Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Maksudku Mau Berbagi Nasib, Nasib adalah Kesunyian Masing-masing

26 Agustus 2023   15:08 Diperbarui: 26 Agustus 2023   15:10 1502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar:Doc Pribadi Farhan Mustafid 

Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masingyah, nasib adalah kesunyian  masing-masing. apalagi untuk seorang pejalan. tapi tak memungkinkan tertutupnya pintu untuk pulang, bukan?

Itulah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair --membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan-- yang barangkali bisa dikatakan 'negatif'.  Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian.


Ia lebih memilih 'menderita' sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Aku meminjam ungkapan Arif  Budiman dalam buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan,  "Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan."

Pasrah dengan Nasib

Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! Aku tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan aku itu Chairil, aku sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Aku tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi "Dingin Tak Tercatat":

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?  

Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis:

Bukan maksudku mau berbagi nasib
Nasib adalah kesunyian masing-masing

Kendati demikian, dengan jalan hidup 'yang tidak jelas', aku menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk menca tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya.

Pandora itu aku tidak tahu apa maksudnya membuat fragmen-fragmen ringkas masa silam berkelebat sepanjang haro sepanjang siang. Pada salah satu retrospeksi itu, muncul begitu saja sebiji simpulan yang mau tak mau mesti kutelan: jika ada banyak berkah yang tidak kusyukuri, salah satunya pasti adalah kau! Tentunya.

Validitas, tentu saja, tidak berkurang artinya hanya karena ia datang terlambat. Tapi, manusia itu ragu, masihkah ada artinya mengucapkan syukur saat berkah itu sudah menjauh?

Jangan kau berburuk sangka dulu ihwal kata-kata "berkah itu sudah menjauh". Itu bukanlah satu doa yang mengharapkan keburukan. Sama sekali tidak. Kata-kata itu lebih berarti sebagai satu pemahaman sederhana tentang bagaimana nasib bergulir dan bergerak. Pada akhirnya, memang, ada sehimpun jarak yang kian melebar dengan kecepatan yang --sebenarnya---lambat, tapi pasti tak bisa kita tolak.

Dalam soal ini, mungkin, kita tak bisa berbagi. Ini bukan soal mau atau tidak, sebab nasib memang tak bisa dibagi, betapa pun ingin kita membaginya. Nasib adalah kesunyian masing masing, kata Chairil Anwar.

Kata-kata Chairil itu aku ambil dari sajaknya yang berjudul "Pemberian Tahu". Kau mungkin tak pernah membacanya dan memang tak harus membacanya. Aku sudah amat tahu kau tak terlalu berminat dengan segala tetek bengek tentang sajak. Tapi, jika boleh, ingin benar aku mengenalkan sajak Chairil itu padamu, setidaknya di sini.

Bukan karena sajak itu teramat indah, bukan, sama sekali bukan. Indah atau tidak, dalam urusan sajak yang subyektif sekali pun, tetap butuh argumen. Dan aku tak sedang dan memang tak ingin berargumen. Sebab waktu, mungkin, sudah terlampau mepet, sementara usia -- O, usia.... -- siapa yang tahu kedalaman rahasianya?

Aku ingin membagi sajak Chairil itu padamu semata karena aku merasa tak ada sajak lain yang paling mampu membabar seperti apa riwayat perkisahan yang pernah kau anyam, juga yang pernah ku gurat. Cobalah kau menyimaknya dan nikmati saja apa yang kau temukan di sana:

Pemberian Tahu

bukan maksudku mau berbagi nasib
nasib adalah kesunyian masing masing
ku pilih kau dari yang banyak,tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring
aku pernah ingin benar padamu
di malam raya,menjadi kanak kanak kembali

kita berpeluk ciuman tak jemu
rasa tak sanggup kau ku lepaskan
jangan satukan hidupmu dengan hidupku
aku memang tidak bisa lama bersama
ini juga ku tulis di kapal dilaut tak bernama!

1946

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun