Mohon tunggu...
Farhan Risyad Razaq
Farhan Risyad Razaq Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan dari Universitas Brawijaya, Studi yang ditempuh adalah Ilmu Administrasi Publik.

"if i had remained invisible, the truth would stay hidden" -Lana Wachowski Halo! Saya farhan senang bisa berbagi hal-hal yang bermanfaat, semoga semua tetap waras, trus jaga akal sehat dengan perluas wawasan. Emang lana wachowski bukan hanya seseorang yang menciptakan film yang keren kayak the matrix, tapi juga punya keresahan yang ingin disampaikan. semoga di platfom ini kita semua menikmati keresahan kita masing-masing. selamat beresah ria!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sistem Iuran BPJS Kesehatan, Rumit?

21 Oktober 2022   16:46 Diperbarui: 21 Oktober 2022   16:55 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas program jaminan kesehatan nasional mendasari pengelolaannya dengan mekanisme participatory system. 

Sistem tersebut mengandalkan partisipasi peserta secara langsung (iuran) untuk membiayai  beban yang di tanggung oleh BPJS Kesehatan. Besaran iuran ditentukan berdasarkan kriteria peserta BPJS Kesehatan yang tercantum pada Peraturan presiden (perpres) 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional.

Institusi yang menjamin kesehatan masyarakat Indonesia itu  mengakomodasi dua aspek di dalam pelayanannya. Aspek pertama adalah pilihan kelas pelayanan, terdapat kelas satu, dua dan tiga yang memiliki kualitas pelayanan (kondisi dan jumlah orang di dalam ruang rawat) yang berbeda satu sama lain. 

Setiap kelas memiliki besaran iuran yang beragam bergantung pada kualitas pelayanan yang didapat. Hal tersebut bertujuan agar peserta dapat memilih dan mendapatkan kualitas pelayanan yang dipilih oleh dirinya---Skema iuran berbasis pilihan kelas juga dilaksanakan untuk menunjang skema subsidi silang.

Pelayanan BPJS Kesehatan tidak hanya soal pilihan kelas, harga dan kualitas, melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan. Hal tersebut merupakan aspek kedua dari pelayanan BPJS kesehatan. Rasa keadilan dapat dilihat dari upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi seluruh warga Indonesia termasuk warga yang miskin atau tidak mampu.

 Rasa keadilan tercermin dari sikap pemerintah yang membiayai jenis kepesertaan bantuan iuran (PBI), sehingga peserta penerima bantuan iuran tidak perlu membayar iuran[1]. Orang yang berhak mendapatkannya adalah orang miskin dan tidak mampu. Sikap demikian merupakan jaminan dari pemerintah agar segala lapisan masyakat dapat mengakses layanan kesehatan.

Hal yang sama terjadi  pada pelayanan kelas tiga, bedanya pemerintah hanya melakukan subsidi untuk mengurangi besaran iurannnya[2]. Asumsinya adalah peserta yang memilih kelas tiga merupakan warga yang  berkemampuan ekonomi menengah atau menengah kebawah. 

Sehingga diperlukan subsidi untuk mengurangi beban pada kelas ekonomi tersebut. Harga termurah diantara pilihan kelas lain bukannya tidak berdampak pada kelas tiga. Fasilitas pelayanan yang didapat oleh kelas tiga tidak sebaik kelas satu dan dua. 

Dari aspek pelayanan yang telah dijabarkan diatas, dapat di katakan bahwa BPJS Kesehatan berupaya mengakomodasi karakteristik peserta BPJS yang memiliki kondisi  dan latar belakang yang berbeda-beda---terutama kondisi ekonomi yang dimiliki peserta. 

BPJS kesehatan memperhatikan nilai keadilan (subsidi), dan nilai bisnis (pilihan fasilitas yang lebih nyaman) di dalam mekanisme pelayanannya.  Kedua nilai tersebut diharapkan berjalan beriringan tanpa saling terbentur, bahkan memperlancar pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional.

Pada kenyataannya BPJS Kesehatan tidak se-ideal kelihatannya, pada praktiknya Participatory system---sistem yang mengandalkan partisipasi peserta secara langsung---masih banyak memiliki kendala. 

Salah satu kendala yang ditemukan adalah adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh  pekerja yang diupah dibawah UMK (upah minimum kota/kabupaten)/UMP (upah minimum provinsi) yang menyebabkan pekerja tersebut dikategorikan sebagai peserta mandiri. Pekerja  tersebut rata-rata berada di usaha mikro dan kecil yang memiliki upah yang hampir menyentuh garis kemiskinan.

Alhasil, pekerja yang diupah di bawah UMK/UMP  harus menanggung skema iuran peserta mandiri, karena batas bawah upah agar dikategorikan sebagai peserta PPU adalah upah minimum kabupaten/kota (UMK)[3]. 

Batas bawah tmenjadi angka minimum perhitungan besaran iuran bagi peserta penerima upah, ketentuan tersebut membuat pekerja yang diupah dibawah UMK/UMP dialihkan kepesertannya. Padahal pekerja secara umum dikategorikan sebagai peserta penerima upah badan usaha (PPUBU) atau peserta penerima upah (PPU), keduanya memiliki skema iuran yang berbeda dengan peserta mandiri. 

Bedanya terletak pada ketentuan penetapan besaran iuran yang dihitung dari persentase total keseluruhan gaji dan tunjangan.  Peserta penerima upah (pekerja di pemrintah atau badan usaha) membayar sebesar 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga[4]. 5% tersebut termasuk membayar empat orang anggota keluarganya, sementara pekerja yang menjadi peserta mandiri dapat berubah-ubah besaran persentasenya bergantung pada pendapatan yang diterima dan besaran iuran yang ditagih. 

