah pembaca menghasrati sesuatu sampai menggebu-gebu demi didapatinya sesuatu itu? Anehnya, setelah mendapatkan sesuatu itu, semangat menggebu-gebu yang kemarin itu terasa tidak semenggairahkan dulu, mengapa? Penulis akan membedahnya lewat jalan psikoanalisisLacan melancarkan psikoanalisisnya lewat konsep tritunggal imajiner-simbolik-rill. Tritunggal di atas adalah konsep untuk menjelaskan laku kesadaran manusia dari bayi hingga ia bisa mengenal bahasa.
Laku imajiner dikatakan Lacan terjadi pada fase manusia −atau di sini “ego”−belum mengenal bahasa, fase ini disebutnya fase cermin, terjadi sejak manusia berumur enam bulan, yakni saat bayi. Pada fase ini bayi membentuk identitas atas dirinya dengan cara membedakan orang lain dari dirinya sendiri. Bayi pada tahap ini seperti bercermin dari diri orang lain untuk membentuk pemodelan atas identitasnya. Sebagaimana orang lain itu seperti apa, bayi pada tahap ini akan menyesuaikan dengan sendirinya model seperti apa yang akan ia bentuk sesuai apa yang dilihatnya lewat orang lain.
“Rekognisi pertama seorang manusia terhadap identitasnya adalah suatu misrekognisi” ucap Lacan. Karena sang bayi memodelkan dirinya lewat “cermin” orang lain, maka pemodelan atas identitasnya adalah model yang bias dan sebetulnya salah pengertian (Martin Suryajaya 2016: 748).
Fase cermin ini adalah bentuk yang primitif dari bahasa. Seperti yang kita tau, bahasa adalah cermin dari dunia (Wittgenstein). Bahasa menangkap dunia lewat tanda yang ia hadirkan. Roland Barthes mengajarkan kita bagaimana cara membaca mitos kultural yang terjadi pada level bahasa. Dengan bahasa, sebuah predikat seperti kebahagiaan, kejantanan, kepolosan, kepengecutan; bisa dibuat ada lewat bahasa. Jean-Baudrillad telah menyibak struktur ini dalam iklan yang dijalankan modus ekonomi kapitalisme.
Fase cermin usai setelah manusia mengenal bahasa. Dunia dan yang simbolik menjadi tidak terpilah dengan jelas; bunga diartikan sebagai kasih sayang, hadiah diartikan sebagai penghargaan, sayuran diartikan sebagai kesehatan, boneka sebagai yang tidak jantan.
Seperti fase cermin yang adalah misrekognisi, laku simbolik ini merupakan tahap lanjutan yang lebih luas dari ketidaksadaran. “Ketaksadaran terstruktur seperti bahasa” adalah ungkapan Lacan yang terkenal. Pada fase cermin, sang bayi mengenali dirinya lewat orang lain, di fase simbolik manusia mengenali dunia lewat bahasa, yang telah terinternalisasikan di dalamnya penubuhan dari intensi yang diciptakan orang lain. Dalam dunia yang terstuktur secara simbolik, manusia mungkin menjalani hidupnya lewat ketaksadaran, begitu juga bagaimana cara manusia menghasrati sesuatu.
Derrida menyatakan bahwa bahasa tidak betul-betul menghadirkan dunia secara utuh. Akan selalu ada yang meleset dari pembahasaan kita atas dunia. Artinya adalah simbol-simbol yang kita ciptakan atas dunia lengkap atas asosiasinya adalah dunia yang tidak utuh. Contohnya terjadi dalam fenomena hasrat.
Kita mengenali kualitas dunia lewat penanda yang dihadirkan lewat bahasa (yang simbolik), dan kita tau bahwa yang simbolik itu adalah sesuatu yang tak pernah utuh, hasilnya adalah hasrat kita akan terasa tidak menggairahkan dibanding sebelum terpenuhi. Ini diakibatkan karna kita tidak betul-betul mengenali hasrat kita, ada sesuatu di dalam sesuatu itu yang menimbulkan hasrat kita, apakah itu? Itu adalah kemlesetan dari yang simbolik tadi.
Lacan merumuskan fenomena ini dengan simbol $ untuk menyebut subjek yang mengenali dunia lewat orang lain, atau diri tak sadar (barred-subject/subjek yang terbagi), α’ untuk menyebut objek penyebab hasrat− α’ atau objet petit α (objek a kecil), yang “ada di dalam dirimu lebih ketimbang dirimu sendiri”.
