Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan sebagai "Gerak Kontekstualisasi" yang dinamis

15 September 2023   11:53 Diperbarui: 15 September 2023   21:25 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Farhan Mustafid Dok: Pribadi 

Pada masa kini kita barangkali dapat membaca terobosan tersebut sebagai ekspresi dari keyakinan bahwa dominasi "teks yang menjanjikan pengetahuan "dari model konvensional sekolah-sekolah formal perlu di subtitusi dengan semakin kuatnya "konteks yang melahirkan kebijaksanaan"dari model sekolah alternatif. 

Dalam arti tertentu, terobosan Romo Mangun mengenai model pendidikan alternatif itu merupakan "gerak kontekstualisasi" pada pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi", formasi manusia sebagai makhluk relasional memperoleh ruang yang luas di arena pendidikan sebagai gerak kontekstualisasi itu, manusia muda tidak hanya berkegiatan untuk learning what dan learning  how - yang berorientasi untuk menguasai materi atau skill tertentu demi "mempersiapkan diri untuk memasuki dunia". 

Di situ terdapat asumsi bahwa sekolah adalah semacam "dunia tertentu" yang terpisah dari " dunia yang sesungguhnya ". Namun, manusia muda juga menempuh learning when dan learning where yang berorientasi untuk menguasai diri tengah situasi dan kondisi di depan matanya demi "semakin berpengalaman di dalam dunia ". Di sini terdapat asumsi bahwa sekolah berada dalam kesatuan dengan realitas yang lebih luas.

Pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi" di satu sisi mungkin dipahami dalam pengertian bahwa para pelaku pendidikan mengenal "adanya konteks tertentu" dan kurang lebih sudah menguasai. Hingga, proses pendidikan ditempuh dalam desain yang serupa "proses sosialisasi" bagi generasi yang belum mengenal konteks tersebut, persoalannya, di tengah perkembangan serba baru pada masa kini, generasi yang lebih muda lah yang justru dipandang lebih mengenal konteks kontemporer yang sedang berlangsung, di sisi lain, hanya dapat dipahami pula dalam pengertian bahwa baik pembelajar mudah maupun pendeknya sama-sama belum sepenuhnya mengenal konteks kontemporer secara akurat. Maka, kontekstualisasi di sini berupa proses pembelajaran bersama di tengah konteks dunia yang dilewati.

Pada pengertian yang terakhir ini apa yang kita bahas mengenai pendidikan sebagai gerak kontekstualisasi bertumpu.

Berkenaan dengan itu, secara garis besar, kehidupan komunitas manusia seluas dunia pada masa kini dengan aneka klaim kemajuan yang dicapai melalui terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi, semenjak revolusi industri 1.0 hingga 4.0 telah menghadirkan perubahan-perubahan pada berbagai level, yang dalam sejumlah segi sulit dipahami oleh komunitas manusia itu sendiri atau menciptakan "keterpisahan mental". Terkait dengan situasi ini, dalam dunia bisnis dikenal istilah VUCA sebagai kependekan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. 

Volatility merupakan dinamika situasi yang mudah berubah dengan sangat cepat. Uncertainty merupakan kondisi dengan tingkat predictabilitas yang rendah terhadap apa-apa saja yang terjadi di lapangan kehidupan. Complexity merupakan berbagai kerumitan yang muncul dan berkembang dalam situasi-situasi baru. Ambiguity merupakan keadaan berbaurnya aneka hal dalam satu aja hingga tidak mudah dikenali orangentasinya dan dinilai secara tepat. (Oliver Mack et al., 2016)

Dunia hidup dengan karakter VUCA tersebut menyediakan konteks hidup dinamis yang sulit dipegang dan berpotensi menimbulkan krisis secara radikal menyangkut "cara manusia berada" (way of Being) di dunia dan bagaimana dirinya merumuskan makna. Krisis itu diyakini tidak lagi berada dalam lingkup lingkup terbatas, melainkan berada dalam konstelasi keterhubungan dan interdependensi yang rumit seluas dunia. Jika lembaga-lembaga pendidikan adalah arena dan wahana kebudayaan manusia, maka praktik-praktik tindakan pembelajaran yang diselenggarakan lembaga-lembaga pendidikan perlu berurusan dengan bagaimana cara manusia berada di tengah konteks hidupnya.

C.A. Van peursen dalam buku strategi kebudayaan (1988) menguraikan tiga tahap sejarah kebudayaan manusia, yang masing-masing menggambarkan way of being manusia di dunia. Pertama, tahap mistis, yaitu ketika manusia mengalami dirinya terkepung kekuatan-kekuatan alam. Kedua, tahap ontologis, ketika manusia mengambil jarak dari alam dan menyusun pemahamannya akan alam. Ketiga, tahap fungsional, ketika manusia mencari relasi-relasi yang tepat beserta pilihan tindakan antara dirinya dan alam.

Pemetaan tiga tahap itu di masa kini perlu dibaca dengan menempatkan ketiga-tiganya sebagai unsur dari satu kesatuan pengalaman manusia. Ringkasnya, pada masa kini manusia terkepung oleh kondisi-kondisi di luar dirinya, tetapi memiliki potensi untuk berjarak dari kondisi-kondisi itu dan dengan daya ciptanya membangkitkan kebaruan

Melalui novel burung-burung rantau (1992) Romo mangun mengekspresikan keadaan manusia dengan tiga unsur: "manusia tertawa jika dia terjepit dalam situasi Antara logika dan kenyataan yang berbenturan tanpa dia dapat menguasainya. "Kiranya, pada ungkapan tersebut, "tertawa" adalah sebuah ekspresi kecakapan (Prudentia) imajinatif kreatif manusia yang terkepung sekaligus terbebas, yang tenggelam sekaligus mengambil jarak, dan yang tidak berdaya sekaligus mampu menciptakan respon secara otonom dalam kerangka pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi", kecakapan manusia untuk sanggup membangun segi batiniah (interioritas) maupun lahiriah (eksterioritas) dari " tertawa " ini dimengerti bukan sebagai bentuk "escaping from" melainkan "embracing" konteks hidup manusia itu.

Modus manusia untuk "berjumpa dengan" atau "memeluk" realitas hidup yang kompleks melalui upaya-upaya pendidikan pada pengertian itu kiranya bukan ekspresi dari keterampilan manusia untuk sekedar bertahan hidup (survival), melainkan lebih merupakan ekspresi dari kesadaran (awreness) dan kekuatan kontemplasi manusia. 

Pada pernyataan ini terkandung keyakinan filsuf Yunani kuno, yaitu Aristoteles, yang percaya bahwa pendidikan manusia di orientasikan pada pertumbuhan yang bersangkutan secara unik berkenaan dengan kecakapan manusiawi pada konteks hidupnya, dengan mengingat kerapuhan dan kekuatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun