Melalui novel burung-burung rantau (1992) Romo mangun mengekspresikan keadaan manusia dengan tiga unsur: "manusia tertawa jika dia terjepit dalam situasi Antara logika dan kenyataan yang berbenturan tanpa dia dapat menguasainya. "Kiranya, pada ungkapan tersebut, "tertawa" adalah sebuah ekspresi kecakapan (Prudentia) imajinatif kreatif manusia yang terkepung sekaligus terbebas, yang tenggelam sekaligus mengambil jarak, dan yang tidak berdaya sekaligus mampu menciptakan respon secara otonom dalam kerangka pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi", kecakapan manusia untuk sanggup membangun segi batiniah (interioritas) maupun lahiriah (eksterioritas) dari " tertawa " ini dimengerti bukan sebagai bentuk "escaping from" melainkan "embracing" konteks hidup manusia itu.
Modus manusia untuk "berjumpa dengan" atau "memeluk" realitas hidup yang kompleks melalui upaya-upaya pendidikan pada pengertian itu kiranya bukan ekspresi dari keterampilan manusia untuk sekedar bertahan hidup (survival), melainkan lebih merupakan ekspresi dari kesadaran (awreness) dan kekuatan kontemplasi manusia.Â
Pada pernyataan ini terkandung keyakinan filsuf Yunani kuno, yaitu Aristoteles, yang percaya bahwa pendidikan manusia di orientasikan pada pertumbuhan yang bersangkutan secara unik berkenaan dengan kecakapan manusiawi pada konteks hidupnya, dengan mengingat kerapuhan dan kekuatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H