Hal ini menimbulkan perbedaan persentase antara pekerja yang dikategorikan sebagai peserta mandiri dengan pekerja yang dikategorikan sebagai PPU (peserta penerima upah).

Persentase yang tidak tetap pada pekerja yang dikategorikan sebagai peserta mandiri dapat dilihat dari hitung-hitugan berikut. Hitung-hitungan persentase dilakukan dengan cara  memperbandingkan antara jumlah upah yang diterima dan besaran iuran yang harus dibayar. 

Sebagai contoh ada pekerja UMKM (usaha mikro kecil menengah) yang memiliki upah sebesar Rp 1.000.000, ia membayar lima orang didalam satu keluarga, dan memilih pelayanan kelas tiga, hitungannya menjadi Rp. 25.500 X 5, total yang harus dibayar ia sejumlah  Rp 127.500. 

Jika dihitung perbandingan antara besaran iuran dan upah yang diterima maka persentase iuran yang dikenakan padanya adalah 12,8%. Sedangkan PPU (peserta penerima upah) di pemerintahan maupun badan usaha (PPUBU) hanya dikenakan 5% dari gaji pokok dan tunjangan.

Besaran persentase merupakan jumlah porsi yang diambil dari total pendapatan pekerja. Porsi yang diambil dari iuran PPU (peserta penerima upah) hanya 5% (angka yang tetap dan terdapat batas atas dari gaji pokok dan tunjangan) dari total gajinya sedangkan pekerja yang dikategorikan sebagai peserta mandiri angkanya sebesar 12,8%.  Gap di angka tersebut merupakan letak ketidakadilan yang dialami pekerja yang di kategorikan sebagai peserta mandiri.

Penyelesaian permasalahan ketidakadilan yang disimulasikan diatas menemukan kebuntuan. Alasannya, sebagian besar  perekonomian Indonesia berada pada sektor informal.  

Pelaku  usaha yang dikategorikan sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mayoritas tidak terdaftar secara resmi di negara atau mengikuti perizinan-perizinan yang telah distandarisasi oleh pemerintah. 

Oleh karenanya data-data pekerja informal yang tidak terjangkau oleh pemerintah menjadi sebab sulitnya untuk mengesksekusi kebijakan.

Kendala yang ada bukan hanya soal ketidakadlian, tetapi  juga di dalam pelaksanaa participatory system, ada sesuatu yang tidak kompatibel anatara nilai keadilan dan bisnis yang diharapkan berjalan beriringan. Hal tersebut tampak ketika BPJS Kesehatan berusaha menaikan besaran iuran pada kelas satu dan dua senilai Rp. 150.000 dan Rp. 100.000. 

Ketika iuran itu dinaikan yang terjadi adalah banyak orang berpindah kelas menjadi kelas tiga[5]. Padahal maksud adanya kenaikan iuran untuk menunjang kesehatan keuangan BPJS dan memaksimalkan skema subsidi silang (motif keadilan). 

Fenomena tersebut menggambarkan kendati ada upaya untuk menciptakan keadilan sosial (subsidi silang) tetapi prinsip ekonomi tetap berlaku---harga pilihan pelayanan yang ditetapkan mempengaruhi prilaku pilihan kelas layanan.  Disini nilai-nilai solidaritas yang sering ditekankan sebagai prinsip BPJS terkesan omong kosong.

BPJS kesehatan tidak tinggal diam, insitusi itu merespon fenomena diatas, dengan menyediakan kelas standar.  Adanya kelas  standar membuat pilihan kelas pelayanan akan dihapus. Pelayanan akan dipukul rata secara biaya dan kualitas dengan menghilangkan pilihan-pilihan yang dibedakan, masalah harga dicari harga tengah antara kelas satu, dua, dan tiga.

Solusi itu tampaknya menimbulkan masalah yang lain. Hal tersebut dapat menciptakan kecemburuan antara kelas yang membayar (PPU dan Mandiri) dengan yang tidak (peserta penerima bantuan iuran). Pelayanan yang disamakan antara yang bayar dan gratis dengan tidak memberikan pilihan layanan lain dapat menyurutkan partisipasi.

Kejadian demikian membuat semakin tampak bahwa nilai keadilan dan nilai bisnis sulit berjalan beriringan didalam pengelolaan berbasis participatory system. Belum lagi, masalah yang sudah melekat sebelumnya di dalam participatory system---sistem yang mengandalkan partisipasi peserta secara langsung--- Seperti tunggakan iuran, kedisiplinan peserta, pelibatan peserta, peserta yang tiba-tiba putus membayar iuran karena tidak mampu[6]. Masalah-masalah itu berakar dari partisipasi peserta didalam wujud pelaksanaan pengelolaan berbasis participatory system.

 Kalau direfleksikan, kendala-kendala yang dipaparkan diatas menimbulkan pertanyaan besar yaitu apakah participatory system memiliki kapasitas untuk menyelesaikan kendala tersebut. Atau apakah diperlukan perubahan struktural---dengan mengubah sumber pembiayaan---untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi.

Dari sini, penulis menganggap perlu untuk terlebih dahulu menentukan cara evaluasi---evaluasi bersifat operasional atau strategis---terhadap pelaksanaan yang sudah dilakukan sebelum memberikan solusi terhadap masalah. 

Artinya pertimbangan yang matang diperlukan untuk menyelesaikan masalah agar tidak menimbulkan banyak potensi masalah baru. BPJS Kesehatan tidak perlu mengkukuhkan keputusannya secara absolut dengan bergantung pada participatory system, perlu  memulai untuk menengok  jalan lain (sumber pembiayan lain) sehingga menghilangkan permasalahan seputar partisipasi peserta yang sudah tampak njelimet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun