Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengembangkan Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu Universitas di Negara-Negara Muslim

4 Juli 2023   20:31 Diperbarui: 4 Juli 2023   21:18 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Instagram/Farhanmustafid

Pendahuluan

Bacalah dengan nama Tuhanmu,
Yang menciptakan manusia dari segumpal darah;
Bacalah dan Tuhanmulah yang paling mulia;
Yang mengajarkanmu pena;
Yang mengajarkan manusia tentang apa yang tidak dia ketahui

(Surat al'Alaq-- Wahyu Tuhan yang pertama kepada Nabi Muhammad)

Studi (atau kajian) Islam sebagai disiplin ilmu universitas bukanlah fenomena baru di dunia Islam, karena lembaga-lembaga pendidikan tinggi telah secara luas tumbuh dan berkembang dalam sejarah Islam. Namun, didoorong oleh kemajuan dunia modern, studi Islam tumbuh sebagai kecenderungan yang baru. Dan kebanyakan negara-negara muslim, sebenarnya, telah mulai mengembangkan studi Islam sesuai dengan paradigma keilmuan dan akademis modern pada pendidikan tingginya dalam beberapa dekade belakangan ini tepatnya setelah kemerdekaan berhasil mereka raih pada masa pasca perang dunia II.


Banyak gagasan muncul ke permukaan, berhubungan desakan ke arah pengadaan program-program studi Islam pada kurikulum universitas. salah satu isi utamanya berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup " studi Islam. " Bagi banyak sarjana, baik muslim maupun non muslim, studi Islam dikelompokkan ke dalam studi teologi dengan tujuan dan muatan yang jelas. Oleh karena itu. Sifat dan ruang lingkup 'studi Islam' dipandang hanya sebagai suatu penelitian terhadap fenomena regional atau etnik. Pada pokoknya, sifat dan ruang lingkupnya harus dipandang secara lebih luas dalam wilayah peradaban Islam. Dengan demikian, studi Islam memiliki arti yang luas. Meliputi penelitian terhadap seluruh aspek peradaban Islam dan kehidupan muslim di masa lalu, sekarang dan akan datang (Mackeen, 1969).

Berdasarkan pengertian studi Islam di atas, bagian ini mencoba secara singkat menelusuri sejarah studi Islam sebagai disiplin ilmu universitas di dunia muslim. Kita juga berupaya menggambarkan keadaan sekarang tentang program studi Islam dan tantangan yang dihadapi. Sebagai akibat dari perkembangan modern. Pada bagian akhir. Kita mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana mengembangkan studi Islam sebagai disiplin ilmu universitas di dunia modern? Jawabannya berupa saran untuk mengembangkan studi Islam. sehingga dapat mengatasi masalah-masalah nyata di dunia kontemporer kontemporer.


Studi Islam dan tantangan dunia modern

sejarah Islam mencatat bahwa studi Islam telah berkembang sejak masa awal Indonesia Islam. Tumbuhnya lembaga pendidikan diilhami oleh ajaran Islam itu sendiri yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat Alquran termasuk wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT. Kepada nabi Muhammad seperti dikutip di atas menjelaskan tentang tugas setiap muslim untuk belajar di manapun dan kapanpun. 

Sebenarnya, banyak perkembangan dalam masyarakat muslim berhubungan erat dengan masjid sebagai pusat aktivitas keagamaan sosial, dan budaya. Pertumbuhan dan perluasan masyarakat muslim diiringi dengan pertambahan jumlah masjid. Masjid juga memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah awal pendidikan muslim masjid menjadi pusat pendidikan Islam selain sebagai pusat ibadah sejumlah besar masjid di zaman awal Islam mendirikan semacam lembaga bagi pendidikan tinggi titik yang kemudian dinamakan Al-jami'ah (universitas). Di antara universitas-masjid yang paling menonjol adalah universitas Al Azhar di Kairo (Mesir). Yang sering juga disebut peneliti sebagai lembaga pendidikan tinggi lain yang paling awal adalah Bayt Al-Hikmah (Rumah Hikmah) yang didirikan oleh Khalifah Al Ma'mun (198-202H./813-817 M.) di Baghdad (Anees dan Athar, 1980). Sedangkan menurut prof. Azyumardi Azra berpendapat bahwa Bayt Al-Hikmah bukanlah lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Akan tetapi ialah semacam lembaga riset untuk pengembangan ilmu.