$◊α artinya: subjek-yang-terbagi menghasrati sesuatu. Ini bisa kita artikan sebagai kondisi saat manusia sedang menggebu-gebunya atas sesuatu. Dan pada waktunya kita mendapatkan sesuatu itu, semangat bergairah itu hilang. Dan apakah yang hilang itu, dia adalah objet petit α itu tadi. Dia adalah sesuatu yang meleset dari pembacaan kita atas dunia, dunia yang kita cerap lewat bahasa yang simbolik. Dia adalah proyeksi dari kekurangan yang ada dalam subjek itu sendiri (Martin Suryajaya). Objet petit α itu adalah yang-rill, dan yang-rill ini hanya bisa kita akses lewat trauma dan ingatan yang menyeruak tiba-tiba.
Apakah sebenarnya objet petit α atau yang-rill itu? Yang-rill bukanlah realitas, yang-rill adalah batas internal tatanan simbolik, fantasi. Menurut kacamata saya, yang-rill itu tak lain adalah gejala logis yang mungkin hadir dari penubuhan pengalaman manusia selama bersentuhan dengan dunia. Dan yang-rill hadir untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh subjek, yang menjadi titik lemah subjek di hadapan semesta simbolik, inilah ketakbahagiaan.
Yang ingin diwujudkan oleh hasrat tak lain adalah hal instan berupa predikat seperti bahagia, sukses, makmur, sejahtera, laku dsb; yang kebetulan ini bisa dihadirkan lewat bahasa simbolik. Misal memiliki Iphone, berarti telah memenuhi kriteria “kaya”. Atau pernah berangkat haji berarti “soleh”. Mitos simbolik seperti ini kian hari berseliweran di Internet yang makin keruh akan yang simbolik.
Ketika kita mati rasa atas hasrat yang kemarin, kita justru rindu akan semangat itu, bukan oleh sesuatu yang telah kita dapatkan. Ini percis terjadi karna adanya faktor pelupaan, dan penambahan pengalaman baru dalam ranah logis sebetulnya. Sesuatu yang disebut Lacan ketidaksadaran adalah penubuhan atas pengalaman yang menumpuk. Dan ini bisa menyeruak sebagai hasrat. Misal saat terjadi $◊α, barred-subject menghasrati sesuatu, berarti pada momen itu, terjadi implikasi logis atas pengalaman subjek pada waktu $◊α terjadi.
Implikasi apa? Implikasi yang membuat subjek mengartikan katakanlah motor Aerox sebagai asosiasi dari “tampan dan kaya”. Mungkin pada waktu itu memang sedang zamannya motor itu menjadi simbol tersebut, yang membuat subjek meyakini bahwa “membeli Aerox sama seperti mendapat ketampanan dan pengakuan secara sosial”. Seiring subjek mendapatkan pengalaman baru dan mengalami fenomena pelupaan terhadap objet petit α, maka hasrat akan memudar dengan sendirinya, dan apa yang kita pikir sebelumnya adalah kebahagiaan, hanyalah implikasi logis dari struktur pengalaman kita.
Ternyata hasrat kita begitu semu. Yang-rill itu sebetulnya pengertian dan penubuhan pengalaman kita pada waktu itu menyebabkan kita mengasosiasikan predikat yang mau kita capai lewat bahasa simbolik. Dan hasrat itu berakhir jadi mati rasa ketika telah terjadi penambahan baru dari pengalaman kita yang mengklarifikasi atau setidaknya menyanggah pengertian kita atas predikat simbolik itu.
Menjadi pelajaran bahwa kebahagiaan tidak didatangkan lewat simbol yang dihadirkan oleh masyarakat; lulus UTBK, masuk PTN favorit, lulus CPNS, punya pacar dll. Kebahagiaan itu ada di manapun, bahkan hal seperti dibuatkan sarapan setiap pagi oleh ibunda, diberi nafas setiap pagi oleh semesta, diberi badan yang sehat. Ketika kita mengikhlaskan hidup bagaimanapun caranya dan berhenti memikirkan orang lain, maka kebahagiaan bisa tercapai.
Referensi
Suryajaya, Martin. 2016. “Sejarah Estetika”. Jakarta Barat: Gang Kabel
Bertens, K. 2014. “Filsafat Barat Kontemporer Prancis”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H