Oleh karenanya data-data pekerja informal yang tidak terjangkau oleh pemerintah menjadi sebab sulitnya untuk mengesksekusi kebijakan.
Kendala yang ada bukan hanya soal ketidakadlian, tetapi  juga di dalam pelaksanaa participatory system, ada sesuatu yang tidak kompatibel anatara nilai keadilan dan bisnis yang diharapkan berjalan beriringan. Hal tersebut tampak ketika BPJS Kesehatan berusaha menaikan besaran iuran pada kelas satu dan dua senilai Rp. 150.000 dan Rp. 100.000.Â
Ketika iuran itu dinaikan yang terjadi adalah banyak orang berpindah kelas menjadi kelas tiga[5]. Padahal maksud adanya kenaikan iuran untuk menunjang kesehatan keuangan BPJS dan memaksimalkan skema subsidi silang (motif keadilan).Â
Fenomena tersebut menggambarkan kendati ada upaya untuk menciptakan keadilan sosial (subsidi silang) tetapi prinsip ekonomi tetap berlaku---harga pilihan pelayanan yang ditetapkan mempengaruhi prilaku pilihan kelas layanan. Â Disini nilai-nilai solidaritas yang sering ditekankan sebagai prinsip BPJS terkesan omong kosong.
BPJS kesehatan tidak tinggal diam, insitusi itu merespon fenomena diatas, dengan menyediakan kelas standar.  Adanya kelas  standar membuat pilihan kelas pelayanan akan dihapus. Pelayanan akan dipukul rata secara biaya dan kualitas dengan menghilangkan pilihan-pilihan yang dibedakan, masalah harga dicari harga tengah antara kelas satu, dua, dan tiga.
Solusi itu tampaknya menimbulkan masalah yang lain. Hal tersebut dapat menciptakan kecemburuan antara kelas yang membayar (PPU dan Mandiri) dengan yang tidak (peserta penerima bantuan iuran). Pelayanan yang disamakan antara yang bayar dan gratis dengan tidak memberikan pilihan layanan lain dapat menyurutkan partisipasi.
Kejadian demikian membuat semakin tampak bahwa nilai keadilan dan nilai bisnis sulit berjalan beriringan didalam pengelolaan berbasis participatory system. Belum lagi, masalah yang sudah melekat sebelumnya di dalam participatory system---sistem yang mengandalkan partisipasi peserta secara langsung--- Seperti tunggakan iuran, kedisiplinan peserta, pelibatan peserta, peserta yang tiba-tiba putus membayar iuran karena tidak mampu[6]. Masalah-masalah itu berakar dari partisipasi peserta didalam wujud pelaksanaan pengelolaan berbasis participatory system.
 Kalau direfleksikan, kendala-kendala yang dipaparkan diatas menimbulkan pertanyaan besar yaitu apakah participatory system memiliki kapasitas untuk menyelesaikan kendala tersebut. Atau apakah diperlukan perubahan struktural---dengan mengubah sumber pembiayaan---untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi.
Dari sini, penulis menganggap perlu untuk terlebih dahulu menentukan cara evaluasi---evaluasi bersifat operasional atau strategis---terhadap pelaksanaan yang sudah dilakukan sebelum memberikan solusi terhadap masalah.Â
Artinya pertimbangan yang matang diperlukan untuk menyelesaikan masalah agar tidak menimbulkan banyak potensi masalah baru. BPJS Kesehatan tidak perlu mengkukuhkan keputusannya secara absolut dengan bergantung pada participatory system, perlu  memulai untuk menengok  jalan lain (sumber pembiayan lain) sehingga menghilangkan permasalahan seputar partisipasi peserta yang sudah tampak njelimet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H