Penkembangan pokok dalam sejarah pendidikan muslim, khususnya di wilayah dinasti Abbasiyah dengan ibukota dicapai dengan lahirnya lembaga Al madrasah yang secara harfiah berarti "sekolah". Al madaris (bentuk plural madrasah) secara umum terdiri dari pendidikan pertama menengah dan tinggi. Diantaranya dari yang terkenal bagi pendidikan tinggi adalah madrasah nizhamiyah, yang berdiri di Baghdad tahun 457 H./064 M., Madrasah tajiyah juga di Baghdad, Madrasah mustansiriah dan Madrasah Al nuriyah Al kubra di Syria (Shalabi, 1954). 

Pada waktu yang hampir bersamaan di bagian barat wilayah muslim Dinasti Umayyah (138-418 H./756-1027 M.) Juga mengembangkan banyak Al jami'ah di kota Seville, Cordoba, Granada dan di kota-kota lain (Hitty, 1974) Universitas-universitas tersebut menjadi simbol-simbol yang cemerlang bagi kepentingan pendidikan Muslim, dan memberikan sumbangan bagi kemajuan Eropa abad pertengahan hitty menjelaskan:

 "umat muslim telah menulis salah satu bab yang paling cerdas dalam sejarah intelektual Eropa abad pertengahan antara pertengahan abad VIII dan permulaan abad X.  seperti telah saya uraikan sebelumnya orang-orang yang berbahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban ke seluruh dunia lebih dari itu, kebudayaan dan peradaban tersebut diperbarui dilengkapi dan disebarkan dengan cara yang melahirkan renaisans Eropa Barat. Dalam semua hal ini bangsa Arab memiliki andil yang besar " (Hitty, 1974). 

Segala prestasi dan sumbangan tersebut menjadi mungkin diberikan lantaran luasnya muatan universitas Islam universitas Cordova memiliki program studi astronomi matematika dan kedokteran selain teologi dan hukum kurikulum universitas Granada mencakup teologi,hukum, kedokteran falsafah, dan astronomi (Hitty, 1974).

Kondisi yang sama juga meliputi lembaga pendidikan tinggi (al-jami'ah, Bayt al-hikmah, madrasah) di wilayah dinasti Abbasiyah. Seluruh lembaga menawarkan pendidikan universitas dalam cakupan yang lebih luas seperti bahasa Arab,astronomi,kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmatika, pertanian, dan lain-lain. Sementara itu, beberapa madaris menawarkan program Studi khusus seperti ulum Al-quran, ulum al-hadist, dan lain-lain. Kekhususan tersebut dapat dilihat dari nama sekolahnya jadi madrasah nahwiyah misalnya adalah lembaga yang mengkhususkan diri dalam studi Islam tentang tata bahasa Arab atau (Nahwu).

kurikulum madrasah  memang liberal walaupun kadang masih menekankan mata kuliah teologi bentuk kurikulum madrasah pada abad pertengahan merupakan pelopor pendidikan liberal, yang kemudian dilaksanakan di lembaga-lembaga Barat. Khalil Totah menyatakan:

 "dibandingkan dengan kurikulum sekarang, mata kuliah ini sangat mirip dengan silabus ilmu humaniora yang sekarang diterapkan di lembaga-lembaga Gymnasium Jerman, Lycre Perancis dan "College" Inggris, yang merupakan hasil renaissans dan an karena itu digabungkan dengan sekolah-sekolah tinggi Arab dengan demikian sehingga Perancis atau sekolah tingginya dan dalam beberapa hal sekolah tinggi Amerika yang lama mempunyai hubungan dengan landasan meliputi dasar pemikiran bersama aslinya saat ini menjadi syarat bagi baccalaureate Eropa (Total, 1976).

Selama beberapa abad, universitas-universitas Islam memimpin kegiatan-kegiatan intelektual dan ilmu pengetahuan, yang menghasilkan prestasi terbaik muslim klasik. Prestasi tersebut sangat mempengaruhi Eropa abad pertengahan. Watt menjelaskan: 

"...telah jelas bahwa pengaruh Islam terhadap Kristen barat lebih besar daripada yang umum disadari. Islam tidak sekedar telah memberikan Eropa Barat berbagai produk material dan penemuan teknologi: tidak sekedar mendorongnya eropa secara intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan dan falsafah: tetapi juga mendorong Eropa untuk membentuk pandangan mereka tentang eksistensinya sendiri titik jadi, saat ini tugas Eropa tugas penting bagi Eropa Barat ketika kita memasuki wilayah dunia yang satu, adalah memperbaiki penekanan yang salah ini dan secara utuh mengakui hutang kita kepada dunia Arab dan Islam (Watt, 1972).

pengaruh peradaban Islam terhadap Eropa juga dimungkinkan oleh sistem penerimaan universitas Islam. Al jami'ah atau madrasah dibuka untuk umum tanpa memandang agama atau kebangsaan mereka, maka, madrasah menjadi pusat pendidikan internasional. Lebih dari itu pengawasan tertinggi madrasah dipegang oleh ulama (dan cendekiawan muslim lainnya) yang memberikan lingkungan belajar secara individual dan personal."itulah contoh desentralisasi dalam pendidikan tanpa campur tangan negara"(Anees dan Athar, 1980).

Pada pertengahan kedua abad XIII, kekuasaan Islam mengalami disintegrasi setelah tentara Mongol menyerang pusat wilayah Islam Timur Tengah situasi yang sama terjadi di wilayah muslim Spanyol di mana dinasti Islam ditaklukan kekuatan bangsa Eropa. Bencana yang disebabkan tentara-tentara asing itu menandai masa kemerosotan umat Islam.

Selanjutnya, kekuatan kolonial Barat mulai memasuki dan menjajah hampir semua negara-negara muslim yang terbentang dari wilayah Maroko di Afrika utara sampai Merauke di kepulauan Indonesia selama beberapa abad secara umum pendidikan muslim mengalami kemerosotan pada periode disintegrasi muslim pasca klasik dan selanjutnya berhadapan dengan hegemoni Barat di bidang politik ekonomi dan intelektual. 

Lebih dari itu menurut Mackeen( 1969) keterbelakangan pendidikan Islam, wawasan intelektual menjadi semakin sempit sehingga dibatasi pada pengertian teologis, di mana studi mata kuliah asing dihilangkan dan, bahkan, sangat dicurigai. Lebih lanjut pendidikan Islam hanya membahas tema-tema keagamaan tradisional dan hanya memenuhi kebutuhan praktis keagamaan dan kehidupan keluarga.

 Sejak sekitar dua dekade terakhir abad XIX, Konsep-konsep dan norma-norma baru pendidikan barat diterapkan di negara-negara muslim yang terjajah. Konsep-konsep dan norma-norma tersebut diwujudkan dalam muatan pendidikan yaitu (kurikulum dan silabus) dan dalam pembentukan "sekolah modern." Sistem sekolah modern ini sangat berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam "tradisional" yang bernama madrasah. Hasil dari dualitas aliran pendidikan tersebut adalah: di satu pihak, terdapat universitas-universitas modern, yang didukung dan diakui pemerintah kolonial. Lulusan universitas modern ini mewakili kaum terpelajar dan mendapat jaminan status ekonomi yang cukup. Sementara di lain pihak, terdapat madrasah atau sekolah keagamaan Islam yang dibina dan didukung oleh swasta. Madrasah ini menghasilkan lulusan dengan pengaruh keagamaan yang kuat, tetapi tidak memberikan jaminan keamanan ekonomi (Mackeen, 1969). 

Dualitas, dikotomi, atau kerenggangan semacam itu didasari beberapa pembaru Islam, seperti Muhammad Ali Pasya, Al tahtawi, Jamal Aldin Al afghani, Muhammad Abduh, Rasyid ridho, sir Sayyid Ahmad kan, dan lain-lain. Mereka berusaha mengatasi kondisi yang memprihatinkan ini dan membuat rencana pendirian sistem sekolah Islam modern. Dengan menjadikan Muhammad Abduh sebagai contoh, menyatakan bahwa Abduh adalah penulis sejati tentang falsafah modernisme dalam pendidikan seperti dalam teologi dan bidang-bidang lain. Iya dan murid-muridnya memimpin gerakan modernis di Mesir, Syria, dan pengaruh mereka menggema di seluruh Arab dan dunia Islam pada abad XX (Tibawi, 1972).

Gerakan modernis Islam di bidang pendidikan tinggi untuk studi Islam menurut mackeen, terdiri dari tiga perkembangan. Pertama, jurusan baru atau fakultas studi Arab didirikan dalam kerangka universitas Nasional modern. Lebih dari itu, kecenderungan ini diikuti dengan pendirian universitas-universitas Islam yang mandiri, yang tidak hanya memuat studi Islam dari segi kemanusiaan (humaniora) dan keagamaan, tapi juga "ilmu-ilmu pasti." Dengan begitu, semua fakultas menawarkan program-program yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan dalam Islam dan juga ilmu-ilmu pasti. Fakultas-fakultas di universitas-universitas Islam tersebut dari fakultas tarbiyah (pendidikan) yang di mana beberapa jurusan ilmu-ilmu pasti dimasukkan: fakultas Syariah (hukum), fakultas Ushuluddin (teologi), dan fakultas dakwah (penyiaran Islam).


Kedua, ada universitas di mana mata kuliah tertentu tentang Islam dipadukan dan ditempatkan dalam departemen-departemen atau fakultas-fakultas yang ada tanpa membentuk jurusan atau fakultas studi Islam tersendiri. Ketiga, di beberapa universitas yang ada Komnas itu di Islam dipadukan dalam struktur universitas di bawah klasifikasi yang lebih khusus sebagai jurusan atau fakultas teologi, berdasarkan pada fakultas ketuhanan (divinity) dan teologi model barat di beberapa universitas besar di dunia barat. 

Konsep yang melatarbelakangi beragamnya keberadaan studi Islam di lembaga pendidikan tinggi menimbulkan perbincangan menyangkut susunan mata kuliah, kurikulum, silabus, dan pengadaan staf pengajar yang baik. Kurikulum, sebagaimana yang terlihat dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam pada saat ini, sumber asal dan strukturnya masih sangat mengacu kepada pola-pola politik, sosial, dan intelektual pada periode penyebaran Islam, dan yang terpenting, kepada ortodoksi kriteria utama pemikiran dan praktik muslim. Penekanan utama pada mata kuliah tertentu seperti teologi dan hukum, yang disampaikan dengan pendekatan yang kaku, tidak mendorong penelitian keilmuan tentang ajaran dan warisan Islam. Berbeda dengan kenyataan tersebut, banyak ajaran Islam mendorong penganutnya untuk meningkatkan pendekatan  intelektualistik terhadap Islam. Sehingga, Islam dapat memenuhi metode-metode dan pola keilmuan (Gibb,1948).
Masalah yang berkaitan erat dengan masalah di atas ialah persoalan metodologi dalam perencanaan, pengajaran, dan penelitian tentang Islam. banyak lembaga pendidikan Islam masih menitikberatkan pada kemampuan hafalan daripada kekuatan logika. Kecenderungan ini menghasilkan sikap tidak kritis dan patuh terhadap dogma-dogma. Dan akal tidak selalu mendapatkan tempat yang benar (Mackeen, 1969). Kegagalan menggunakan kebebasan bagi perluasan yang progresif di alam intelektual mungkin disebabkan situasi yang melekat pada peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi dalam sejarah muslim (Nasr, 1981).


Sekarang kita masuk pada masalah staf pengajar. dalam banyak kasus, lembaga pendidikan Islam mengalami kekurangan setiap pengajar baik secara kualitas maupun kuantitas. Secara umum, setiap pengajar masih memegang paradigma sistem pendidikan Islam kuno. Dengan kata lain, mayoritas mereka tidak menyampaikan materi pengajaran dalam konteks sekarang. Mereka menggunakan berbagai metodologi pengajaran yang tidak layak untuk memberikan dorongan yang diperlukan bagi bakat dan pemikiran mahasiswa. Selain masalah tersebut, lembaga-lembaga pendidikan Islam juga ditantang oleh pertumbuhan teknologi yang sangat pesat. Kepercayaan yang dalam terhadap akal meremehkan otoritas tradisi, dan menjadikan manusia tergantung pada penemuan ilmu pengetahuan (Said, 1981). Banyak pemikir dunia menjelaskan bahwa krisis yang ada sekarang ini disebabkan oleh ilmu pengetahuan modern dan penerapan teknologi tinggi. Mereka yakin bahwa agama-agama yang pernah memiliki otoritas atas manusia, harus memberikan sumbangan untuk membawa manusia kepada jalan keselamatan di masa depan. Dan, lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam sebagai salah satu pusat bagi kemajuan manusia harus mengambil peran dalam membangun jalan tersebut demi kemanusiaan. 

Sumber Buku : Prof. Azyumardi Azra. "Pendidikan Islam" tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun